Modernisasi berlari kencang membawa banyak perubahan pada kehidupan manusia. Teknologi sebagai anak kandungnya telah mengubah pola perilaku masyarakat yang semakin jauh meninggalkan generasi sebelumnya yang masih tergagap-gagap mengoperasikan berbagai piranti canggih. Di sekitarnya, hidup masyarakat yang sulit mengidentifikasi diri bahkan seolah-olah berdaya, namun memiliki banyak keterbatasan.
Modernisasi memang melahirkan banyak fenomena baru yang menggeser berbagai cara pandang lama. Bahkan dalam tarap keilmuan, modernisasi banyak melahirkan diksi baru bahkan mengganti diksi yang sudah mapan, sehingga seolah-olah tidak ada persoalan. Dengan hanya mengganti diksi, persoalan seolah-olah sudah selesai dengan sendirinya. Agama semestinya memiliki perhatian yang cukup serius dalam menyikapi berbagai persoalan masyarakat yang semakin kompleks.
Selain menekankan ibadah ritual yang sifatnya personal, agama memiliki misi kemanusiaan yang lebih luas melalui berbagai peran strategisnya. Artinya, bagaimana agama memaknai ibadah ritual yang menjadi kebiasaan umat beragama, memiliki dampak sosial yang masif.
Teologi Al-Maun dan Masyarakat Massa
Teologi al-Ma’un merupakan salah satu yang menjadi landasan pokok pergerakan Muhammadiyah. Awalnya KH. Ahmad Dahlan mengajarkan Qur’an Surat al-Ma’un kepada para muridnya secara berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama. Inti surat ini mengajarkan bahwa ibadah ritual tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Surat ini bahkan menyebut mereka yang mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebagai ‘pendusta agama’.
Di tangan KH. Ahmad Dahlan inilah, kata Andri Gunawan, al-Ma’un kemudian diterjemahkan kedalam tiga pilar yang menjadi kerja besar Muhammadiyah, yaitu healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial). Spirit pelayanan kemanusiaan yang dilakukan secara masif inilah yang diyakini mengapa gerakan itu terus hadir dan berusia lebih dari satu abad.
Selain kegiatan-kegiatan insidental, Muhammadiyah pun memiliki banyak amal usaha di berbagai bidang di seluruh Indonesia bahkan kini menjangkau negara-negara lain di dunia. Sedangkan Sokhi Huda menyebut teologi al-Ma’un ini sebagai teologi mustad’afin.
Teologi ini tiada lain merupakan wajah baru di Indonesia yang mengakumulasikan isu-isu yang lebih luas dan melibatkan hubungan dengan pihak lain dalam rangka mencapai strategi praksisnya. Asumsi teologi ini yaitu bahwa praktik ibadah harus langsung terkait dengan masalah sosial, dengan landasan tauhid yang memanifestasikan dirinya ke dalam wilayah praksis. Karenanya, penting teologi ini setidaknya dengan alasan untuk mempertahankan masyarakat dari beberapa persoalan berikut, yaitu:
(1) penindasan iman,
(2) retardasi,
(3) penderitaan ekonomi dan status sosial,
(4) keterpurukan moral, serta
(5) ancaman teologi dan ancaman bagi persatuan Indonesia. Hal ini mengisyaratkan perlunya fiqh Islam Mustad’afin.
Globalisasi dan Dampak Kemiskinan
Jika pada era kolonialisme ilmu sosial melegitimasi kolonialisme dengan mengembangkan teori evolusi dan Darwinisme, pada era atau periode selanjutnya teori dan ideologi ilmu sosial modernisasi dan neo liberalisme juga berperan melegitimasi pembangunan dan globalisasi. Menurut Fakih, globalisasi ini secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global. Namun, jika dilihat dari sejarahnya yang lebih panjang, globalisasi ini pada dasarnya merupakan perkembangan dari kapitalisme liberal, yang secara teoritis sebenarnya telah dikembangkan oleh Adam Smith.
