Perubahan mendasar menuju yang lebih baik merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini juga berlaku dalam upaya penyatuan kalender Islam pemersatu. Untuk itu ada enam pilar yang perlu menjadi kesadaran kolektif dan gerakan bersama sehingga cita-cita mulia mewujudkan kalender Islam pemersatu segera terwujud. Enam pilar dimaksud adalah sebagai berikut
Pertama, dari Berpikir Negatif Menuju Berpikir Positif
Pikiran melahirkan mindset yang mempengaruhi sikap dan hasil. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibrahim Elfiky dalam bukunya yang berjudul “Quwwat at-Tafkir”. Selanjutnya ia mengatakan pikiran negatif muncul disebabkan beberapa hal, di antaranya tidak memiliki tujuan yang jelas, rutinitas yang negatif, persahabatan yang tidak baik, dan media informasi.
Berpikir negatif adalah penyakit yang sangat berbahaya yang mengakibatkan sulit menerima perubahan. Untuk itu perlu berusaha menghindari dan menumbuhkan pola berpikir positif. Pikiran positif akan menghasilkan perbuatan dan hasil yang positif. Sikap ini sangat diperlukan sebagai sumber kekuatan untuk mewujudkan penyatuan kalender Islam.
Kedua, dari Semangat Berbeda Menuju Semangat Bersama
Perbedaan diyakini sebagai karunia Allah sehingga perlu menyikapinya dengan arif dan bijaksana, karena keragaman merupakan sebuah keniscayaan. Pandangan ini juga berkembang di kalangan para ahli hisab rukyat ketika merespons persoalan perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah, khususnya dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Bahkan mereka dengan tegas menyatakan perbedaan antara hisab dan rukyat tak ubahnya seperti air dan minyak yang tidak mudah dipertemukan.
Sementara itu pandangan lain mengakui, perbedaan dalam kehidupan adalah sebuah keniscayaan. Namun dalam praktiknya tidak semua hal harus beragam atau bersatu. Suatu saat keragaman harus diutamakan. Begitu pula pada saat yang lain kebersamaan harus diutamakan. Lalu mengapa harus melakukan penyatuan kalender Islam? Persoalan kalender Islam terkait sistem manajemen waktu yang digunakan tidak hanya untuk ibadah namun juga menyangkut persoalan mu’amalah.
Dalam penentuan awal dan akhir Ramadan berbagai aspek non ibadah juga perlu memperoleh perhatian, seperti transportasi, ekonomi, dan hari libur nasional. Jika sistem waktu yang dibangun tidak memiliki “kepastian” maka akan berdampak pada kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Kebersamaan melangkah sangat diperlukan dalam mewujudkan kalender Islam pemersatu dengan mempertimbangkan kemaslahatan bersama. Berbagai ayat al-Qur’an dan hadis juga mengisyaratkan pentingnya kebersamaan (Q.S. Ali Imran ayat 103). Begitu pula dalam mutiara hikmah disebutkan “Al-Ittihadu Asasu an-Najah” (Persatuan kunci kesuksesan).
Ketiga, Dari al-Ahkam al-Far’iyyah menuju al-Usul al-Kulliyyah
Kecenderungan selama ini dalam memahami hadis-hadis rukyat lebih memasuki wilayah al-Ahkam al-Far’iyyah yaitu memenuhi ketentuan syara’ yang bersifat far’i dan langsung mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syara’ yang menghasilkan keputusan hukum yang berbeda. Pola pikir ini mengakibatkan pertemuan-pertemuan dalam upaya penyatuan kalender Islam baik nasional maupun internasional mengalami “kebuntuan” dengan hasil yang beragam.
Pada masa pandemi Covid-19 beragam fatwa keagamaan telah dihasilkan. Prosesnya tidak hanya menggunakan pendekatan al-Ahkam al-Far’iyyah. Namun telah merambah ke wilayah al-Usul al-Kulliyyah dengan melibatkan berbagai disiplin keilmuan. Kesadaran ini juga perlu dimiliki para ahli hisab-rukyat. Pendekatan al-Usul al-Kulliyyah memberi harapan baru bagi upaya penyatuan kalender Islam dengan menggali berbagai nas secara tematik-holistik untuk merumuskan prinsip-prinsip sistem kalender Islam. Jika hal ini bisa dilakukan maka perdebatan seputar fungsi kalender Islam dapat diakhiri.
Keempat, dari Ru’yat bi al-‘Aini menuju Ru’yat bi al-Ilmi
Salah satu ketidakpastian sistem kalender Islam yang beredar di Masyarakat adalah menunggu hasil observasi. Dalam praktiknya banyak kasus ditemukan ketidaksesuaian antara tanggal yang tertera di Kalender dengan hasil observasi.
Salah satu contoh kongkret ketika penentuan awal Jumadil Akhir 1442 H. Menurut data hisab pada hari Rabu 13 Januari 2021 saat matahari terbenam posisi hilal sudah memenuhi kriteria visbilitas hilal MABIMS (2, 3, 8). Namun realitasnya para pemburu hilal di seluruh Indonesia tidak ada yang berhasil melihat hilal sehingga awal Jumadil Akhir 1442 ditetapkan jatuh pada hari Jum’at 15 Januari 2021. Keputusan ini didasarkan pada Ikhbar No. 002/LF-PBNU/1/2021 tentang Awal Bulan Jumadil Akhir 1442 H.
