Tanggal 16 Maret 2024, bertepatan dengan malam Ramadhan ke 7, saya berniat untuk melaksanakan salat tarawih di salah satu masjid bersejarah di Mesir, yaitu Masjid Amru Ibn Ash. Sesuai dengan namanya, masjid ini merupakan tempat ibadah pertama umat muslim yang dibangun oleh sahabat bernama Amru Ibn Ash pada tahun 21 Hijriyah atau 641 Masehi, di masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Mesir kala itu merupakan daerah yang dikuasai oleh kekaisaran Romawi, Amru Ibn Ash datang dan menaklukkan Mesir hingga ia mampu mendakwahkan Islam lalu mendirikan masjid ini.
Sore itu, saya berangkat dari rumah pukul 16.30. Akses paling mudah dari rumah saya menuju masjid tersebut adalah menaiki kereta bawah tanah dengan tujuan stasiun “Margirgis”. Harga tiket sekali berangkat dengan tujuan Margirgis dari stasiun Attabah adalah 6le atau sekitar 3 ribu, harga yang cukup murah mengingat jaraknya yang lumayan jauh.
Saat sampai di stasiun Margirgis, saya bergegas keluar dari kereta. Saat melihat sekitar stasiun, alih-alih melihat menara masjid, saya justru melihat kubah dengan salib besar. Hal ini karena kompleks masjid Amru Ibn Ash berdampingan dengan Gereja Margirgis, sebuah Gereja Kristen Koptik yang dibangun pada abad ke 4 Masehi. Selain gereja, di kompleks ini juga dibangun Sinagoga atau rumah ibadah orang Yahudi, bernama Sinagoga Ben Ezra.
Majma’ al-Adyan atau Kompleks Keagamaan
Saat melihat salib gede itu, saya tidak merasa puasa saya sore itu terganggu atau bikin mulut saya istighfar ratusan kali. Toh selama di Mesir saya juga merasa makin akrab dengan keragaman pendapat dalam agama saya, bahkan di luar keyakinan saya sendiri.
Setiap sore saya mendengar suara lonceng gereja yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah saya, setelah 30 menit dari lonceng itu berbunyi, saya mendengar suara azan dari masjid yang jaraknya hanya 20 meter dari rumah saya. Alih-alih merasa terancam, saya malah merasa kagum dan melanjutkan perjalanan sore itu.
Saat menapaki jalan-jalan di area yang bernama “Majma’ al-Adyan” itu, saya merasakan nilai cinta dari kompleks ini. Bayangkan saja, saat kasus-kasus pembubaran kegiatan keagamaan di Indonesia terjadi, di belahan dunia lain ada sebuah kompleks yang justru rumah ibadahnya berdampingan. Gereja, Sinagoga, Masjid dapat berdampingan dan melakukan aktivitas keagamaan tanpa perlu bingung dan rusuh soal pengurusan izin mendirikan rumah ibadah.
Di tengah perjalanan menuju masjid, saya melihat handphone untuk mengecek jam, tepat pukul 17.30, artinya kurang sekitar 40 menit lagi waktu buka puasa untuk daerah Kairo. Saya melihat dari kejauhan masjid Amru Ibn Ash nampak sangat megah dan luas sekali. Orang di sekitar masjid sedang sibuk mempersiapkan makanan “Maidah Rahman” untuk siapapun yang membutuhkan. Hingga, saya sempatkan duduk sebagai orang asing satu-satunya dan bercengkrama dengan warga sekitar.
Nampak banyak sekali masyarakat yang antusias untuk ikut berbuka bersama gratis di tempat saya duduk. Ada bapak-bapak pulang kerja, ada ibu bersama anak-anaknya, bahkan ada juga yang hanya sekedar ingin merasakan suasana berbuka bersama seperti saya, terlihat warga asing lain juga ikut berdiri dalam antrian sore itu.
Tarawih di Masjid Amru Ibn Ash
Setelah melaksanakan buka bersama, saya segera masuk ke dalam area masjid. Saya disambut oleh petugas masjid menggunakan “jalabiyyah” jubah khas mesir, biasanya mereka membuka jasa penyimpanan sepatu, dan dibayar seikhlasnya. Setelah menyimpan sepatu, saya memandangi dengan seksama area dalam masjid ini, sejauh mata saya memandang nampak lentera yang ada di masjid ini berjejeran rapi dan sangat indah.
Malam itu, tarawih di mulai agak lambat, karena setelah salat Isya’, ada pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Saya kira ini seperti kebiasaan orang-orang Indonesia untuk menunggu jamaah lain, yang biasa diisi degan pujian atau salawat. Pada pukul 19.20, salat Isya; dimulai dan lanjut dengan salat tarawih.
Saya berdiri di shaf kedua, artinya nampak dengan jelas para imam salat malam itu. Semua menggunakan Sorban al-Azhar berwarna merah dibalut warna putih serta tak lupa Jubah khas al-Azhar atau biasa disebut dengan “Kakula”, yang semakin membuat gagah para imam malam itu. Salat tarawih selesai pada pukul 21.20, dengan jumlah rakaat yang hanya sebelas, artinya di setiap rakaat paling tidak membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit lamanya.
Nampak di setiap empat rakaat salat tarawih, ada pergantian imam. Namun saya perhatikan bacaan dari imamnya tetap menggunakan qiraat yang sama. Setelah pelaksanaan tarawih, saya mencoba keliling area masjid malam itu. Ini merupakan masjid yang sangat luas, bahkan untuk pelaksanaan salat fardu biasa, disediakan tempat khusus di bagian belakang.
Artinya saat pelaksanaan salat diluar tarawih, takmir menggunakan sebagian saja dari area masjid ini, dari saking luasnya. Melalui laman Syarq al-Awsath luas bangunan masjid ini adalah 28.500 meter persegi, meliputi ruang salat, tempat wudhu, serta area parkir.
Belajar Toleransi Beragama
Pulang dari masjid ini, saya belajar makna kemanusiaan, bagaimana toleransi beragama benar-benar kongkrit dengan adanya masjid, gereja dan sinagog dibangun berdampingan. Begitu juga yang telah dicontohkan oleh sahabat Amru Ibn Ash, saat ia menjabat sebagai gubernur di Mesir, ia membebaskan umat Kristen Koptik dari pajak, yang selama ini mereka harus membayarnya pada kekaisaran Romawi.
Hal yang mengesankan pula, kebiasaan orang Mesir untuk berbagi selama bulan suci Ramadhan, baik untuk saya yang merupakan orang non Arab atau kepada sesama mereka. Pelajaran yang berharga dari perjalanan tarawih malam ini!.
Editor: Soleh