Maka praktek globaliasi pada banyak kasus tidaklah menawarkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh ummat, tetapi justru sebaliknya, menyebabkan kemiskinan yang sangat massif. Kemiskinan pada zaman globalisasi ini semakin meluas karena disebabkan banyak faktor yang menyertai proses liberalisme dan hegemoni. Setidaknya, Zakiyuddin Baidhawy mengutip Kerbo mengidentifikasi empat macam teori kemiskinan, yaitu:
Pertama, teori sosial Darwinian. Teori ini pertama muncul dalam sosiologi dan mencoba menjelaskan kemiskinan dalam pengertian perilaku dan sikap orang miskin sendiri.
Kedua, budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan merupakan sindrom khusus yang tumbuh dalam beberapa situasi. Budaya ini menghendaki suatu setting ekonomi tunai, yakni tingginya angka pengangguran dan setelah pengangguran, upah rendah dan warga dengan keterampilan rendah.
Ketiga, teori kemiskinan situasional. Menurutnya, orang miskin berperilaku berbeda karena mereka tidak memiliki sumber daya dan kesempatan untuk meniru gaya hidup kelas menengah.
Keempat, teori kemiskinan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh struktur tatanan sosio-ekonomi lebih luas. Yaitu struktur makro masyarakat yang melahirkan kesenjangan dan kemiskinan sebagai akibatnya.
Salat, sebagai ibadah ritual pun harus memiliki makna keberpihakan yang jelas, agar selaras dengan konteks al-Ma’un tadi. Keberpihakan salat itu yaitu kepada keadilan dan demokrasi–hak setiap orang untuk dapat berbicara dan mendapatkan hak hidup yang layak. Kemudian salat pun dalam konteks neo al-Ma’un ini harus bersifat menyelamatkan. Maka pelakunya harus memiliki prinsip harus selalu membela orang miskin.
Kemiskinan dalam Media
Bagaimana media melakukan representasi dan apa kepentingannya, menjadi perbincangan tersendiri di dunia jurnalisme. Dalam membangun narasinya media dalam kacamata ekonomi politik media yangtidak pernah netral, bahkan justru menjadi agen untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Kontennya melakukan pemihakan kepada siapa atau pihak mana saja yang dianggapnya menguntungkan. Posisi media yang tidak bisa melepaskan diri dari representasi.
Praktik media adalah merepresentasikan topik, tipe-tipe orang, peristiwa, atau situasi. Gagasan tentang representasi merupakan ide tentang memberi makna pada sesuatu. Representasi pada prakteknya akan membuka pandangan baru kepada publik tentang sebuah objek atau isu tertentu. Apa yang dimaksud kemiskinan pada era globalisasi ini, mengalami pemaknaan yang luas, dan media akan membangun representasi tentangnya.
Sebagai sebuah teologi al-Ma’un layaknya menjadi agenda penting untuk mengisi konten media. Persoalan kemiskinan yang semakin kompleks dan memiliki makna semakin luas, harus direpresentasikan oleh media yang memiliki pengaruh pada budaya massa, sehingga dapat menggugah dan menciptakan kebijakan yang pro terhadap orang miskin. Media akan memproduksi konten yang fokus pada persoalan-persoalan kemiskinan dan bagaimana para aktor melakukan solusinya sebagai refleksi dari bentuk ketaatan terhadap agamanya.
Media yang memiliki keberpihakan yang sama pada persoalan-persoalan kemanusiaan, lingkungan dan peradaban. Melampaui fungsinya sebagai saluran informasi yang cenderung netral, media akan memposisikan diri pada kepentingan yang lebih produktif dan lebih idiologis. Sehingga media hadir dalam ruang peradaban manusia, bukan hanya sebagai pelengkap semata, tetapi memberikan kontribusi aktif melalui peran dan pengaruhnya yang sangat signifikan.
Editor: Nabhan