Feature

Ternyata, Tarawih di Masjid Imam Syafi’i Pakai 11 Rakaat

3 Mins read

Sore ini saya sudah sepakat dengan kawan rumah untuk pergi salat tarawih di masjid Imam Syafi’i. Namun sebelum ke sana, saya ada janji untuk melaksanakan kegiatan tahunan yaitu Buka Bersama di Markas Dakwah Muhammadiyah Mesir atau sekretariat PCIM Mesir dengan teman-teman Muhammadiyah saya.

Kairo sore ini cuacanya cukup sejuk, saat melihat suhu di handphone saya menunjukkan angka 25 derajat. Karena itu, saya berangkat menggunakan pakaian lengan panjang tipis, sambil membawa tas yang isinya jaket sweater buat jaga-jaga kalau malam harinya agak dingin. Jarak dari rumah saya ke sekretariat PCIM Mesir sekitar 9 KM, butuh waktu 30 menit jika perjalanannya lancar.

Seperti biasa, saya harus berjalan kaki terlebih dahulu sekitar 10 menit dari rumah ke tempat menunggu angkot. Dengan cuaca yang masih sejuk, tidak ada masalah dengan kondisi puasa dan jarak. Toh hitung-hitung ini bisa dianggap ngabuburit seperti di Indonesia gitu. Hehe

Saat saya sampai di sekretariat, saya disambut dengan kawan-kawan di sana. Sembari mempersiapkan takjil untuk buka bersama hari itu, mereka saling bercengkrama dan bertukar cerita. Ada perasaan haru saat melihat wajah mereka, tidak terasa sudah hampir lima tahun berproses dan melaksanakan aktivitas di PCIM Mesir bersama mereka. Acara sore itu tidak formal, harapannya teman-teman dapat menyambung silaturahmi satu sama lain dan ngobrol hal-hal santai dan saling melempar candaan.

Acara dilanjut dengan berbuka bersama dan salat Maghrib, waktu sekitar 2 jam sudah sangat cukup untuk melepas rindu bersama mereka. Setelah semua rampung, saya dan kawan saya asal Gresik sepakat memesan Indrive untuk pergi ke masjid Imam Syafi’i, karena jaraknya memang lumayan jauh dan harus oper angkot yang lumayan menghabiskan waktu. Akhirnya pesanan kami datang dan membawa kami ke makam Imam Syafi’i.

Baca Juga  Andai Sekarang Saya Jadi Presiden

Menuju Masjid Imam Syafi’i

Sekitar 20 menit perjalanan, dan kami sampai di depan gerbang masjid tersebut. Dari kejauhan saya sudah mendengar suara imam dari Toa sedang membaca sebagian surat. Sadar bahwa salat sudah berlangsung, kami mempercepat jalan untuk segera masuk. Namun sebelum masuk, saya sempat mengabadikan momen di depan masjid. Saya menjepret pintu utama masjid Imam Syafi’i, menara yang menjulang tinggi serta dihiasi dengan lampu berwarna putih dan hijau yang gemerlapan.

Masjid ini didirikan pertama kali di era Dinasti Utsmani oleh Amir bernama Abdul al-Rahman Kethuda pada tahun 1762. Lalu masjid ini direnovasi pada era Taufiq PashaØŒ dan yang terbaru pada tahun 2018 kemudian direnovasi dan rampung pada tahun 2020. Masjid Imam Syafi’i terletak di samping makam Imam Syafi’i. Seorang ulama besar yang ajarannya banyak diikuti oleh umat muslim di Mesir dan negara lain, termasuk negara di kawasan Asia Tenggara.

Memasuki kawasan masjid, saya disambut oleh dua anak usia tujuh tahunan dan memberikan saya air putih dingin. Namun saya tolak, karena saya sedang buru-buru untuk melaksanakan salat tarawih. Saya segera berdiri di shaf kelima, dan di samping saya ada dua anak kecil yang juga sedang salat didampingi oleh bapaknya.

11 Rakaat di Masjid Imam Syafi’i

Pelaksanaan tarawih selesai pada pukul 20.15. Saya seksama memperhatikan ternyata ada hal yang mirip antara kebiasaan tarawih di sini dengan di kampung saya. Yaitu pembacaan salawat oleh imam dijeda setiap salatnya, wah ini NU banget pikir saya. Namun setelah tarawih selesai di rakaat ke 8, imam lalu mengisi semacam kultum dan ada beberapa jamaah yang beranjak dari masjid.

Baca Juga  Asimilasi Yunani, Mesir, dan Kebangkitan Peradaban Islam

Saya masih berhusnuzan salat ini akan lanjut sampai rakaat ke 20, mana mungkin masjid Imam Syafi’i malah tidak salat sesuai mazhab Syafi’i. Akhirnya saya tanya ke jamaah di samping saya yang memakai jaket biru “Hal kana shalatu tarawih yaqumu biha isyrin rak’ah? ” Dia menjawab ” La’, assholatu tarawaih yaqumu biha tsamaniya rak’ah, kulla Youm” intinya salat tarawih di masjid Imam Syafi’i dilaksanakan 11 rakaat plus witir.

Saya tidak memperpanjang obrolan dengan laki-laki tadi, meski dalam otak saya sudah ada pertanyaan tentang kejadian ini. Bagaimana mungkin masjid yang bersebelahan langsung dengan makam pembesar mazhab fikih, justru tidak menggunakan mazhabnya saat tarawih. Ini sangat aneh bagi saya. Akhirnya saya beranjak berdiri setelah imam memberikan kultum dan melaksanakan salat witir 3 rakaat yang diakhiri dengan pembacaan qunut di rakaat ketiga.

***

Suara menggema terdengar di masjid itu, pembacaan qunut yang cukup panjang. Saat imam mengucapkan pujian pada Allah Swt jamaah menjawab ” Ya Allah ” lalu saat imam membacakan doa, jamah serentak mengucapkan “Aamiin”. Perasaan haru menyelimuti salat saya pada saat itu, karena mendengar suara jamaah dengan kompak seolah banyak harapan yang benar-benar mereka gantungkan pada Tuhannya. Hingga imam mendoakan saudara-saudara di Palestina, jamaah semakin kencang mengucapkan Aamiin, seolah menunjukan perhatian yang amat mendalam atas apa yang terjadi di Palestina.

Setelah salat selesai, saya sempatkan untuk diam sejenak di masjid untuk berdzikir sambil memandangi bangunan masjid ini. Seperti pada umumnya masjid di Mesir, langit-langitnya dihiasi dengan lentera serta ukiran yang nampak indah. Berbeda dari masjid sebelumnya, di masjid ini saya melihat mihrab atau tempat imam melaksanakan salat yang sangat indah dengan ukiran khas abad pertengahan dan ukurannya yang menjulang tinggi sekitar dua meter. Sungguh indah sekali!

Baca Juga  Gamal Abdul Naser, Bapak Pendiri Mesir Modern

Setelah dirasa cukup, akhirnya saya meminta kawan saya untuk mengabadikan momen malam itu dengan foto di depan masjid tersebut. Banyak jamaah di sini datang menggunakan transportasi seperti mobil bersama keluarganya, halaman masjid yang luas memungkinkan mereka untuk parkir di depan masjid.

Tarawih malam itu diakhiri dengan ziarah di depan pintu masuk makam Imam Syafi’i, karena kata penjaganya, makam baru dibuka untuk umum besok pagi pukul sembilan. Setelah berziarah dan membaca doa selama kurang lebih 10 menit, kami pun bergegas untuk pulang ke rumah mengendarai bajai dengan angin yang cukup kencang menembus pakaian sweater saya malam itu.

Editor: Soleh

Muhammad Yusmi Ridho
15 posts

About author
Mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds