Falsafah

Teologi Al-Ma’un vs Eksistensialisme-Humanistik Sartre

5 Mins read

Persoalan eksistensi manusia kerap kali menjadi topik pembicaraan yang cukup membingungkan. Bagaimana tidak, acapkali sebelum kita memasuki dimensi eksistensialisme Sartre, kita masih sering keliru dalam mendefinisikan apa itu eksistensi?

Istilah “eksistensi” berasal dari akar kata ex-sistere yang secara harfiah artinya adalah bergerak atau tumbuh keluar. Para eksistensialis mengartikan hal ini sebagai bahwa eksistensi manusia dalam berbagai aspek yang melekat pada manusia itu sendiri seharusnya tidak dipahami sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, dan serangkaian nilai-nilai lainnya, melainkan sebagai bentuk usaha untuk “bergerak” atau “tumbuh keluar” yang bisa diartikan sebagai pencarian “keadaan” yang sesungguhnya: kebebasan.

Tentang Eksistensi

Menurut Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Maksudnya adalah manusia merupakan makhluk yang bebas menentukan hakikatnya sendiri; bebas menentukan jalan hidupnya. Namun, tidak sampai disitu, bebas disini bukan berarti mengawang-awang tanpa terikat oleh sesuatu, melainkan ada yang mengikatnya, yaitu pilihan.

Memilih suatu pilihan bukanlah hal yang mudah; sebelum kita memutuskan pilihan kita, kita harus mempertimbangkannya secara matang-matang; kemudian setelah itu, kita dituntut untuk bisa menanggung risiko/konsekuensi atas pilihan yang kita pilih.

Oleh karena itu, penderitaan manusia karena kebebasannya sendiri akan menjadi bumerang hingga hal tersebut terlepas dari hidupnya: kematian. Inilah bagian dari eksistensi manusia yang dikemukakan oleh Sartre: eksistensi mendahului esensi.

Jika ditelisik secara meluas, apa yang diajarkan oleh Sartre memiliki kaitan tersendiri dengan surat Al-Ma’un sebagai teologi pembebasan umat Islam. Bagaimana tidak, semangat teologi Al-Ma’un adalah membangun kesadaran diri untuk memupuk rasa keberpihakan terhadap mereka yang tertindas.

Surat Al-Maun menerangkan terkait tentang hubungan antara manusia dengan Allah (Habluminallah); peringatan akan perlunya memperhatikan kekhusyukan dalam shalat dan jangan lalai/bermain-main terhadapnya, dan hubungan antara manusia dengan manusia (Habluminannas); mendorong terciptanya kebaikan dan kepedulian antar sesama manusia, terkhususnya kepada anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua/yatim piatu.

Perlu diingat dan diketahui juga, Al-Ma’un bukanlah hanya sekadar surat yang hanya dibaca dan dihafal saja, melainkan ia juga harus dipraktikkan seperti yang dikatakan oleh KH Ahmad Dahlan terkait pengejawantahan pemahaman Al-Ma’un ini agar istilah ilmu-amaliyah dan amal-ilmiah dapat terlaksana secara praksisnya.

Teologi Al-Ma’un vs Eksistensialisme-Humanistik Sartre

Menurut mendiang Buya Syafii Ma’arif dalam tulisannya di Majalah Surya Mataram yang berjudul, “Mengukuhkan Teologi Al-Ma’un dalam Teori dan Praksis” dijelaskan bahwa kurang tajamnya teori Islam dalam merumuskan pembebasan terhadap orang miskin atau kaum mustadh’afin sehingga teologi Al-Ma’un perlu dirumuskan kembali dalam bentuk konsepsi yang lebih tersistematis dan radikal berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an (Ahmad Syafii Ma’arif, 2013: hlm. 13).

Baca Juga  H. M. Rasjidi dan Harun Nasution: Perdebatan mengenai Filsafat dan Teologi

Padahal jika dilihat dari perspektif kader IMM yang memiliki kapasitas keilmuan yang bisa dibilang berkecukupan dengan segala kelas-kelas akademis atau kegiatan perkaderannya seharusnya akan lebih mudah dan mampu dalam mengatur kebijakan dan program yang bersifat analitik-praksis menyangkut pengimplementasian teologi pembebasan ini. Bentuk-bentuknya tidak harus seperti charity/amal yang bersifat jangka pendek, tetapi dapat dikembangkan menjadi seperti pengadvokasian lanjutan yang bersifat jangka panjang agar pengilmuan-pengamalan Al-Ma’un ini bisa berkepanjangan.

