FeaturePerspektif

Telepon Pintar

4 Mins read

Oleh : Muhammad Ridha Basri*

Seorang karib pernah mengajukan sebuah pertanyaan retoris. “Apakah kita, manusia, pada akhirnya akan menjadikan robot dan makhluk virtual sebagai teman hidup dan tempat pulang setelah runyam dengan keseharian?” Saat itu, kami sedang bersantai ria menikmati sarapan pagi di alun-alun utara Yogyakarta, usai berolahraga. Di hadapan kami, berlalu-lalang manusia dengan beragam kesibukan memulai pagi. Satu pemandangan yang cukup menarik perhatian kami adalah tentang beberapa orang yang berolahraga ringan, namun justru disibukkan dengan gawai di tangan.

Obrolan kami juga mengarah tentang kehidupan manusia modern yang semakin sedikit waktu untuk bersantai. Yasraf Amir Piliang menyebutnya sebagai Dunia yang Berlari (2004). Seolah, hidup menuntut semua keseriusan, keseketikaan, dan kesegeraan. Padahal, semakin hari semakin banyak robot-robot yang tercipta untuk membantu pekerjaan manusia. Kehadiran benda-benda itu seharusnya mengurangi beban rutinitas makhluk mulia ini, dan pada akhirnya semakin banyak waktu yang tersedia untuk perihal manusiawi. Ritme kehidupan manusia modern memang penuh paradoks dan larut di lapisan permukaan.

Gawai menjadi salah satu benda yang dimiliki oleh hampir semua orang Indonesia. Hingga akhir 2017, tercatat 236 juta unit telepon genggam yang dimiliki oleh penduduk negara besar dengan populasi sekitar 263 juta jiwa ini. Deret ukur pertumbuhannya juga sangat cepat. Uniknya, di Indonesia masih belum ada aturan pembatasan usia dan jumlah kepemilikan terhadap telepon genggam. Tak jarang, satu orang memiliki lebih dari satu gawai.

Kehadiran telepon genggam telah mengubah pola hidup dan perilaku banyak orang. Benda ini disebut juga telepon pintar. Dalam makna yang sebenarnya atau makna kiasan, benda itu memang pintar. Benda pintar ini terus belajar meningkatkan kemampuan dan daya inteligensinya. Belum ada tanda akan berhenti. Benda itu tidak hanya menyimpan, namun juga mampu menganalisa dan mengolah data. Pada tahap selanjutnya, benda itu bisa mencerna informasi. Dengan dilengkapi rumus dan pola logaritma tertentu, ia menjelma sebagai makhluk cerdas.

Baca Juga  Kiai Pesantren Mengajarkan Santri Politik yang Bermartabat

Orang sering menyebutnya sebagai kecerdasan buatan (artificial intelligence). Dengan kapasitas otak buatan sedemikian rupa, rumus-rumus logaritma yang semakin rumit pun bisa dilahapnya dengan sempurna. Kemampuan olah data inilah yang kini menjadikannya mahakuasa terhadap dunia. Menguasai big data berarti menjadi paling mampu segala. Kekuasaannya bertambah berkali lipat dengan bantuan jejaring internet. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat setidaknya sudah ada 143 juta orang Indonesia yang telah terhubung dengan internet sepanjang tahun 2017.

Benda pintar kini semakin mampu merekam semua jejak emosi dan pengalaman manusia. Benda ini mencatat orang-orang dan teman yang kita temui di media sosial. Menyimpan data benda dan transaksi jual beli. Mencatat buku bacaan yang kita suka, video-video yang kita tonton, tempat-tempat yang kita kunjungi. Bahkan, pilihan politik. Lalu, dengan tepat mampu menebak arah emosi dan pikiran kita. Benda pintar ini mampu merekomendasikan kecenderungan-kecenderungan yang sesuai kepribadian kita.

Wajar saja jika Yuval Noah Harari sampai menyebut bahwa kita hidup di zaman ketika manusia diretas. Pada tubuh manusia dilekatkan sebuah monitor besar yang senantiasa mengawasi seluruh gerak gerik. Keadaan kita seperti dinyanyikan Iksan Skuter lewat penggalan lirik “Bingung” pada album Benderang Terang, “..Makin hari makin susah saja menjadi manusia yang manusia..”

Karib saya ini kemudian merekomendasikan beberapa judul film Hollywood terbaik yang menggambarkan tentang kemampuan benda-benda pintar. Banyak hal yang mulanya hanya dapat ditemui di layar kaca, kini sudah menjadi nyata. Kemampuan benda yang awal mulanya sulit dijangkau logika, saat ini berseliweran di depan mata. Imajinasi telah membuahkan bukti. Belakangan, beberapa perusahaan teknologi raksasa sedang merancang kacamata pintar dan arloji pintar.

Baca Juga  Ramalan Akhir Pandemi Seperti Teriakan di Padang Pasir

Novel Origin karya Dan Brown sedikit menceritakan tentang peran benda pintar yang melampaui kemanusiaan. Novel ini memunculkan tokoh misterius bernama Winston yang memiliki kemampuan luar biasa. Membantu keseharian sang tuannya, bahkan ikut berperan dalam mengungkap teka-teki di balik terbunuhnya sang tuan. Ternyata, Winston hanyalah manusia semu, komputer supercanggih, mahakarya dari futuris Edmund Kirsch, yang memiliki kemampuan belajar dan meniru cara berpikir dan emosi manusia. Semua itu, terhubung ke sebuah telepon pintar.

Tanpa sadar, manusia sering manjadi pandir di hadapan telepon pintar. Jika ketinggalan benda pintar, merasa seolah tidak membawa separuh bagian otak. Padahal, secanggih apapun benda pintar itu, tidak akan berfungsi tanpa manusia yang menekan tombol perintah tertentu. Manusia yang berkuasa terhadap tombol operasionalnya. Namun, tak jarang manusia merasa tidak utuh, tanpa kehadiran gawai yang telah dikawininya terlalu jauh. Benda pintar bukan lagi dipandang sebagai alat, manusia bahkan hidup bersama dan tergantung penuh.

Telepon pintar memang mampu bermain dan berpikir. Manusia sebagai homo ludens dan homo sapiens lantas ikut bersama. Sampai-sampai kadang sulit membedakan antara yang kita pikirkan dan yang dipikirkan benda pintar. Parahnya lagi, sebagian kita bahkan menyerahkan urusan sepenuhnya pada makhluk pintar itu. Akhirnya yang menerima informasi, berpikir, mengambil keputusan, dan melakukan tindakan, sepenuhnya dikuasakan pada telepon pintar. Manusia hanya bermain dan benda pintarlah yang berpikir.

Paradoksnya, benda pintar yang tidak memiliki emosi memang lebih bisa dipercaya dibandingkan manusia. Noam Lemelshtrich Latar, misalnya, melalui bukunya Robot Journalism: Can Human Journalism Survive? (2018), memberikan gambaran tentang benda pintar yang mampu menulis berita. Sudah digunakan oleh banyak media besar: Bloomberg, New York Times, Washington Post, hingga Beritagar.id di Indonesia. Benda itu menerima informasi, mengolah, dan kemudian menyajikannya secara akurat, sesuai informasi yang dimasukkan. Sementara, ada jurnalis yang mendapat anugerah penghargaan jurnalistik salah satu negara Eropa, justru ternyata melakukan praktik dusta dalam menyajikan fakta.

Baca Juga  Green Hajj: Pesan Ekologis, Agar Sepulang Haji Makin Peduli Lingkungan

Setiap harinya, kita disuguhi beragam informasi oleh telepon pintar. Masalahnya, kita menjadi tidak lagi terbiasa untuk mengolah dan menganalisa berita dan fakta. Kita menjadi kurang jeli membedakan antara kebenaran dan ketidakbenaran. Sesuatu akan langsung dianggap sebagai benar ketika memang sesuai dengan emosi dan kecenderungan pribadi. Sebaliknya, fakta-fakta objektif pun akan ditolak ketika kebenaran itu mengusik kenyamanan dan sejak awal tidak ingin kita dengarkan.

Oleh karena sering malas berpikir, tanpa sadar manusia menjadi budak di hadapan telepon pintar. Akal sehatnya menjadi tumpul. Padahal, sebagai mahakarya Tuhan yang sempurna dan bijaksana, para malaikat sampai diperintahkan untuk bersujud memberi penghormatan pada manusia. Menjadi ironi ketika kemudian, manusia justru menghamba di hadapan benda pintar ciptaannya.

Telepon pintar perlu ditempatkan sebagai benda, pembantu di bawah kendali kita. Kuasa atas benda itu adalah manusia. Kelak di hadapan-Nya, yang akan mempertanggungjawabkan semua tindakan dan ujaran adalah manusia, bukan benda. Qur’an Surat al-Isra ayat 36 mengingatkan, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

*) Penulis adalah pegiat komunitas Masa Kini Yogyakarta.

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds