Sebelum mengetahui bagaimana hukumnya, mari kita kaji makna kotoran terlebih dahulu:
الرَّوْثُ لُغَةً: رَجِيعُ (فَضْلَةُ) ذِي الْحَافِرِ، وَاحِدُهُ رَوْثَةٌ وَالْجَمْعُ أَرْوَاثٌ (١) .
وَيَسْتَعْمِل الْفُقَهَاءُ هَذَا اللَّفْظَ بِأَوْسَعَ مِنْ ذَلِكَ فَيُطْلَقُ عِنْدَهُمْ عَلَى رَجِيعِ ذِي الْحَافِرِ وَغَيْرِهِ كَالإِْبِل وَالْغَنَمِ (٢) .
وَقَرِيبٌ مِنْهُ الْخِثْيُ، وَالْخِثْيُ لِلْبَقَرِ، وَالْبَعْرُ لِلإِْبِل وَالْغَنَمِ، وَالذَّرْقُ لِلطُّيُورِ (٣) . وَالْعَذِرَةُ لِلآْدَمِيِّ (٤) ، وَالْخُرْءُ لِلطَّيْرِ وَالْكَلْبِ وَالْجُرَذِ وَالإِْنْسَانِ (٥) وَالسِّرْجِينُ أَوِ السِّرْقِينُ هُوَ رَجِيعُ مَا سِوَى الإِْنْسَانِ.
Rauts secara bahasa: Kotoran (Fadluhu) Membuang kotoran, Mufradnya Rausatun, Jamaknya Arwatsun.
Para Ahli Fikih menggunakan lafaz ini dengan cakupan dari itu maka dimutlakkan menurut mereka atas kotoran, membuang kotoran dan selainnya bagi unta dan kambing/domba.
Lafaz yang mendekati dari (Rauts) adalah Khitsyu, dan Khitsyu itu untuk sapi betina, Ba’run untuk unta dan kambing, Zarqu untuk burung, Azirah untuk Adamiy (bersifat manusia), Khur’u untuk burung, tikus, dan manusia.
Sirjin /Sirqin untuk kotoran selain manusia. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz. 23, Hlm.192).
حُكْمُ الرَّوْثِ مِنْ حَيْثُ الطَّهَارَةُ وَالنَّجَاسَةُ:
٢ – يَرَى الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَالشَّافِعِيَّةُ فِي وَجْهٍ أَنَّ رَوْثَ مَا يُؤْكَل لَحْمُهُ طَاهِرٌ.
وَبِهَذَا قَال عَطَاءٌ وَالنَّخَعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ. وَقَال: صَلُّوا فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ (١) . وَصَلَّى أَبُو مُوسَى فِي مَوْضِعٍ فِيهِ أَبْعَارُ الْغَنَمِ فَقِيل لَهُ: لَوْ تَقَدَّمْتَ إِلَى هَاهُنَا. قَال: هَذَا وَذَاكَ وَاحِدٌ.
وَلَمْ يَكُنْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ مَا يُصَلُّونَ عَلَيْهِ مِنَ الأَْوْطِئَةِ وَالْمُصَلَّيَاتِ وَإِنَّمَا كَانُوا يُصَلُّونَ عَلَى الأَْرْضِ، وَمَرَابِضُ الْغَنَمِ لاَ تَخْلُو مِنْ أَبْعَارِهَا وَأَبْوَالِهَا؛ وَلأَِنَّهُ مُتَحَلِّلٌ مُعْتَادٌ مِنْ حَيَوَانٍ يُؤْكَل لَحْمُهُ فَكَانَ طَاهِرًا (٢) .
أَمَّا رَوْثُ غَيْرِ مَأْكُول اللَّحْمِ فَنَجِسٌ عِنْدَ هَؤُلاَءِ الْفُقَهَاءِ، وَقَدْ صَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِنَجَاسَةِ رَوْثِ مَكْرُوهِ الأَْكْل كَمُحَرَّمِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَعْمِل النَّجَاسَةَ (٣) .
وَقَال الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ – عَلَى الْمَذْهَبِ – بِنَجَاسَةِ الرَّوْثِ مِنْ جَمِيعِ الْحَيَوَانَاتِ الْمَأْكُول اللَّحْمِ وَغَيْرِهَا (٤) .
