Perkembangan keilmuan Islam utamanya bidang Tafsir sangat penting untuk menggali makna Al-Qur’an. Hasil penafsiran ini tentu harus merespon perkembangan dunia saat ini. Apalagi tidak semua kata ataupun ayat dalam Al-Qur’an dapat dipahami oleh masyarakat luas.
Hadirnya Ma’had Aly sangat penting sebagai basis keilmuan yang dapat melahirkan ahli agama, salah satunya di bidang Tafsir.
Buku Tasbih di Ujung Sajadah adalah buku yang memuat tafsir salah satu surah dalam Al-Qur’an, yaitu Surah Ath-Thur. Buku ini ditulis oleh KH. M. Idman Salewe (Mudir Ma’had Aly) bersama beberapa rekan di Universitas As’adiyah Sengkang serta Mahasantriwati Ma’had Aly As’adiyah, Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan.
Tentang Buku Ini
Buku ini diterbitkan oleh PT. Narasi Kita Publishing pada November 2024, sudah memiliki ISBN dengan jumlah 125 halaman, halaman terhitung dari lembar pertama buku (tidak ada halaman dengan huruf i,ii,iii dan seterusnya), ukuran 14 x 21 cm.
Ada lima tema dalam buku ini, yaitu pertama tentang Kebesaran dan Keagungan Allah pada halaman 11, tema pertama ini adalah penjelasan ayat 1-8 Surah ath-Thur. Kemudian tema kedua membahas Hari Kiamat dan Kehancuran Bagi Orang-orang yang Mengingkari sesuai ayat 9-16.
Selanjutnya ditema ketiga tentang Balasan Bagi Orang yang Bertaqwa yang mengangkat ayat 17-28. Jika ditema ketiga tentang orang yang beriman, maka ditema keempat tentang Penolakan Orang Kafir Terhadap Kebenaran sesuai ayat 29-43.
Dan terakhir di bagian penutup ada tema kelima terkait Nasehat Kesabaran kepada Nabi Muhammad Saw yang mengangkat lima ayat terakhir Surah ath-Thur yaitu ayat 44-49.
Isi Buku
Buku ini adalah tafsir tematik yang secara khusus membahas Surah ath-Thur. Surah ath-Thur terdiri dari 49 ayat dan tergolong ke dalam surah Makkiyah. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penafsiran ini adalah al-Wujuh wa an-Nazhair (menggali makna dari berbagai persfektif, secara literal dan kontekstual), Azbabun Nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan Munasabah (hubungan antar setiap ayat).
KH. M. Idman Salewe menggali makna Surah ath-Thur dengan tetap mengambil pendapat Mufassirin seperti Ibnu Katsir, al-Maraghi, Jalalain, Wahbah Zuhaili, serta Quraish Shihab dan beberapa Mufassirin lainnya lalu kemudian tafsir tersebut dikaitkan dengan situasi saat ini secara global.
Kesadaran lingkungan dan keberlanjutan, pentingnya moralitas dan kejujuran, transparansi informasi, digitalisasi informasi, perubahan iklim, krisis lingkungan adalah berbagai makna kontekstual yang digali dalam surah ath-Thur.
KH. M. Idman Salewe berusaha menggali makna dari berbagai kata yang dihubungkan dengan isu-isu kontemporer. Pembahasan dimulai dari makna ath-Thur itu sendiri. Secara literal ath-Thur berarti bukit. Bukit disini merujuk kepada Tur Sina tempat Nabi Musa AS berbicara langsung dan menerima wahyu dari Allah Swt berupa Kitab Taurat.
Gunung ataupun bukit Tur dimaknai sebagai simbol kekuatan dan keagungan. Dalam konteks isu-isu lingkungan moderen, ayat ini penting sebagai pengingat agar kita bisa menjaga alam serta keindahannya. (hal.12).
Konsep Raqqin dan Mansyuurin
Kemudian kata Raqqin (lembaran) menyangkut kitab suci Al-Qur’an sebagai wahyu yang mudah diakses dan dibaca oleh siapapun (mansyuurin), kitab yang otentik dan terjaga dari perubahan atau distorsi.
Dalam era saat ini kita banyak menemui berbagai penyimpangan informasi, berita palsu, dan penyebaran hoaks dan itu jauh dari motivasi ayat Al-Qur’an. Banyak masyarakat juga menuntut adanya transparansi informasi dari pemerintah, lembaga, organisasi terutama dalam transparansi informasi dan kebijakan publik.
Konsep Masjurun dan Daafi’in
Kemudian terkait isu-isu lingkungan atau perubahan iklim kita juga dapat memahaminya secara kontekstual dari kata Masjurun (dipanaskan) dan Daafi’in (menolak).
Pemanasan global mengakibatkan suhu lautan meningkat. Lautan yang panas berdampak pada ekosistem laut, meningkatnya frekuensi badai, naiknya permukaan air laut. Aktivitas gunung berapi bawah laut juga menyebabkan panas yang berakibat adanya gelombang tsunami. (hal.20).
KH. M. Idman Salewe juga menyoroti berbagai aktivitas manusia yang abai (Daafi’in) dengan peringatan dari Al-Qur’an untuk menjaga alam dari eksploitasi yang mengakibatkan terjadinya polusi dan perusakan ekosistem yang dapat mendatangkan ‘azab’ dalam bentuk musibah dan perubahan iklim yang ekstrim.
