Perspektif

Tasawuf: Cara Dakwah Ampuh di Nusantara

3 Mins read

A.H. Jones dengan tegas memaparkan begitu kentalnya tasawuf dalam penyebaran Islam awal di Indonesia. Ia seorang peneliti sosiologi dan perkembangan Islam di Nusantara. Salah satu karyanya Sufism as Category in Indonesia Literature and History (1961). Karyanya diakui dan menjadi bacaan wajib bagi para pengkaji studi Islam nusantara baik dari dalam maupun luar negeri.

Seandainya kita semua ingin memisahkan tasawuf dalam tubuh umat muslim Indonesia. Rasa-rasanya nampak kurang, karena begitu mengakarnya masyarakat kita tentang Islam beraroma sufistik. Islam hadir di tengah kondisi masyarakat yang sudah begitu larut dengan spiritualisme mistik, dinamisme dan animisme bercampur dengan mitologis hindu. Sehingga untuk menggeser pemahaman kepada Yang Maha. Dari yang bersifat politeistik serta menganggap semua benda “bertuan” kepada ke-Esaan (tauhid) butuh pendekatan yang kreatif.

Sejak abad ke 7 M hingga 13 M tidak ada keterlibatan dakwah ulama Islam malalui politik cara terbuka. Semua penyebaran Islam dilakukan dengan pendekatan komunitas melalui perdagangan serta hubungan kekeluargaan–menikah dengan penduduk lokal. Meski demikian sekitaran abad 11 M, hampir sebagian di pesisir Pulau Jawa sudah banyak “dikuasai” komunitas muslim. Termasuk di Tuban, Gresik, dan Surabaya (Ampel). Hal ini terbukti dengan ditemukannya batu nisan bertahun 475 H/1082 M dengan nama Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik.

Yang nampak aneh pada fase tersebut adalah belum ditemukannya masjid atau tempat ibadah Islam seperti madrasah dan semacamnya. Dari hal tersebut menjadi bukti bahwasannya dakwah Islam pada masa itu belum secara terbuka dan menunjukan identitasnya secara terang-terangan.

Namun bisa dipastikan bahwa pada abad ke 14 M sudah terdapat banyak para pelajar dari tanah Jawa dan Nusantara lainnya yang menempuh studi ke Jazirah Arab baik di Hadramaut, Mekah, termasuk Yaman. Sekitaran tahun 1404 M ketika Syeikh Maulana Malik Ibrahim telah tiba di Nusantara, tepatnya di Gresik, melalui racikan dan manajemen tangannya – tanpa berniat mengecilkan sedikitpun peranan ulama yang lain – mengawali proses Islamisasi tanah jawa secara masif dan berani.

Baca Juga  Hasrat Membangun Masjid itu Tidak Selalu Baik

Pendekatan Tasawuf-Seni

Pada saat itu pendekatan teologis maupun politis yang terlalu frontal akan menyulitkan langkah perkembangan dakwah Islam itu sendiri. Mengajarkan secara hitam-putih terelebih dengan fiqih minded belum bisa diterima banyak masyarakat. Syeikh Maalik Ibrahim akhirnya mencoba dengan pendekatan metode khas tanah kelahirannya Yaman, yaitu dengan corak tasawuf-seni melalui irama musik dan syair yang disenandungkan.

Gaya dakwah yang seperti itulah ternyata yang mampu diterima masyarakat jawa dengan secara substansi, tetap mengenalkan ajaran Islam hingga akhirnya dimodifikasi dan dikembangkan oleh para generasi ulama Walisongo lainnya. Seperti Sunan Bonang dengan menciptakan suluk, begitupun Sunan Kalijaga dengan wayang dan syair-syairnya. Termasuk mengadakan acara dakwah dengan kemasan pentas seni seperti adanya gamelan, rebana dan gong. A.H Jones menyebutnya sebagai Javenese Genius.

Para Walisongo berdakwah dengan penduduk dengan cara yang sederhana dan nalar lokal yang mudah dipahami. Di tengah kondisi masyarakat yang pada masa itu masih begitu kental dengan narasi mitologis seperti kisah-kisah manusia setengah dewa, gadis dari kayangan, manusia ular dan semacamnya.

Sedikit bergeser dari Pulau Jawa, Aceh menjadi sebuah wilayah yang sudah terlihat bergelora dengan keislaman yang juga bernuansa tasawuf. Hamzah Fansuri (w. 1588) begitu membesar namanya dengan melahirkan banyak karya yang lebih condong ke aliran tasawuf falsafi sebagai penganggum berat Ibnu Arabi. Hingga terjadi “pembantaian” terhadap ajaran Hamzah Fansuri yang divonis kafir beserta pengikut-pegikutnya ketika Nurudun Ar Raniri tiba di Aceh sekitara tahun 1637 M. Ar-Raniri mendapat tempat istimewa pada saat Sultan Iskandar Tsani berkuasa, sehingga fatwa-fatwa Ar-Raniri menjadi semacam hukum yang dianut saat itu.

Hampir selama rentang abad ke 7 – 13 M para pendakwah dari kawasan arab belum menunjukan hasil tajinya secara massif yang kemungkinan karena terlalu kakunya pendekatan dakwah pada saat itu. Kemudian dicarilah sebuah pendekatan yang mampu mengkombinasikan secara halus antara nalar mitologi, unsur seni dengan ajaran Islam itu sendiri.

Baca Juga  Mudik dan Pulang Kampung Itu Sama Saja!

Tasawuf Menjadi Corak Dakwah

Maka tawasuf menjadi sebuah wadah yang dipilih pada masa itu yang mampu menampung local genius dan variannya – karena karakternya yang sedemikian friendly – dengan penalaran ajaran secara bertahap dan rasional. Termasuk konversi dengan menyediakan kisah-kisah para ulama (wali) yang memiliki karomah atau keunggulan yang tak biasa menjadi kultur yang disenangi masyakarat. Tasawuf menjadi corak utama sekaligus basis tersebarnya Islam di Bumi Nusantara.

Semua fenomena penyebaran Islam di nusantara tersebut, terlebih di Tanah Jawa adalah sebuah gambaran metodologi yang ampuh bagaimana membuat Islam diterima secara baik di masyarakat. Bahwa bukan hal yang mudah meruntuhkan dan menghilangkan nalar mitos keyakinan masyarakat termasuk dengan hal yang mistis. Namun secara bertahap para ulama nusantara mulai berhasil menghilangkan sesuatu praktik mana yang sejalan dengan Islam dan mana yang tidak.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Aditya Budi S.
6 posts

About author
S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds