Sayyid Jalaluddin Bukhari (w. 1291) merupakan murid dari Bahauddin. Ia bermigrasi dari Bukhara ke Uch, tempat di mana ia mendirikan cabang Jalali dari tarekat Suhrawardiyah.
Murid Bahauddin yang paling terkenal sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, Fakhruddin al-Iraqi, penduduk asli Hamadan di Persia. Ia belajar di Multan dengan Bahauddin dan kemudian menjabat sebagai salah satu letnannya (khalifa).
Sejak pengangkatan Sadr al-Din Muhammad Arif (w. 1286) sebagai penerus ayahnya sebagai pemimpin tarekat, kepemimpinannya di India menganut prinsip turun temurun. Jadi, terlepas dari kenyataan bahwa Sadr al-Din memiliki banyak murid terkenal, termasuk ulama besar sufi, Amir Husain Husayni (w. 1320), setelah kematiannya kepemimpinan tarekat diserahkan kepada putranya Rukh al-Din Abul Fath (w. 1335).
Yang terakhir, pada gilirannya, digantikan oleh keponakannya. Atau menurut Ibn Batuta, cucunya, Syakh Hud. Setelah pengeksekusian Syekh Hud atas perintah Sultan Delhi, yang mencurigai Syekh melakukan penggelapan, memaksa pondokan milik Bahauddin di Multan mengalami kebangkrutan. Cabang-cabang regional tarekat lainnya, bagaimanapun terus berkembang di Uch, Gujarat, Punjab, Kashmir dan di Delhi.
Di Uch, Jalaluddin Bukhari, juga dikenal sebagai “Makhdūm-i Jahāniyān,” berhasil memberikan warna baru dalam dunia tarekat. Selain hubungannya dengan Suhrawardiyah, Jalaluddin Bukhari juga berhubungan dengan Chiragh-i Delhi dari tarekat Chistiyah dan diajak untuk ikut tarekat Chistiyah.
Meskipun Bahaudin melarang murid-muridnya bergabung dengan tarekat lain, sejak abad keempat belas banyak anggota sufi yang bergabung dengan dua tarekat sekaligus, Suhrawardiyah dan Chistiyah.
Kebijakan agama dari beberapa cabang tarekat Suhrawardiyah biasanya ditentukan oleh pandangan pribadi pemimpinya. Misalnya, Makhdum yang terkenal dengan puritanismenya, menentang pengaruh agama Hidu bagi umat Muslim, tidak juga tidak menyetujui penyebutan Tuhan dalam bahasa Hindi.
Saudaranya dan penerusnya Sadr al-Din Raju (w. 1400) mendapat julukan “pembunuh” [umat Hindu] (qattal) karena permusuhanya yang dilakuan tak henti-hentinya terhadap agama Hindu.
Dampak Tarekat Suhrawardiyah di India
Suhrawardiya di India memiliki dampak terbesar di Kashmir. Hal in karena sebagian dukungan yang mereka terima dari para sufi pendatang dari Tarekat Kubrawiyah dan dari penguasa setempat.
Richana, Raja Kashmir dan mantan kepala agama Budha daru Ladakh, yang memeluk Islam pada abad keempat belas, dikatakan telah di-muallaf-kan oleh Sayyid Sharaf al-Din yang merupakan murid dari utusan Shihab al-Din al-Suhrawardi di Turkistan.
Pada abad kelima belas, berbagai syekh dari Tarekat Suhrawardi, terutama dari cabang Makhdum-i Jahaniyan, membuat Sufisme di Kashmir tetap hidup. Ada bentrokan antara kelompok Suhrawardi lokal dan Syiah pada abad berikutnya, ketika Kashmir berada di bawah pengawasan dinasti Chak yang melindungi Syiah.
Ajaran Tarekat Suhrawardiyah
Tarekat ini memainkan peran penting dalam pelestarian dan penyebaran tadisi kenabian. Ajarannya yang menekankan pada warisan sufi klasik, sekaligus mengeculkan spekulasi metafisik yang pada periode berikutnya menjadi ciri khas dari pemikiran sufisme.
Ajaran disipilin tarekat juga cenderung mengindari pertapaan yang ekstrem dan berlebihan. Suhrawardi lebih menekankan pentingnya pembacaan kumpulan doa-doa, zikir, dan puasa di bulan Ramadhan.
Hal ini tercermin dalam kegiatan beribadah dari Suhrawadiyah, misalnya modifikasi zikir yang dilakukan seperti mistisme Yoga yang dipraktikkan oleh Chistiyah tidak ada dalam ritual keagamaan Suhrawardiyah. Praktik sujud dihadapan syekh (zamin-bus) yang umumnya dilakukan oleh kalangan Chistiyah juga ditolak oleh para pemimpin Suhrawardiyah.
Berkenaan dengan sama, Suhrawariyah menunjukkan sedikit apresiasi terhadap puisi atau musik. Pendirinya Shihab al-Din Suhrawardi, telah mengambil sikap tertutup terhadap penggunaan musik dan tarian selama perkumpulan jamaah.
Shihab al-Din juga mengkritik Awhad Al-Din Kirmani karena perenungannya terhadap keindahan objek-objek indrawi, terutama pada para pemuda yang tidak berjanggut, yang sering dilakukan selama pertemuan sama.
Berbeda dengan gurunya, Fakruddin Iraqi sedikit bersikap moderat terhadap praktik ini, yang dikenal sebagai shahid-baz. Banyak kemudian pemimpin Suhrawardiyah juga membolehkan sama, meskipun mereka membatasinya pada elit spiritual tarekat. Pendekatan yang bertentangan ini terhadap praktik sama di antara para pemimpin tarekat telah bertahan hingga saat ini.
Meskipun belakangan ini Suhrawardiyah sebagian besar telah menghilang dari negara-negara Arab seperti Suriah, Suhrawardiyah masih bisa ditemukan di Irak. Para pemimpin Suhrawardiyah kontemporer di negara itu secara tradisional berasal dari keluarga Salih al-Katib.
Beberapa dari mereka menjabat sebagai profesor di perguruan tinggi agamam, ataupun sebagai pengkhotbah umum di berbagai masjid. Pada suatu titik, salah satu syekh dari Suhrawardiyah pernah menjabat sebagai imam resmi bagi tentara Irak (Knysh, 2010: 205-207).
Editor: Yahya FR