Perspektif

Tentang Cadar yang Diperdebatkan

3 Mins read

Polemik tentang cadar yang diperdebatkan kembali mencuat setelah pernyataan menteri agama Fachrul Razi yang akan melarang penggunaan cadar di instansi pemerintah. Sebelumnya perdebatan yang sama pernah muncul saat rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Yudian Wahyudi melarang penggunaan cadar bagi mahasiswi di lingkungan kampus UIN.

Melalui tulisan ini, penulis akan mencoba menguraikan perspektif penulis tentang persoalan pelarangan cadar. Penulis mencoba menguraikan polemik cadar melalui pendekatan teologis, pragmatis, dan kebebasan sipil.

Tentang Cadar yang Diperdebatkan

Apa hukum cadar menurut agama Islam? Pertanyaan ini penting dijawab mengingat pengguna cadar pasti punya motif teologis dalam tindakannya. Berbeda dengan pengguna masker yang mempunyai motif agar tidak terkena polusi udara, pengguna cadar berkeyakinan bahwa yang dilakukannya adalah bentuk ketaatan dan keimanan kepada Tuhan.

Dalam alquran dan hadis, tidak ditemukan dalil yang spesifik berupa perintah menggunakan cadar. Yang ada adalah dalil perintah menutup aurat. Di mana batas aurat adalah dari pusar sampai lutut bagi laki-laki dan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan bagi perempuan.

Dalil yang cukup mendekati bagi penggunaan cadar adalah QS. Al Ahzab : 53. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Walaupun mendekati, namun ayat ini juga tidak menjelaskan secara spesifik soal cadar. Yang dimaksud tabir dalam ayat ini bukan cadar, namun dinding pemisah.

Lantas dari manakah ajaran mengenai penggunaan cadar dalam Islam? Jawabannya adalah dari tafsiran ulama terhadap dalil-dalil menutup aurat. Situs muslim.or.id memuat sebuah tulisan berjudul Cadar dalam Pandangan 4 Mazhab. Dijelaskan bahwa mazhab Hanafi dan Maliki mensunnahkan cadar jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Sementara mazhab Syafii dan Hanbali mewajibkan penggunaan cadar di depan lelaki ajnabi.

Baca Juga  Setelah Dwiwindu Bom Bali (2): Radikalisme Bisa Dirasionalkan?

Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa penggunaan cadar tidak ada dasarnya dalam nash Alquran dan sunnah. Syaikh Muhammad Al Ghazali dalam kitab As Sunnah An Nabawiyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadits berpendapat, seandainya semua wajah wanita di masa Nabi SAW tertutup, mengapa kaum muslim diperintahkan agar menahan pandangan mereka? (Lihat QS. An Nur : 30)

Masih menurut Syaikh Muhammad Al Ghazali, Rasulullah SAW sendiri telah menyaksikan wajah-wajah wanita terbuka dalam pertemuan-pertemuan umum, di masjid dan di pasar. Namun tak pernah diberitakan bahwa beliau memerintahkan agar wajah-wajah mereka itu ditutup. Apakah kalian merasa lebih membela agama daripada Allah dari Rasul-Nya?

Pakaian adalah Kebebasan Sipil

Pada masa Nabi Muhammad SAW cadar adalah bagian dari adat, namun sepeninggal Nabi para ulama merasa perlu memasukan cadar ke dalam bagian dari syariat. Menurut penulis hal ini dikarenakan alasan pragmatis, yakni manfaat dari cadar itu sendiri. Para ulama melihat bahwa dalam rangka sadd dzariah atau mencegah keburukan, walaupun wajah bukan aurat, namun lebih baik ditutup saja.

Aspek pragmatis ini yang juga masih relevan sampai sekarang. Bukan hanya karena alasan keimanan, para wanita bercadar merasa lebih aman jika mukanya ditutupi. Tentu saja jika kita pakai sudut pandang feminisme maka pemikiran ulama terdahulu mengandung bias patriarkis.

Memangnya laki-laki saja yang bisa bernafsu melihat wajah perempuan? Perempuan juga bisa bernafsu melihat wajah laki-laki, kenapa yang diperintahkan menutup wajah hanya perempuan? Penulis tak akan membahas soal bias ini lebih jauh dalam tulisan ini.

Aspek terakhir adalah soal kebebasan sipil, bercadar khususnya maupun berbusana pada umumnya adalah bagian dari kebebasan sipil. Artinya busanaku ya urusanku, bukan urusanmu. Saat Menag mengumumkan pernyataan larangan bercadar, salah satu partai Islam mengkritik menag yang terlalu mencampuri wilayah privat seseorang. Dalam perspektif kebebasan sipil memang bercadar adalah bagian dari hak individu yang harus dilindungi.

Baca Juga  Wahyudi Akmaliyah: dari “Kesantunan Offline” Menuju “Kesantunan Online”

Masalahnya jika umat Islam menggunakan argumen kebebasan sipil untuk membela cadar, maka biasanya akan inkonsisten. Karena tidak membela kebebasan sipil untuk hal lain. Misalnya saat kelompok kita ditindas kita teriak soal HAM, namun saat kelompok lain ditindas kita malah ikut menindas dengan dalih aliran sesat misalnya.

Cadar sebagai Adat Semata

Penulis akan mencoba menyimpulkan mengenai penggunaan cadar berdasarkan aspek teologis, pragmatis dan kebebasan sipil. Secara teologis, hukum cadar tidak sama dengan kewajiban jilbab. Penulis cenderung menganggap cadar sebagai adat semata berdasarkan nash alquran dan sunnah. Namun jika anda ingin menghukum cadar sebagai sunnah bahkan wajib, anda punya beberapa ulama sebagai landasan.

Walaupun dalam aspek teologis soal cadar ini khilafiyah, namun kita bisa sepakat bahwa cadar mempunyai manfaat pragmatis, yakni perlindungan diri dari pandangan laki-laki jahat. Dalam sifat pragmatis ini maka fungsi cadar sama seperti masker untuk melindungi dari polusi, dan helm untuk melindungi diri dari kecelakaan. Artinya dalam hal keadaan tertentu cadar bisa dilepas, seperti halnya helm dan masker harus dilepas ketika masuk ke mesin ATM.

Dalam aspek kebebasan sipil cadar adalah bagian dari ekspresi keagamaan yang tidak boleh dilarang. Tentu sekali lagi penulis katakan bahwa kewajiban cadar tidak boleh disamakan dengan kewajiban berjilbab. Maka jika dengan pertimbangan kemaslahatan tertentu, seorang perempuan mesti melepas cadarnya, maka justru yang berdosa adalah jika dia tidak mau melepas cadarnya.

Terakhir tentang cadar yang diperdebatkan, penulis menolak stigmatisasi perempuan bercadar sebagai radikal bahkan teroris. Kalaupun mungkin ada perempuan bercadar yang berideologi ekstrem, namun di lapangan motif perempuan bercadar tidaklah tunggal.

Penulis pernah menemukan perempuan bercadar namun pacarannya juga hebat. Penulis juga pernah menemukan perempuan yang sering bertengkar dengan pacarnya, lalu dia memilih bercadar. Setelah putus dengan pacarnya dan menemukan pacar baru yang lebih baik, perempuan ini tidak bercadar. Banyak faktor penyebab perempuan bercadar yang tentu tak boleh kita hakimi.

Baca Juga  Krisis Kebijakan Jelang Idulfitri 1441 Hijriah
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds