Kota Jakarta kerap dibaca sebagai simbol krisis ekologis perkotaan: padat, panas, dan rakus energi. Gambaran itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi semakin hari terasa tidak utuh. Di balik kemacetan dan beton, tumbuh kesadaran ekologis warga yang bekerja secara kolektif dan praktis, bukan lewat slogan, melainkan melalui kebiasaan sehari-hari.
Kesadaran ini tidak lahir dari kebijakan besar atau kampanye moral, melainkan dari pengalaman hidup yang sama: udara kotor yang dihirup bersama, banjir yang datang rutin, serta panas ekstrem yang kian sulit dihindari. Warga Jakarta mulai belajar, secara perlahan, bahwa kota ini hanya bisa bertahan jika cara hidupnya diubah. Tumbler di tangan, tote bag di bahu, berjalan kaki untuk jarak pendek, memilih MRT, TransJakarta, atau KRL, hingga meramaikan car free day.
Semua itu membentuk lanskap baru kota. Praktik-praktik kecil ini menyebar lewat peniruan sosial. Orang ikut bukan karena membaca laporan krisis iklim, tetapi karena apa yang dulu dianggap tidak lazim kini terasa wajar, bahkan pantas.
Tata Kelola Kota Jakarta dan Hifẓ al-Bī’ah
Dalam konteks ini, kesadaran ekologis kota Jakarta dapat dibaca melalui kerangka ḥifẓ al-bī’ah sebagai upaya menjaga lingkungan sebagai prasyarat keberlangsungan hidup. Lingkungan yang rusak akan menggugurkan makna perlindungan atas jiwa, harta, dan generasi. Karena itu, praktik ekologis warga kota bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan respons etis terhadap ancaman nyata atas kehidupan bersama.
Menariknya, kesadaran ini bersifat komunal. Ia hidup dalam komunitas lari, pesepeda, pejalan kaki, urban gardening, hingga gerakan mempertahankan ruang publik hijau. Media sosial mempercepat prosesnya: praktik hijau menjadi konten, konten menjadi inspirasi, inspirasi menjadi kebiasaan kolektif. Ekologi masuk ke budaya kota tanpa harus dibungkus jargon aktivisme.
Namun, di sinilah paradoks Jakarta. Kesadaran warga bergerak lebih cepat daripada struktur kota. Trotoar masih terputus, ruang hijau kerap kalah oleh proyek, dan transportasi publik belum sepenuhnya terintegrasi. Akibatnya, tanggung jawab ekologis sering berhenti di level individu, padahal dampaknya selalu bersifat kolektif.
Makna Mendalam Hifẓ al-Bī’ah
Jika ḥifẓ al-bī’ah dipahami secara serius, maka ia tidak cukup berhenti pada imbauan moral. Ia menuntut keberanian kebijakan. Ketika warga sudah memilih berjalan kaki, kota harus ramah pejalan. Saat warga beralih ke transportasi publik, negara wajib memastikan sistem yang aman, terjangkau, dan terintegrasi. Di titik ini, menjaga lingkungan bukan lagi urusan kesadaran personal, melainkan keadilan struktural.
Jakarta hari ini sedang berada di persimpangan. Kesadaran ekologisnya sudah terlihat, bahkan menular. Pertanyaannya bukan lagi apakah warga peduli, melainkan apakah kekuasaan bersedia mengakui bahwa amanah menjaga lingkungan telah lebih dulu dipraktikkan oleh warganya sendiri.
Di kota yang terlalu lama diatur dari balik kaca mobil, kesadaran ekologis kolektif adalah bentuk paling sunyi dari tanggung jawab bersama. Dan justru karena sunyi, ia menyimpan potensi besar untuk mengubah arah kota jika mau disambut, bukan diabaikan. Pada akhirnya, ḥifẓ al-bī’ah di Jakarta bukan soal menjadi warga paling hijau atau paling saleh secara simbolik. Ia adalah soal kesediaan berbagi ruang hidup secara adil antara manusia dan alam, antara hari ini dan generasi yang akan datang.
Kesadaran Ekologis Warga Kota
Kesadaran ekologis warga kota menunjukkan bahwa etika Islam tidak selalu hadir dalam bentuk seruan, tetapi dalam laku keseharian yang menjaga kehidupan tetap mungkin. Di tengah kota yang terus tumbuh dan sering lupa batas, menjaga lingkungan menjadi cara paling konkret untuk merawat amanah: memastikan Jakarta tetap layak dihuni, bukan hanya sekarang, tetapi juga bagi mereka yang belum sempat memilih kota ini sebagai rumah.
Setiap tren punya batas tenggang waktu terhadap popularitasnya. Kesadaran ekologis Jakarta kini berada di persimpangan: tumbuh menjadi budaya kota atau mati sebagai gaya hidup kelas menengah. Potensi politiknya besar. Perubahan perilaku massal adalah mandat kebijakan.
Jika negara memilih mengejar langkah warganya, bukan sekadar kampanye simbolik, maka tren bisa berubah menjadi sistem. Di situlah perubahan ekologis kota benar-benar dimulai. Di kota yang terlalu lama diatur dari balik kaca mobil, kesadaran ekologis kolektif adalah bentuk paling sunyi dari perlawanan. Dan justru karena sunyi, ia berbahaya bagi status quo.
Editor: Assalimi

