Kisah tentang pembakaran desa-desa di negara bagian Rakhine, yang menjadi prelude dari pembantaian dan penggebahan lebih dari 700.000 kaum Muslim Rohingya, masih jelas tergambar dalam ingatan. Masih jelas juga bagaimana kegarangan Ashin Wirathu, tokoh bikhu nomor satu asal Mandalay yang dijuluki “Buddhist bin Laden,” itu memprovokasi penduduk tentang bahaya dan ancaman Islam di negeri Buddha, Myanmar.
Semua itu adalah sekilas kekejian genosidal yang dipraktekkan oleh apa yang disebut Buddhisme Militan seperti diulas dalam e-book ini.
Setelah fundamentalisme Kristen, Judaisme ekstremis, Hinduisme kanan, dan Jihadisme Islamis-Salafis, maka lengkaplah agama-agama mempertunjukkan radikalisasi fanatisme dengan munculnya varian militanisme Buddhis. Gejala itu bukan hanya muncul di Myanmar, tetapi juga di negeri-negeri Buddhis lain seperti Srilanka, Kamboja, dan Thailand.
Buddhisme Theravada ekstrem ini bukan hanya muncul dalam bentuk kekerasan agama tetapi juga politik. Inilah cikal-bakal munculnya nasionalisme atau chauvinisme Buddhis. Dalam kerangka ideologi Buddhisme-politik itulah para bikhu militan mereka membakar sentimen fanatik umatnya untuk membela agama mereka yang dianggap berada dalam bahaya.
Mengapa dan bagaimana Buddhisme mengalami radikalisasi militan dan apa peranan yang dimainkan para bikhu dalam proses politisasi Buddhisme, adalah dua topik yang disorot dalam buku baru (2019) karya Peter Lehr ini.
Franz Peter Lehr adalah dosen senior untuk studi-studi terorisme dan kekerasan politik di St. Andrew University, Inggris. Sebelumnya ia adalah spesialis kajian politik regional tentang Asia Selatan dan Asia Tenggara di Universitas Heidelberg, Jerman.
Penulis: AE Priyono
Editor: Arif
Sumber: FB AE Priyono