Konsep Wayl dan Khaudhin
Segmen selanjutnya dalam buku ini adalah tanggapan terhadap orang-orang yang ingkar terhadap Hari Kiamat. Ada term penting yaitu Wayl dan Khaudhin. Wayl adalah ekspresi dari kutukan Allah SWT dan Khaudhin adalah mereka yang bermain-main dalam kebatilan. (hal.30).
Banyak di antara kita dalam kehidupan sehari-hari yang abai terhadap kebenaran ajaran agama. Ada yang hidup materialistis, hedonis, menganggap bahwa kemajuan sains dan teknologi dapat menggantikan peran agama dan hilangnya sensivitas sosial. Ketidaksadaran seseorang terhadap akhirat dapat membuat hilangnya kesempatan untuk berbuat baik.
Konsep Naim dan Fakihiin
Konsep Naim dan Fakihiin penting bagi kita untuk menjadi motivasi dalam berbuat baik bahwa Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang bertakwa (hal.41).
Naim adalah kenikmatan yang akan didapatkan di akhirat kelak tanpa batas. Bentuk kenikmatan itu salah satunya dengan bersuka ria (Fakihiin).
Di dunia saat ini ketika ada orang yang mampu menghadapi godaan materialisme, kepentingan pribadi maupun tekanan sosial, serta dapat menjaga integritas, menjaga kehormatan orang lain, serta berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan, maka tentu bisa diyakini bahwa orang tersebut akan mendapatkan ganjaran dari dua hal di atas.
Konsep Fakihin dapat menjadi penawar kesehatan mental. Ketika ada orang yang selalu merasa resah dan tidak puas dengan pencapaian dunianya. Bagi orang yang bertakwa di dunia ini, ia akan dianugerahi ketenangan batin oleh Allah Swt yang tidak bisa digantikan oleh harta maupun jabatan.
Gambaran kehidupan surgawi juga dijelaskan dengan berbagai kegiatan seperti dalam ayat 23. Penghuni surga saling mengulurkan gelas bahkan berebut piala yang berisi minuman, tidak berkata yang buruk dan tidak berbuat yang merugikan orang lain. Tentu ini sangat berkaitan dengan kehidupan sosial kita saat ini dimana banyak orang berebut materi dan status sosial, berusaha mendapatkan status dan posisi, pengaruh, akan tetapi abai terhadap nilai-nilai spiritual dan mengorbankan kepentingan orang banyak. (hal.56).
***
Dalam segmen akhir buku ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk kembali meneladani keteguhan dan kesabaran Nabi Muhammad Saw ketika berdakwah dan mendapat cacian dari kafir Qurays. Keteguhan dan kesabaran ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan saat ini. Orang yang bertakwa tidak akan merasa sendirian karena Allah Swt selalu mengawasinya (‘Ain) dan menjaganya dari sesuatu yang buruk. Dengan ini, maka manusia tidak perlu terombang ambing akan kecemasan dan tekanan hidup.
Pada ayat terakhir surah ath-Thur yaitu ayat 49, ada perintah agar kita bertasbih pada ‘sebagian malam dan saat terbenamnya bintang-bintang’.
Frasa ini memiliki makna bahwa ada waktu-waktu tertentu bagi seorang hamba agar koneksinya kepada Allah Swt lebih ‘intim’. Ayat ini juga menekankan perlunya keseimbangan hidup dengan momen-momen ibadah di waktu malam yang tidak hanya untuk menguatkan spiritualitas, akan tetapi untuk kebahagiaan dan ketenangan jiwa.
Dan sepertinya dalam ayat inilah kemudian buku ini diberi judul Tasbih di Ujung Sajadah.
Kekurangan Buku
Kemudian tentunya setiap buku punya kekurangan maupun kelebihan. Dalam buku ini dengan jumlah 125 halaman tidak terdapat catatan kaki ketika mengutip sebuah pendapat dari berbagai ulama Mufassirin.
Yang kedua adalah tidak terdapat Daftar Pustaka. Di bagian akhir buku terdapat nama penulis secara singkat yang hanya mencantumkan nama lengkap serta pekerjaan.
Mungkin saja buku Tasbih di Ujung Sajadah ini adalah hasil kajian bersama antara para kiai dan mahasantri di lingkup Ma’had Aly As’adiyah Sengkang. Apalagi Mahasantri di Ma’had Aly memang latar belakang keilmuannya adalah Ilmu Tafsir. Sehingga hasil dari kajian mendalam tersebut berupa sebuah karya tafsir dengan khazanah keislaman yang luas dan sesuai dengan isu-isu kontemporer.
Buku ini sekalipun tebalnya hanya 125 halaman sudah termasuk kata pengantar dan biografi penulis, akan tetapi pembahasannya sangat menarik. Singkat, padat, dan penuh makna. Bahasa yang digunakan tidak ‘monoton akademis’ sehingga siapapun bisa membacanya dengan sekali duduk.
Jadi bagi pecinta keilmuan bidang Tafsir atau keagamaan pada umumnya, buku ini bisa menjadi salah satu koleksi di rak buku anda.