Suatu kali saya bertanya kepada anak pertama saya yang belum genap berusia tiga tahun siapakah jagoannya (pahlawan). Seperti yang sudah saya duga jawabannya adalah Ultraman. Ketika saya tanya alasannya, jawabannya adalah karena Ultraman bisa mbuang monster jahat. Lain kesempatan, saya menanyakan lagi pertanyaan yang sama. Kali ini jawabannya adalah Gatotkaca. Alasannya, karena tokoh itu sehat dan kuat.
Kebanyakan orang mungkin menganggap jawaban-jawaban seperti itu inkonsisten. Yah, maklum anak-anak. Tapi setelah saya amati, jawaban yang berubah-ubah itu menyesuaikan konteks film apa yang terakhir ia tonton atau dongeng yang ia dengar. Tokoh favorit sebelumnya bisa tergantikan jika ia menemukan tokoh lain yang lebih menarik, dan lain waktu pun bisa berubah. Saya pun menyimpulkan bagi anak yang namanya jagoan atau idola itu relatif.
Dan, nampaknya dalam kasunyatan-nya memang demikian. Saya bisa jadi idola bahkan pahlawan bagi keluarga. Tapi bisa saja sebaliknya di mata orang lain. Misal saya bekerja sebagai pedagang, bagi orang lain saya adalah orang brengsek yang menyebabkan pelanggan mereka sepi atau usahanya gulung tikar.
Semua Tergantung Perspektif
Mana yang baik menurut seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Semua itu tergantung pada perspektif, pengalaman bahkan nilai-nilai yang melekat pada masing-masing orang.
Saya pun jadi teringat buku Out Of The (Truck) Box racikan penulis Iqba Aji Daryono. Di dalamnya disinggung konflik historis nan ideologis antara orang India Punjab dengan Mahatma Gandhi. Lho, bagaimana bisa orang India berkonflik dengan pahlawan mereka sendiri? Rupanya tidak semua orang India mencintai Mahatma Gandhi. Orang Punjab, India bagian utara, punya prinsip yang bertentangan tokoh itu.
Orang-orang Punjab memiliki karakter keras dan menjunjung harga diri. Bagi mereka, siapa yang merendahkan harga dirinya, harus siap kepalanya hilang. Mereka tidak bisa menerima konsep ‘membalas dengan memaafkan’ yang dijunjung oleh Gandhi, bagi mereka itu ‘menjijikkan’.
Mungkin itu mirip dengan persepsi yang berlaku tentang patih Majapahit Gajah Mada. Orang Jawa mengaguminya sebagai kesatria besar yang berkontribusi membangun imperium tebesar di Nusantara saat itu. Tapi orang sunda menganggap Gajah Mada sebagai penghianat. Peristiwa Bubat menjadi latar belakangnya.
Relativitas tentang kepahlawanan juga ada dalam penetapan pahlawan nasional. Beberapa menjadi perdebatan tak kunjung usai. Sebutah pahlawan nasional Anak Agung Gde. Meski ia berjasa pada bangsa, tapi banyak yang menganggap dia seorang penjilat Belanda dan bertanggung jawab atas kematian I Gusti Ngurah Rai, pahlawan terkemuka Bali.
Beberapa tokoh yang berjasa besar bagi bangsa juga disisihkan dari catatan sejarah karena dianggap berafiliasi dengan komunisme. Di sisi lain, sebagian yakin mereka pun layak diberi gelar pahlawan.
Lalu Siapa Pahlawan Itu?
Relativitas kepahlawanan ini pun dapat kita rasakan pada dua pemilu terakhir. Pada tahun 2014, perbedaan pandangan di masyarakat ini bahkan menciptakan polarisasi. Sebagian secara mutlak menafikan Jokowi, sementara yang lain mengagungkan Prabowo. Ini berlanjut pada pemilu berikutnya.
Setelah Prabowo berpindah haluan, polarisasi itu tampaknya belum hilang. Pada blok yang bersebrangan dengan Jokowi, muncul tokoh lain yang diidolai, misal Gatot Nurmantyo. Salain itu, masih ada Habib Rizieq, tokoh yang memang memiliki pengikut militan.
Para pendukung masing-masing memiliki sudut pandangnya sendiri, siapa yang dianggap pahlawan. Pahlawan pembela kebinekaan, pahlawan Pancasila, pahlawan pembela Islam, pahlawan pembela NKRI, atau pahlawan karena galak pada hantu Komunis.
Tapi sayangnya ketidaksadaran akan perbedaan persepsi ini sering memicu gesekkan. Harus diakui hampir semua konflik yang terjadi beberapa tahun ini akibat perbedaan persepsi soal siapa yang lebih baik.
Sekarang kita telah masuk bulan November, bulan yang identik dengan kepahlawanan. Dari sini kita bisa melakukan refleksi~kepahlawanan seperti apa yang akan kita rayakan.
Pahlawan Anda bisa jadi Jokowi, Prabowo, Luhut Pandjaitan, Soeharto hingga Semaun. Bisa juga tokoh agama seperti Quraish Shihab, Yusuf Mansyur, Habib Rizieq atau Felix Xiaw. Atau, Anda punya yang lebih personal lagi misal guru, orang tua, pasangan atau siapapun. Bahkan bisa juga karakter fiksi seperti Superman atau Gatotkaca.
Editor: Dhima Wahyu Sejati