Sedangkan eksistensialisme-humanistik Sartre berbicara sebaliknya. Dalam konteks pembebasan kemelaratan manusia atau kaum mustadh’afin, kebebasan manusia untuk mengambil pilihan bertindak atau tidak akan membawa konsekuensi tersendiri. Misalnya, ketika ada sekelompok manusia yang mengamalkan teologi pembebasan Al-Ma’un berdasarkan pandangan Al-Qur’an tanpa dibarengi oleh kesadaran atau kepekaannya terhadap persoalan sosial, maka bukan berarti mereka tidak akan menanggung tanggung jawab atas perintah Al-Qur’an itu sendiri, melainkan mereka bertanggung jawab juga atas tindakan mereka sendiri melalui pemaknaan terhadap Al-Qur’an/benda. Hal ini termasuk contoh dari etre en soi (ada pada dirinya).

***

Dalam arti lain, pemahaman Sartre menolak berbagai aturan moral atau etika, bahkan teologi yang menjadi pembatas bagi setiap tindak-tanduk yang akan dilakukan oleh manusia. Penolakan ini bukanlah semata-mata untuk memberikan kebebasan ekstrim bagi manusia, melainkan untuk memperluas ruang bagi manusia agar ia bisa mengenali dirinya lebih jauh lagi, apalagi menyangkut dengan tanggungjawabnya sebagai manusia yang dikutuk bebas dalam memilih, baik memilih untuk melakukannya atau tidak, bahkan memilih untuk tidak memilih.

Terlepas dari itu, nilai-nilai humanisme atau kemanusiaan telah dimiliki oleh teologi Al-Ma’un. Bagaimana tidak, semangat teologi Al-Ma’un dalam konteks humanisme dijunjung tinggi dengan melakukan pergerakan pemberantasan fenomena kemiskinan, tetapi dalam waktu yang sama bersifat anti-kemiskinan/kesengsaraan.

Namun sayangnya humanisme Sartre menepis poin tersebut, karena menurutnya humanisme adalah upaya untuk memenangkan diri sendiri atas orang lain. Dalam arti lain, eksistensi humanisme akan terwujud ketika pendahuluan atau pengutamaan kepentingan/kebutuhan diri sendiri terlebih dahulu, bukan pada orang lain.

Perbedaan Teologi Al-Ma’un dan Eksistensialisme-Humanistik Sartre

Al-Ma’un dalam konstruksi gerakan Muhammadiyah yang melekat dengan kesejarahannya tidak dapat dimaknai lain kecuali sebagai ajaran amal. Bahkan ketika ditarik menjadi sebuah teologi dan fikih, maka lebih esensial dan kontekstual menjadi teologi dan fikih amal yang bersifat membebaskan anak yatim dan orang miskin sebagai simbol kaum mustadh’afin atau orang yang lemah, dilemahkan, tertinggal, marjinal, serta tertindas (Nashir, 2015).

Baca Juga  Apakah Nalar Kritik Versi Arkoun Bisa Diterapkan di Indonesia?

Salah satu titik fokus Al-Ma’un adalah menitikberatkan penyelamatan terhadap kaum miskin. Tetapi, perlu diketahui bahwa definisi orang miskin itu tidak hanya sebatas orang yang kekurangan secara ekonomi atau finansialnya saja, melainkan mereka juga yang mengalami krisis sosial, seperti halnya orang-orang pinggiran atau yang dipandang sebelah mata: pengemis, petani desa, PSK, dan kaum minoritas beragama semisalnya. Artinya, kaum mustadh’afin itu maknanya luas dan berkaitan dengan fenomena-fenomena ketimpangan sosial lainnya.

Maka dari itu, pentingnya kesadaran umat Islam terkait substansi dari Al-Ma’un secara pemaknaan yang meluas agar dapat terwujudnya komitmen yang konkret dan radikal ini dalam melakukan pembelaan, memupuk rasa kepedulian, dan terjun langsung untuk mengupayakan nasib kaum termarginalkan ini menjadi lebih baik lagi. Itulah inti dari jiwa Al-Ma’un yang merupakan pengejawantahan dari Islam sebagai Din al – ‘Amal (Nashir, 2015).

Terlepas dari itu, jika dianalisis secara seksama, pemaknaan teologi pembebasan Al-Ma’un secara mengakar ini agaknya berseberangan dengan eksistensialisme-humanistiknya Sartre. Sartre menempatkan humanisme dalam pemahamannya sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dikesampingkan dengan eksistensialisme. Humanisme berperan sebagai landasan untuk merefleksikan kembali eksistensi manusia itu sendiri.