Hukum kotoran dari aspek kesucian dan najisnya:
Malikiyah Syafi’iyah Hanabilah berpendapat bahwa kotoran dari hewan yang dimakan dagingnya itu suci.
Dengan ini Atha’, An-Nakha’i, Ats-Tsauri menyetujui dan berdalil dengan hadis bahwa Nabis Saw dari Anas bin Malik berkata, “Nabi ﷺ pernah salat di kandang kambing.” Setelah itu aku mendengar Anas mengatakan, “Beliau salat di kandang kambing sebelum masjid di bangun.” Hr. Bukhari, Abu Musa salat di tempat yang di dalamnya kotoran kambing, ada yang berkata baginya (Abu Musa): Sekiranya engkau telah berlalu pada ini, Abu Musa berkata: Ini dan itu satu. (Ibid).
Dan Nabi Saw dan para sahabatnya mereka tidak salat dari tanah rendah dan mushalla-mushalla, melainkan mereka salat di tanah dan kandang kambing yang tidak meninggalkan dengan kotorannya dan pintu-pintunya. Karena sesungguhnya melepaskan dari hewan yang dimakan dagingnya dan itu suci. (Ibid)
Adapun kotoran yang tidak dimakan dagingnya maka najis menurut mereka para Fukaha. Malikiyah menjelaskan kenajisan kotoran makruh dimakan sebagaimana keharamannya, meskipun tidak menggunakan diksi najis.
Hanafiah dan Syafi’iyah berpendapat terhadap najisnya kotoran dari seluruh hewan baik yang bisa dimakan ataupun selainnya. (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, Juz. 23, Hlm.193).
Syaikh Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhus Sunnah berpendapat:
١٠ – بول وروث ما لا يؤكل لحمه: وهما نجسان، لحديث ابن مسعود رضي الله عنه قال: أتى النبي صلى الله عليه وسلم الغائط، فأمرني أن آتيه بثلاثة أحجار، فوجدت حجرين، والتمست الثالث فلم أجده، فأخذت روثة فأتيته بها، فأخذ الحجرين وألقى الروثة وقال: (هذا رجس) رواه البخاري وابن ماجه وابن خزيمة، وزاد في رواية (إنها ركس (١) إنها روثة حمار) ويعفى عن اليسير منه، لمشقة الاحتراز عنه. قال الوليد بن مسلم: قلت للاوزاعي: فأبوال الدواب مما لا يؤكل لحمه كالبغل، والحماروالفرس؟ فقال: قد كانوا يبتلون بذلك في مغازيهم فلا يغسلونه من جسد أو ثوب. وأما بول وروث ما يؤكل لحمه،
فقد ذهب إلى القول بطهارته مالك وأحمد وجماعة من الشافعية. قال ابن تيمية: لم يذهب أحد من الصحابة إلى القول بنجاسته، بل القول بنجاسته قول محدث لا سلف له من الصحابة.
Kencing dan Kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya: keduanya najis, sebagaimana Hadis ibnu Mas’ud Ra: “Nabi SAW hendak buang air besar, lalu beliau menyuruhku mengambil tiga buah batu. Aku berhasil menemukan dua batu. Aku sudah mencari yang ketiga, tapi tidak menemukannya. Kemudian aku mengambil kotoran binatang yang sudah kering dan memberikannya kepada beliau. Beliau menerima dua batu dan membuang kotoran binatang itu seraya berkata: Ini Najis. Hr. Bukhari, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan ada tambahan dalam riwayat lain (ركس ) sesungguhnya itu kotoran keledai. Dan dimaafkan berupa kemudahan darinya, karena masyaqqah (kesulitan) pencegahan darinya. Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada al-Auzai tentang kencing binatang-binatang yang dagingnya tidak dimakan, seperti keledai dan kuda. Dia menjawab: “Dulu dalam peperangan, mereka juga kesulitan mengenai hal itu, sehingga mereka tidak mencuci badan maupun pakaian mereka”.
Sedangkan kencing dan kotoran binatang yang dagingnya dimakan, maka menurut Imam Malik, Ahmad dan sebagian pengikut madzhab Syafii, hukumnya suci. Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada seorang sahabat pun yang berpendapat tentang kenajisannya. Bahkan bila ada orang mengatakan najis, berarti dia membuat-buat hukum baru yang tidak ada rujukannya pada masa sahabat dulu”. (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz.1, Hlm.28)
Editor: Soleh