Sementara itu, dalam Almanak NU 2021, tertulis Awal Jumadil Akhir 1442 H jatuh pada hari Kamis 14 Januari 2021. Akibatnya terjadi perbedaan dalam penentuan awal Jumadil Akhir 1442 H yang berdampak dalam menentukan Áyyam al-Bidh. Bagi kelompok yang menetapkan awal Jumadil Akhir 1442 H jatuh pada hari Kamis 14 Januari 2021 maka awal Ayyam al-Bidh jatuh pada hari Selasa 26 Januari 2021 (13 Jumadil Akhir 1442 H, sedangkan kelompok yang menetapkan awal Jumadil Akhir 1442 H jatuh pada hari Jum’at 15 Januari 2021 maka awal Ayyam al-Bidh jatuh pada hari Rabu 27 Januari 2021 (13 Jumadil Akhir 1442 H.
Kasus ini tentu menarik dikaji dan menjadi renungan bersama dalam upaya mencari titik temu untuk mewujudkan kalender Islam pemersatu. Sekaligus memberi inspirasi perlunya “Fikih Taqwim” dengan pendekatan baru dari Ru’yat bi al-‘Aini menuju Ru’yat bi al-Ilmi. Dengan demikian bangunan sistem kalender Islam memiliki kepastian sejak Muharam sampai Zulhijah.
Kelima, Dari Solidaritas Individual-Sektarian Menuju Solidaritas Kebangsaan-Keumatan
Andre Moller dalam bukunya yang berjudul “Ramadan in Java The Joy and Jihad of Ritual Fasting” melalui pendekatan antropologi menggambarkan ketika terjadi perbedaan antara hisab dan rukyat dalam menetapkan awal bulan kamariah (Ramadan, Syawal, dan Zulhijah), ketika orang Muhammadiyah dan NU berkumpul bersama, mereka cenderung menahan emosinya dan tidak mengeluarkan perkataan yang dapat menyakiti orang lain; keadaannya tetap cukup tenang.
Akan tetapi, ketika orang NU saja atau orang Muhammadiyah saja berkumpul, nada-nada mereka umumnya lebih tajam. Orang Muhammadiyah dapat mempertanyakan “kekolotan” orang NU, sedangkan orang NU dapat mempermasalahkan cara orang Muhammadiyah menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadis.
Lebih jelasnya, orang Muhammadiyah bertanya-tanya bagaimana orang NU dapat menolak ilmu pengetahuan modern, sedangkan orang NU bertanya-tanya bagaimana orang Muhammadiyah dapat menolak dan menyimpang dari kata-kata al-Qur’an dan al-Hadis.
***
Pola pikir dan kondisi “objektif” yang digambarkan oleh Andre Moller di atas tentu akan menjadi tantangan bagi upaya penyatuan kalender Islam. Untuk itu perlu visi baru membangun kebersamaan dari pola pikir eksklusif menuju pola pikir inklusif demi bangsa dan umat.
Dalam konteks ini pesan “dua belas” Buya Syafii Ma’arif (Kompas,05/01/2021)sangat relevan yang kemudian direspons positif oleh Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, A. Helmy Faishal Zaini (Kompas, 12/01/2021). Salah satunya adalah “apakah generasi baru Muhammadiyah-NU yang lebih terbuka dan relatif punya radius pergaulan yang luas bersedia keluar dari kotak-kotak sempit selama ini? Semestinya tidak ada alasan lagi untuk terus terkurung dalam lingkaran terbatas yang bisa menyesakkan napas dan sia-sia (IbTimes.ID).
Oleh karena itu menurut Amin Abdullah, salah satu syarat yang diperlukan untuk mewujudkan kalender Islam pemersatu, selain masalah teknis-metodologis keilmuan adalah pola pikir bersama yang lebih mengutamakan kepentingan umum (al-Maqasid al-‘Ammah) dan menjauhi ego organisasi dan penonjolan identitas kelompok yang berlebihan (al-Maqasid al-Juz’iyyah).
Keenam, dari Kalender Islam Nasional Menuju Kalender Islam Global
Perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah, khususnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi berbagai belahan dunia juga mengalami hal yang sama sehingga memunculkan gagasan dan pemikiran tentang perlunya kalender Islam global. Watak global ini sesuai dengan watak Islam yang universal.
Bagi umat Islam Indonesia pilihan tentang kalender Islam global dengan mengadopsi hasil keputusan Turki 1437 H/2016 M merupakan langkah strategis dibandingkan menggunakan kriteria Rekomendasi Jakarta 1438 H/ 2017 M. Penulis berusaha membandingkan keduanya dalam rentang waktu 10 tahun (120 bulan) sejak tahun 1442 H/2020 M-1452 H/2030 M.
Hasilnya selama 10 tahun terdapat 66 kali (55%) kriteria Istanbul Turki 1437/2016 lebih awal dalam memulai awal bulan kamariah dibandingkan hasil Rekomendasi Jakarta 1438/2017, dan 54 kali (45%) keduanya memulai awal bulan kamariah secara bersama. Data ini menunjukkan kriteria Istanbul Turki 2016 lebih memenuhi syarat sebagai Kalender Islam Global dibandingkan kriteria Rekomendasi Jakarta 2017.
Dengan memilih hasil Turki 1437 H/2016 M semua pihak berdiri sama tinggi untuk melangkah dan berubah bersama demi terwujudnya kalender Islam pemersatu. Penyatuan kalender Islam bukan hanya untuk simbolisme persatuan umat Islam, tetapi juga untuk kepentingan dakwah global. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Azyumardi Azra. Selanjutnya ia berharap sudah saatnya kesatuan kalender Islam itu disepakati para ahli astronomi muslim, pemimpin ormas Islam, dan petinggi negara-negara muslim se-dunia. Jika kalender Islam global ini dimiliki maka kontroversi penetapan awal bulan hijriah tidak akan terjadi lagi.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.
Editor: Yahya FR