Hari ini manusia banyak yang terlalu serius dalam beragama. Saking seriusnya, agama menjadi bahan pokok utama dalam kehidupan sehari-hari. Mau berteman, tanya dahulu agamanya apa. Ingin menolong, agamanya harus diketahui dulu. Pokoknya semuanya harus serba-serbi agama. Beragama harus secara kaffah. Jika tidak seiman seagama, artinya sesat. Yang beda tidak boleh dijadikan teman apalagi ditolong. Karena tingkat tertinggi keseriusan dalam beragama ialah agamaku yang paling benar, dan yang lain pasti salah.
Keyakinan terhadap agama memang harus begitu. Ia identik dengan sesuatu yang serius, tak boleh main-main. Bermain-main dalam beragama sama saja dengan mempermainkan Tuhan. Bisa kualat. Maka beragama harus dalam tingkat keseriusan yang setinggi-tingginya.
Pertanyaannya, benarkah kita serius dalam beragama jika hal itu justru melahirkan benci? Benarkah kita serius mendalami agama jika pada sesama saja kita enggan untuk berbagi? Benarkah kita sejatinya serius beragama tapi kita hanya fokus hubungan vertikal dan lupa dengan hubungan horizontal? Begitulah kita.
Problematika Terlalu Serius dalam Beragama
Terlalu serius membuat sebagian di antara kita sering salah kaprah menanggapi keseriusan dalam beragama. Serius diartikan sebagai kebenaran mutlak dan kepatuhan hakiki kepada Tuhan. Tidak salah memang. Namun, menjadi keliru ketika anasir semacam kemanusiaan, keceriaan, bahkan hingga kebahagiaan luput karena beragama. Padahal agama itu melahirkan rasa cinta, kasih sayang, rasa persaudaraan. Maka, aneh rasanya jika beragama dengan serius tapi masih saling benci. Beragama dengan kaffah, tapi enggan untuk saling tolong menolong.
Salah satu elemen terpenting dalam beragama bukanlah memandang segala sesuatu dengan serius. Agama justru mengajarkan fleksibilitas. Segala sesuatu berubah. Kadang naik, kadang turun. Hari ini untung, besok bisa saja buntung. Bahkan terlalu serius akan membuat kita lupa esensi beragama. Yang ada malah kita hanya memandang agama dari kulit luarnya saja. Agama malah jadi identik dengan simbol.
Maka, beragama dengan serius itu artinya beragama dengan luwes. Meski agama menegaskan hal-hal prinsipal manusia, tapi tetap bisa dipandang dari sisi yang asik dan santuy. Dengan begitu kita dapat memandang dunia sebagai sebuah absurditas yang mengundang tawa. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah berujar, “Agama itu akal, bukan dengkul. Nah, humor itu produksi dari orang yang berakal. Humor juga menginspirasi orang untuk tafakur, produktif. Sedangkan kekerasan merusak.”
Terkadang orang-orang merasa menderita karena mereka menganggap serius apa-apa saja yang ada di sekitar. Agama yang seharusnya membawa kedamaian tidak menemukan jati dirinya karena kita memandangnya dari sudut pandang yang keliru. Tidak heran jika ada yang beragama tapi membakar tempat ibadah agama lain. Beragama tetapi saling lontar kebencian satu sama lain. Beragama tetapi melarang yang minoritas menjalankan agamanya. Padahal agama ada untuk mengajarkan manusia saling menyayangi satu sama lain terlepas apapun agamanya. Selama asas kemanusiaan yang dikedepankan, maka tidak masalah.
Kisah Seorang Ustad dan Pendeta
Munculnya ketimpangan beragama hari ini bisa jadi karena efek domino dari kita; sebagai manusia modern yang serba serius dan lupa caranya tertawa. Tuntutan untuk mengejar hal-hal yang bersifat materialistis secara tidak sadar berpengaruh dengan cara kita melihat dunia. Padahal, agama tidak menuntut untuk bersungut-sungut mengejar dunia. Kita hanya dituntut menjadi manusia yang mencintai Tuhan dalam kesederhanaan.
Kesederhanaan itu mungkin yang timbul di antara orang-orang yang punya tradisi lisan kuat. Dalam keseharian, cerita-cerita lucu tentang agama hadir di tengah oase kepungan kebencian. Seperti kisah konyol antara ustad dan pendeta yang hadir dari imajinasi manusia-manusia yang mencintai Tuhannya dengan cara sederhana.
Begini kira-kira kisah sederhana tersebut. Di suatu tempat, di mana masyarakat mayoritas dan minoritas hidup saling berdampingan, hiduplah seorang pendeta dan ustad yang hidup berdampingan rumah.
Suatu ketika, pak Pendeta datang untuk meminjam mobil milik pak Ustad karena mobilnya sedang bermasalah. Dipinjamkanlah mobil itu oleh pak Ustad kepada pak Pendeta. Namun selang beberapa hari, ternyata mobilnya belum juga kembali. Ustad pun datang ke rumah pendeta dengan rasa penasaran terhadap mobilnya yang tak kunjung pulang. Di sana pak Ustad melihat mobilnya sedang dicuci oleh pendeta. Ustad pun membawa kembali pulang mobilnya seberes dicuci.
Sepekan berselang, giliran pak Ustad yang datang untuk meminjam mobil milik pak Pendeta. Hampir serupa, lama mobil itu tak kunjung dikembalikan. Pendeta yang heran datang ke rumah pak Ustad. Setibanya di lokasi, ia melihat pak Ustad sedang memotong knalpot mobil miliknya.
“Lah, kenapa kau potong knalpot mobilku?” tanya pendeta bingung,
Sambil berkacak pinggang, ustad menjawab, “Siapa suruh kemarin kau membaptis mobilku, makanya sekarang giliranku untuk menyunat mobilmu!”
Beragama dengan Santai
Kalau saja kita secara harfiah menanggapi cerita di atas dengan serius, rasanya besok akan sulit menemukan kisah serupa. Padahal kita seharusnya seperti itu dalam beragama. Santuy dan penuh keceriaan. Serius boleh saja, asal jangan berlebihan apalagi pakai emosi. Sebab yang berlebihan saja sudah tidak baik terlebih lagi disisipkan emosi yang meletup-letup.
Kan kasihan kalau sudah serius, tapi ujung-ujungnya ditinggalin karena alasan “kamu terlalu baik buat aku”. Eh?
Editor: Zahra