***

Pada dasarnya humanisme Sartre mengatakan bahwa secara prinsipiil ia digunakan sebagai pertimbangan manusia dalam melakukan kehendaknya. Apakah yang dilakukan baik atau buruknya oleh kita itu relatif. Contoh, kita dihadapkan dan diberikan dua pilihan pada fenomena-fenomena sosial, dua di antaranya adalah membantu secara finansial pada pedagang-pedagang kecil yang belum meraup uang sepeser pun dari apa yang dijualnya atau malah mendahulukan pengemis yang entah benar semelarat itukah kondisi yang sebenarnya.

Itulah pentingnya kebebasan dalam memilih itu perlu untuk dipertimbangkan kembali, karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial sehingga tindakan dan perbuatannya akan berdampak pada manusia lainnya.

Nah, persoalannya adalah Sartre tidak mengemas hal ini dengan nilai-nilai teologis atau ilmu agama. Sartre pun percaya bahwa manusia itu tidak membutuhkan peran Tuhan untuk meraih kebutuhan dan keinginan.

Berbeda hal dengan Kierkegaard, tokoh eksistensialis juga, yang mengimani bahwa kepenuhan hidup manusia adalah ketika kehidupannya hanya untuk Tuhan atau didasari dengan nilai-nilai ke-Tuhanan.

Baca Juga  Mitologi Pandora dan Pendidikan ala Ivan Illich

Kesimpulan dan Solusi

Al-Ma’un sebagai teologi pembebasan bagi umat Islam dan eksistensialisme Sartre sebagai ajaran filosofis antara perjuangan dengan kehendak bebas bagi manusia yang sehaluan dengannya.

KH Ahmad Dahlan sebagai pemuka dimensi baru dalam memaknai Al-Ma’un ini merasa kurang cukup, terutama perihal soal agama, terkhususnya mengenai surat Al-Ma’un yang hanya dijadikan sebagai doktrin tekstual yang sebatas dibaca dan dihafal saja tanpa adanya praktik nyata dalam mengatasi berbagai persoalan umat.

Perlu adanya formulasi baru yang mengembangkan pemahaman surat Al-Ma’un secara meluas sehingga pandangan sempit masyarakat terhadap teologi pembebasan ini bisa berubah.

Di dalam banyak tulisannya, Sartre menguraikan banyak kritikannya yang kritis dan sinis terhadap relasi antar manusia, yaitu hubungan antara kesadaran satu dengan yang lainnya. Artinya, ini merujuk kepada habluminannas-nya.

Tak lupa, topik kebebasan pun harus diletakkan menjadi titik fokus utama sehingga dengan adanya hal ini memunculkan istilah-istilah baru, dua di antaranya adalah determinisme dan free will. Persoalan ini menyangkut dengan kemerdekaan manusia.

Menurut Sartre, kemerdekaan itu harus diartikan merdeka pada keterbatasannya, seperti orang lumpuh merdeka terhadap kelumpuhannya, atau orang yang buta merdeka terhadap kebutaannya.

Dalam arti lain, bisa dikatakan bahwa teologi pembebasan Al-Ma’un dan eksistensialisme-humanistiknya Sartre dapat berjalan seiringan meskipun keduanya memiliki landasan yang berbeda, namun asalkan kita bisa memahami ajaran keduanya secara baik dan mendalam, maka nanti kedepannya tidak menutup kemungkinan kita bisa menemukan penemuan baru terkait ajaran filosofi pembebasan manusia yang memiliki nilai teologisnya dan juga nilai eksistensialisme Sartre-nya. Sebab pada dasarnya, keduanya menempatkan motif “perjuangan” dan “kebebasan” sebagai titik refleksi sekaligus pergerakan bersamanya.

Daftar Pustaka

[1] Makhrus Ahmadi & Aminuddin Anwar. (2014). Genealogi Kaum Merah: Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta: Penerbit Rangkang Education & MIM Indigenous School.

[2] Prof. Dr. Ahmad Tafsir. (2014). Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

[3] Studi, P., Dan, A., Islam, F., Ushuluddin, J., Ushuluddin, F., & Dan, A. (2021). Manusia dalam perspektif eksistensialisme jean paul sartre. http://repository.iainbengkulu.ac.id/id/eprint/7107

[4] Tambunan, F. S. (2016). Filsafat Eksistensialisme Sartre the Freedom of Human ’ S Individualism in the Twenthieth Century : Sartre ’ S Philosophy of Existensialism. Jurnal Masyarakat &Budaya, 18(2), 215–232.

[5] Yunus, F. M. (2011). Kebebasan Dalam Filsafat Eksistensialisme

Editor: Soleh

Thariq Ibrahim
5 posts

About author
Demisioner PC IMM Sukabumi Raya
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds