Dalam kehidupan sehari-hari, sesungguhnya kita banyak menemui doa-doa yang terkabul. Sayangnya, banyak diantara kita memilih menomorduakan doa. Setelah berbagai usaha tak berhasil atau saat keadaan terpojok, doa baru dipanjatkan. Kita sering menjalankan doa hanya sebatas ritual semata.
Membaca doa bagaikan membaca “mantra”, yang mungkin kita pun tak mengetahui maknanya. Doa yang dipanjatkan hanya terucap di mulut saja, tanpa ada keyakinan dalam hati dan akal untuk meyakini. Tak heran bila doa pada akhirnya tak sampai tujuannya.
Doa, Bukan Mantra
“Memang tidak bisa dipahami oleh setiap orang. Akan tetapi nyata, bahwa terdapat perubahan kimiawi yang dialami seseorang hanya dengan pengharapan dan doa”. Adele M. Gill, dalam buku 7 Pathways to Hope.
Adele M. Gill merupakan seorang pengarang dan motivator ternama yang mengelola web www.adelemgill.com. Menurutnya, doa sebagai pertemuan antara pengharapan dan iman. Dua elemen ini yang kemudian mendasari banyaknya perubahan. Ia sengaja memberikan memberikan sugesti kepada kita untuk selalu menganggap hidup sebagai jalan untuk bermain dengan solusi dan harapan.
Ketika kita bersedia menggerakan tangan, dilanjut dengan melantunkan beberapa doa, dengan sendirinya fenomena pikiran-tubuh-iman akan terbentuk. Oleh karena itu, doa bukan hanya di ucapkan sebagai “mantra”, tetapi doa sekaligus untuk meyakinkan hati dan fikiran untuk BISA, maka kita pun akan BISA. Juga sebaliknya, bila kita berfikir TIDAK BISA, maka kita pun akan TIDAK BISA.
Berfikir positif menjadi salah satu kunci agar doa tersebut terwujud. Di sisi lain, berfikir positif juga salah satu kekuatan untuk mencegah banyak penyakit. Kebanyakan penyakit fisik, ditimbulkan oleh gangguan pikiran (psikis). Inilah yang disebut dengan psikosomatis.
Pikiran yang tidak sehat akan menularkan penyakitnya pada tubuh kita. Kita sering terlupa, bila penyakit yang kita derita itu sumbernya adalah emosi. Kita sibuk menyembuhkan penyakit fisik dengan obat, tanpa menyembuhkan emosi kita yang terluka. Jika kita benar-benar ingin terbebas dari segala penyakit, maka mulailah berfikir positif.
Doa Juga Bisa Menyesatkan
Doa erat kaitannya dengan pemaknaan positif. Namun juga ada segelintir orang yang beranggapan bahwa doa adalah kegiatan yang dapat melemahkan serta menyesatkan. Hal ini tak lepas dari apa yang pernah dituliskan oleh Dr. Ali Syariati.
Seorang sosiolog dari Iran tersebut menganggap doa sebagai sandi agama yang telah mengalami pergeseran arti dan fungsi. Doa yang semestinya diartikan sebagai sarana untuk mengajukan permohonan kepada Tuhannya, kadang justru menjadi aktivitas yang memurkakan sang khalik.
Paling tidak ada 3 hal penyelewengan doa, yang justru akan membawa setiap pendoa ke dalam jurang kesesatan. Pertama, kita yang semula siap untuk menjalani setiap tantangan kehidupan, apabila terkena sindrom pergeseran arti doa ini, maka ia yang terkena akan menjadi individu yang lemah dan senang bersembunyi di balik doa.
Doa menjadi sekadar dalih untuk menyerah dengan mengatakan, “Aku serahkan semuanya kepada yang KUASA.” Hal ini yang menjadi salah satu penyebab doa tak diterima karena tidak ada usaha untuk mencapai harapan tersebut.
Kedua, kita yang buta makna doa, akhirnya menjadikan ritual berdoa sebagai aktivitas untuk mendoa kepada “TUHAN” yang lain, diluar Tuhan yang sebenarnya justru ingin kita tuju. Hal ini sering terjadi di lingkungan kita yang memang masih ada budaya animisme-dinamisme (kepercayaan terhadap kekuatan atau roh yang mendiami suatu benda). Contohnya seperti, seseorang yang ingin naik jabatan kemudian ia meminta doa kepada suatu makam tertentu atau yang dianggap “keramat”.
Ketiga, doa telah kehilangan arti. Karena sering dipanjatkan, manusia kemudian menganggapnya sebagai sebuah “mantra”. Doa yang keluar dari mulut hanyalah sebatas ritual yang tak menyentuh arti. Bahkan kita hanya membaca doa itu tanpa mengetahui makna sebenarnya. Lebih parah lagi, kita menyamakan doa dengan “mantra”, sekali diucap lantas bim-sala-bim permintaan langsung dikabulkan.
Kita lupa bahwa agar doa itu menjadi efektif, harus melibatkan otak dan hati. Dalam hal ini otak berperan sebagai eksekutor (untuk mrngambil tindakan berusaha) sementara hati sebagai sang supporter (menguatkan alasan untuk bertindak).
Adab-adab
Agar doa kita lebih efektif, tentu saja harus memperhatikan sopan santun pada saat kita memanjatkan doa. Ada beberapa yang harus diperhatikan pada saat memanjatkan doa. Pertama, Merendahkan suara. Dalam artian dilakukan dengan intonasi yang lemah lembut. Ada cerita menarik berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa ra.
Suatu tempo, para sahabat sedang dalam perjalanan bersama Rasulullah SAW. Di tengah-tengah perjalanan, salah seorang sahabat mengeraskan suaranya dalam membaca tasbih. Mendengar teriakan itu, Rasulullah meresponsnya dengan bersabda, “Wahai manusia, rendahkanlah suaramu sekalian. Karena kalian sesungguhnya tidak sedang memohon kepada yang tuli maupun yang gaib, bahkan kalian sedang memohon kepada Tuhan yang Maha Mendengar Lagi Maha Dekat yang selalu bersama kamu sekalian.”
Kedua, Menjaga sikap khusuk dan tadarru’ selama berdoa. Sikap ini menjadi bentuk fokus kita dalam berdoa dan menjaga dua sikap ini menjadi kunci agar doa tersebut terkabul. Sering kita dihadapkan tergesa-gesa dalam melakukan doa dan anggapan bahwa doa lambat terkabulnya, sehingga kecewa dan berhenti berdoa.
Ketiga, percaya bahwa doa kita akan dikabulkan oleh Alloh. Membahas hal satu ini, sama halnya kambali kepada pembahasan “Law of Attraction”. Kita harus mengerti, Alloh selalu menyertai kepercayaan seorang hamba kepada Tuhan-nya. Sehingga, apa mungkin kita dikatakan percaya kuasa-NYA apabila dalam doa kita masih tersisipi kata mungkinkah. Berlatihlah memupuk keyakinan kepada Allah Swt tanpa ada keraguan sedikitpun.
Itulah ringkasan beberapa kekuatan dan kelemahan dari doa. semoga ditengah wabah ini, kita tetap menggunakan kekuatan dari doa untuk membangun energi positif dan menjauhkan kelemahan doa yang bisa menyesatkan. Wallahu a’lam.
Editor: Nabhan