Oleh: Dokter Zuhdiyah Nihayati
Covid-19 ditemukan pertama kali di Wuhan China pada akhir tahun 2019. Covid-19 itu sendiri merupakan singkatan dari Corona Virus Disease 2019, yang artinya penyakit akibat infeksi virus Corona yang ditemukan pada tahun 2019.
Sejak Covid-19 ini ditemukan, tak ada satupun yang menyangkal bahwa tenaga kesehatan berbagai profesi merupakan lini terdepan penanganan. Tak sedikit yang menyebutnya berjuang, jihad, atau pengabdian tanpa batas. Mereka menyiapkan keluarga agar siap ditinggalkan dalam waktu yang belum dapat ditentukan, setiap anak bersiap tak mendapat pelukan ayah maupun ciuman ibu.
Setiap orang tua bersiap tak dapat mendekap atau bahkan menyentuh buah hatinya, setiap anak menguatkan hati tak bertemu sekedar memberikan salam hormat kepada orang tuanya, pun penat yang biasanya terbayarkan dengan berkumpul bersama keluarga menjadi sebuah impian yang mahal. Setiap tenaga kesehatan yang langsung in touch dengan pasien mati-matian menjaga kekuatan mentalnya, menjaga stabilitas psikologisnya, menahan rasa panas karena menggunakan alat pelindung diri berlapis yang mungkin saja membuat mereka dehidrasi.
Menahan rasa haus rasa lapar rasa ingin buang air, bahkan menahan rasa takut tertular dari pasiennya. Dalam keseharian menjalankan layanannya, setiap pimpinan rumah sakit mengurangi jam tidur untuk menjaga dan melindungi karyawannya, berjibaku menyediakan APD, sistem proteksi, sistem penapisan, sistem perlindungan kesehatan, sistem kerja, sistem manajemen pasien, sampai urusan tempat buang air kecil pun dipertimbangkan.
***
Apakah berbagai tantangan ini kemudian membuat mereka berpaling dalam memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada pasien? Tentu tidak. Karena ini adalah profesi yang mereka pilih dan ada sumpah yang mereka jaga. Hal terbaik yang diharapkan oleh setiap tenaga kesehatan adalah kesembuhan pasien serta senyum kebahagiaan pasien beserta keluarganya.
Jika pasien tak kunjung membaik apalagi (naudzubillah) lebih buruk lagi, ada rasa bersalah dan tekanan mental yang mereka hadapi meski mungkin mereka membungkus itu dengan tawa, meski mungkin mereka menahan itu dengan sedikit komunikasi, meski mungkin mereka meluapkan itu dalam tangis. Meski mungkin mereka mengekspresikan lewat aplikasi yang sedang tren saat ini, meski mungkin pasien dan keluarga tak pernah tahu atau mungkin tak mau tahu bahkan menganggap usaha mereka tak maksimal.
Sayang, beratnya kondisi tenaga kesehatan ini tak selalu dibarengi oleh pemahaman yang cukup dari orang lain. Simpati dan empati rasa-rasanya ikut menjadi barang mahal di negeri ini bagi para tenaga kesehatan. Pengusiran, penolakan, tuduhan pembawa virus, dan berbagai anggapan negatif lain tak kunjung henti mereka terima.
Tenaga kesehatan sudah melewati serangkaian prosedur dekontaminasi berlapis yang tak boleh ditinggalkan barang 1 tahap saja. Kita menuntut mereka menjalankan profesi tanpa mempedulikan rasa takut yang mereka hadapi. Kita minta mereka berjuang menjaga dan merawat keluarga kita sebaik mungkin tanpa cela. Tapi adakah kita menjaga dan merawat mereka? Adakah kita mengobati rasa takut berlipat-lipat dalam diri mereka? Adakah kita memahami sulitnya masa pandemi ini bagi mereka? Kemana nurani kita berpihak? Kemana keadilan kita berdiri? Kemana akal sehat dan akal jernih kita berada? Kemana rasa peduli itu kita simpan? Apakah tenaga medis tak ada hak serta tak layak untuk kita jaga dan kita lindungi?
***
Hentikan semua cemoohan dan stigma. Jaga suasana kondusif lingkungan tempat tinggal dengan belajar memahami dan mencoba berdiri dalam posisi mereka. Sayangi dan lindungi mereka sebagai garda terdepan dalam masa pandemi ini.
7 April 2020, memasuki bulan kedua sejak kasus pertama diumumkan.