Hilman Latief
Minggu lalu saya mengunjungi Kota Bandung untuk sebuah keperluan. Di sela-sela santai, Minggu pagi (10/04/2019), saya menghadiri sebuah acara pengajian yang diselenggarakan oleh ormas Persatuan Islam (PERSIS). Ribuan orang dari berbagai daerah tumpah ruah sampai luber ke jalanan mengikuti acara pengajian yang digelar setiap minggu pagi itu mulai dari pukul 07.00-08.00. Ratusan pedagang ikut meramaikan suasana kegiatan keagamaan ini. Mereka menggelar lapak dengan aneka ragam barang dagangan, pakaian, mainan, buku keagamaan, dan yang paling banyak adalah kuliner atau makanan khas masyarakat setempat.
Lepas dari tempat ini, saya langsung “cabut” naik ojek online menuju spot lainnya, yaitu Masjid Istiqomah Bandung. Katanya di tempat ini juga ada kajian keagamaan setiap Minggu pagi. Sempat pula saya mengunjungi beberapa sisi dari masjid itu sembari membangun memori puluhan tahun lalu ketika saya suka berkunjung ke masjid ini, baik ikut orang tua maupun ikut kegiatan anak-anak muda.
Saya sampai di Masjid Istiqomah pukul 09.30, nampaknya suasana sudah agak sepi. Pengajian memang sudah bubar. Satu jam yang lalu. Akan tetapi, sebagian pedagang masih membuka lapaknya, termasuk penjual pakaian T Shirt atau kaos dengan design “keislaman”.
Pesan-pesan yang tertulis dalam kaos-kaos yang dijual itu banyak yang menarik dan penuh makna. Sebagian pesannya milenial banget, ada pula yang lucu. Banyak pesan-pesan ditulis dalam Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia. Namlaknya, pembuat kaos ingin membangun sebuah narasi yang bisa diterima publik. “Let’s the Beard Grow, It’s a Sunnah”; “Nikah, Just do it!”; “Tauhid Harga Mati!”; “I love Sunnah”; dan “Shift, Gerakan Pemuda Hijrah”, untuk menyebut beberapa diantara narasi yang dibangun.
Dari sekian banyak pilihan menarik dari produk “Distro Islami” ini, satu kaos yang tergantung menarik perhatian saya. Tertulis di bagian depan kaos tersebut: “Terorism has no religion”. Saya pun membelinya dengan harga diskon 50%. “Edisi lama itu, pak! Jadi setengah harga!”, ujar penjualnya. Saya berfikir, mungkin suatu saat saya perlu pakai, atau saya hadiahkan untuk anak saya.
Tak lama berselang, peristiwa yang kekerasan terjadi di Sibolga, Sumatra Utara. Tersiar berita, bahwa telah terjadi ledakan bom (12/04/2019), dan polisi telah menangkap tersangkanya, seseorang dengan identitas Husein alias Abu Hamzah. Tak lama berselang, polisi dengan Tim Densus 88 melakukan pengusutan dan mengepung sebuah rumah yang saat itu ditinggali istri dari terduga teroris.
Ironisnya, meski telah dibujuk oleh polisi dan warga masyarakat untuk menyerah, dan bahkan konon dibujuk oleh suaminya sendiri, sang istri memilih untuk meledakkan diri bersama anaknya (13/03/2019). Peristiwa ini memiliki kemiripan dengan peledakan bom di sebuah gereja oleh satu keluarga (suami, istri dan anak) di Surabaya.
Ketika masyarakat masih membincang aksi nekat tersebut di atas, kejutan lain datang. Peristiwa penembakan jamaah sebuah masjid terjadi di Selandia Baru (15/05/2019). Dua buah masjid di Kota Christchurch Selandia Baru diserang. Puluhan orang yang sedang beribadah di Masjid al-Noor dibantai dengan senjata semi otomatis oleh seorang pemuda. Aksinya diabadikan sendiri oleh sang pelaku dengan kamera yang dipasang di kepalanya. Filmnya pun diunggah di media sosial!!!
Motifnya jelas, menyampaikan pesan dan teror. Sebagaimana diberitakan, motif pelaku, salah satunya bernama Brenton Tarrant, adalah ideologi yang ada kaitannya dengan ras dan nasionalisme, atau mungkin juga ada unsur sentimen agama. Ia merasa sikapnya merupakan pesan terhadap apa yang disebutnya “penjajahan” yang dilakukan “kaum imigran.” Pelaku membuat manifesto tentang motifnya sebelum melakukan pembantaian di dalam masjid.
Pembataian yang dilakukan oleh Brenton Tarrant di Selandia Baru (2019), bisa dibandingkan dengan pembunuhan yang disiarkan langsung oleh ISIS di Syria, atau peledakan yang dilakukan sebuah keluarga di Jatim dan Sumatra Utara (2018), atau pembantaian yang dilakukan oleh sekelompok orang di restoran Le Carillon dan Le Petit Cambodge Kota Paris (2015), atau penembakan di Gereja Episenter Methodist Afrika Emanuel di Charleston, South Carolina Amerika (2015), atau penembakan masal yang dilakukan terhadap kerumunan massa saat konser musik di Las Vegas, Nevada (2017).
Unsur peristiwa peristiwa itu sama, yaitu kekerasan, sementara bahasanya bisa berbeda, boleh jadi unsur rasial, agamis, ekonomi, politik, atau kombinasi dari itu semua. Intinya, menguatnya pandangan radikal dan frustasi dalam benak seseorang yang kemudian memicu lahirnya sikap esktrim dan diekspresikan dalam bentuk tindakan kekerasan atau bentuk teror.
Terorisme Tak Mengenal Agama
Tindakan ekstrem dalam bentuk teror memang bisa dilakukan oleh siapa saja, oleh manusia dengan menganut agama mana saja, oleh makhluk dengan warna kulit apa saja (putih, hitam, kuning, sawo matang, dan sebagainya). Tindakan teror yang berakhir dalam pembantaian juga bisa terjadi di banyak tempat: di negara yang “aman” tentram dan damai, di lokasi konflik, di negara maju, di negara berkembang, negara sekuler maupun negara “agamis”.
Artinya, ektremisme memiliki karakteristik dan identitas sendiri yang menjadi bagian dari perilaku psikologis seseorang atau sekelompok orang, yang kemudian dijustifikasi oleh sebuah ideologi: politik, ras, agama, ekonomi, nasionalisme, dan lain-lain.
Fenomena teror dan kekerasan yang terjadi belakang ini tentu menyadarkan kita semua bahwa sebagai sebuah cara pandang, perilaku, kondisi psikologis, ataupun ideologi yang diwarnai sikap kebencian dan permusuhan, bisa terjadi di sekitar kita, baik secara tiba-tiba maupun terencana dan sistematis.
Peta geopolitik secara nasional dan internasional, dan ketegangan ideologis mewarnai kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Di Indonesia, maupun di negara-negara yang lain, baik di Timur Tengah maupun di Barat, orang yang menunjukkan sikap permusuhan terhadap demokrasi jumlahnya tidak sedikit. Sebagai sebuah prinsip politik, sebuah proses dan apalagi sebagai sebuah “simbol”, demokrasi tidak selalu mendapatkan tempat dalam hati masyarakat. Sama halnya pandangan-pandangan sekular, tidak selalu dijadikan sebagai alternatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebaliknya, kita juga banyak melihat kelompok orang yang sentimen dengan isu agama atau bahkan anti dengan kehadiran agama di ruang publik yang jumlahnya juga tidak sedikit. Bahkan ada oula kelompok-kelompok yang menjadi agama selalu dalam posisi minor.
Lantas masih perlukah gerakan dan perang tehadap ekstremisme dan kekerasan? Tentu saja diperlukan dan bahkan diperluas. Sikap permusuhan dan tindakan ekstrim-kekerasan yang dilandasi oleh sekularisme dan sikap kebencian yang dengan katalisator pandangan agama, sama-sama bahayanya. Mengikuti sebuah ideologi tanpa pemahaman yang cukup dan dipenuhi sikap yang tertutup bukan saja mempersempit ruang toleransi, tetapi juga menutup terhadap hadirnya rasa dan nilai-nilai kemanusiaan.
Hidup dalam keragaman budaya, perbedaan pandangan politik, dan pluralitas ras dan etnis membutuhkan sikap toleran yang kuat. Nilai-nilai toleransi dalam makna yang luas dalam kontestasi ideologi dan kompetisi nilai yang semakin terbuka seperti sekarang ini membutuhkan proses yang kuat dalam memupuk toleransi.
Dalam konteks keindonesiaan, banyak kalangan atau kelompok yang harus dilibatkan dan terus diedukasi untuk membangun toleransi, baik dari komunitas agama maupun dari kelompok yang mengusung pandangan sekular dan anti terhadap narasi agama. Pasalnya, ekstremisme yang akut tidak mengenal agama.
Karena itu, universalisasi program-program gerakan anti ekstremisme dan terorisme sudah tidak layak lagi hanya dilekatkan kepada kelompok-kelompok agama saja. Narasi besar anti ekstremisme-kekerasan dan anti teror harus dibangun secara lebih inlusif: mencakup semua lini dan melingkupi semua golongan.
Apa yang terjadi di Selandia Baru membuka lagi mata kita dan khususnya para pengambil kebijakan dalam masyarakat Barat. Ketika proyek-proyek anti teror diperkuat secara massif ke negara-negara Muslim (termasuk Indonesia) dan di kalangan-Muslim, yang terjadi justru malah sebaliknya, masjid dan kaum Muslim yang menjadi korban terorisme. Ada sikap lengah selama ini dengan gerakan anti teror.
Mari kita perkuat, narasi baru bagi kita semua, mengecam semua tindak terorisme. Tanpa kecuali. Tapi ingat, sebagaimana pesan dari kaos yang saya beli: “Terorism has no religion.”