Di rumah sakit, kadang-kadang perawat menangani pasien perempuan yang sedang menstruasi. Selama rawat inap di rumah sakit, telah selesai masa haidnya. Namun dalam pertimbangan medis ia tidak diperbolehkan untuk mandi besar. Pertanyaannya: Apakah ia boleh bertayamum untuk menghilangkan hadas besarnya? Kemudian setelah selang beberapa hari, dalam pertimbangan medis ia sudah diperbolehkan untuk mandi, apakah ia harus mandi besar untuk mengganti tayamumnya? Atau tayamum itu sudah menjadi ganti mandi besarnya, sehingga dia tidak harus mandi besar?
Ulasan
Seseorang yang menderita penyakit ataupun terluka sehingga terhalang untuk mandi wajib, Islam memberikan keringanan untuk bertayamum sebagai pengganti mandi wajib. Dalilnya adalah dari al-Qur’an surat al-Maidah ayat 6 dan hadis sebagai berikut:
Al-Qur’an surat al-Ma’idah (5) ayat 6:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون
“Dan apabila kamu junub maka bersucilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau berhubungan badan dengan wanita, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Hadis Riwayat Abu Dawud dari Jabir
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِر
“Dari Jabir (diriwayatkan) ia berkata: ketika bersama dengan sahabat lainya bepergian, salah seorang di antara mereka tertimpa batu dan terluka, lalu ia mimpi basah dan bertanya kepada teman-temannya apakah diperbolehkan untuk bertayamum. Teman-temannya menjawab bahwa tidak ada jalan rukhsah. Lalu mandilah orang itu kemudian meninggal. Oleh Jabir, selanjutnya diceritakan kepada Nabi Saw setelah kembali dari berpergian itu. Lalu Nabi Saw bersabda: Mereka telah menyebabkan kematiannya. Mudah-mudahan Allah mematikan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya sedang mereka itu tidak mengerti, sebab obat kebodohan itu adalah bertanya? Sesungguhnya cukup baginya bertayamum dan mencegah untuk mandi.”
Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa apabila orang yang sakit menggunakan air akan mendatangkan madlarat, maka dibolehkan untuk tayamum. Hal ini menunjukkan bahwa terhalangnya seseorang dari mengamalkan hukum asal dapat berpindah kepada yang lain. Namun, pengganti tersebut masih dalam bingkai nash. Sebagaimana dalam kaidah fikih:
إِذَا تَعَذَّرَ اْلأَصْلُ يُصَارُ إِلَى اْلبَدْلِ
“Apabila hukum asli sukar dikerjakan, maka digantikan dengan hukum penggantinya.”
Lalu, jika pasien tersebut sudah sehat dan diperbolehkan untuk mandi, maka pasien tersebut tidak perlu untuk mandi junub. Hal ini karena tayamum yang dilakukannya sudah menggantikan mandi wajib sebagai rukhsah (keringanan), seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun demikian, untuk lebih menjaga kebersihan dan kesehatan badan, sebaiknya pasien tersebut tetap mandi, tetapi bukan sebagai pengganti mandi wajibnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
.
Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No. 35 Tahun 2015