Sudah puluhan tahun semenjak Palestina mengalami pendudukan dan jutaan Muslim mengalami pengasingan, penyiksaan hingga pembantaian. Dari anak-anak, perempuan hingga laki-laki dewasa semua tidak luput dari penderitaan. Sementara mereka terisak dan khawatir akan ancaman rudal, sebagian besar umat Muslim lain dapat tidur nyenyak.
Berbagai upaya diplomatis dalam beragam tingkatan dari individu hingga internasional juga telah dilakukan. Usaha mandiri dari bangsa-bangsa Muslim serta resolusi atau—faktanya, intervensi dari bangsa-bangsa besar dunia juga telah diupayakan. Sayang, tidak juga tanah Quds terbebas dari cengkeraman penjajahan.
Yaumul Quds yang selalu dirayakan pada setiap jumat terakhir di bulan Ramadhan harusnya menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan kondisi yang masih berlangsung. Dimana yang keliru? Apa yang telah kita lewatkan? Bagaimana agar saudara kita di Palestina dapat segera merasakan kemerdekaannya?
Berpijak pada kegelisahan itu, penulis mendedahkan tawaran mengenai tiga langkah pembebasan tanah Quds. Mereka dipandang sebagai langkah-langkah yang selama ini terabaikan atau kurang banyak diberi perhatian. Ketiganya menjadi pekerjaan rumah yang seharusnya telah lama jadi fokus gerakan muslim seluruh dunia.
Penyadaran
Gerakan pembebasan Quds harus dimulai dari pembangunan kesadaran di tengah-tengah seluruh komunitas Muslim. Bahwa yang sedang terjadi bukan hanya persoalan terbatas sebagian masyarakat Palestina yang dirampas hak-haknya. Melainkan, ia adalah persoalan masyarakat Muslim seluruhnya di setiap penjuru dunia.
Kesadaran yang diciptakan harus meliputi kesadaran bahwa sesama Muslim, tidak peduli berasal dari mana saja, adalah bagian dari tubuh sebuah komunitas yang satu. Menyakiti suatu bagian berarti menyakiti semua. Respon bangsa Muslim yang bersifat fragmentatif dan sporadis sebagaimana terjadi selama ini menggambarkan masih minimnya kesadaran itu.
Nyatanya, kesadaran akan ikatan persaudaran universal umat Muslim belum tersimpul. Masing-masing bangsa terjebak dalam primordialitas dengan membanggakan atau mengutamakan suku atau rasnya. Fakta ini justru menampakkan kejatuhan moral Muslim yang dulunya telah dipersatukan oleh Nabi Muhammad dalam akidah dan ukhuwah Islamiyah.
Belum lagi keterbelahan umat Islam yang telah terjadi karena konflik politik sunni-syiah, harus dicarikan penawar. Ketegangan di timur tengah karena isu-isu perbedaan pandangan keagamaan dalam tubuh umat Islam itu merupakan halangan terbesar. Kita bisa melihat bagaimana gerakan pembebasan tanah Quds terhambat karena motif ini dibelakangnya.
Pemerdekaan
Makna merdeka sering dikerdilkan kepada makna kedaulatan sebuah bangsa dalam memerintah negaranya. Padahal, merdeka memiliki dua sisi mata uang yang harus dimiliki seutuhnya untuk benar-benar dapat menyatakan kemerdekaan diri. Memiliki satu sisi makna tidak meniscayakan kemerdekaan yang sejati. Banyak negara yang dianggap merdeka, nyatanya sekedar negara boneka bangsa penguasa.
Makna merdeka pertama adalah merdeka dalam aspek negatif yang bermakna bebas dari paksaan atau tekanan pihak lain. Demikian itu secara kasat mata dimiliki mayoritas umat Muslim kecuali di Palestina. Namun merdeka yang hakiki adalah dalam makna kedua. Merdeka yang bersifat positif dan berarti memiliki kemampuan untuk bersuara dan mewujudkan aspirasinya.
Kemerdekaan positif jarang dimiliki karena kebanyakan bangsa Muslim tersandera oleh kepentingan jangka pendek. Entah khawatir kehilangan mitra koalisi atau dukungan pendanaan. Bukan rahasia bahwa Israel berhasil bertahan melalui Amerika yang selama ini dipandang superpower. Yang jelas akibatnya bangsa-bangsa Muslim tidak memiliki kemampuan untuk menyatakan pandangan mereka.
Kesadaran mengenai kesatuan tubuh umat muslim dan bahwa Quds adalah bagian dari sejarah budaya dan identitas Islam harus dilanjutkan dengan kesadaran mengenai kualitas kemerdekaan bangsa-bangsa Muslim.
Dulu bangsa Muslim adalah bangsa besar yang suaranya memiliki pengaruh besar. Namun, jangankan berpengaruh, kini banyak bangsa Muslim yang tidak memiliki cukup nyali untuk bersuara.
Embargo yang dilakukan kepada misalnya Iran telah cukup meyakinkan kebanyakan bangsa Muslim untuk menunduk lesu. Bagi mereka, kenyamanan pribadi jauh lebih berharga, mewah, ketimbang kemerdekaan saudara-saudara di Palestina.
Penyetaraan
Memiliki kemerdekaan dalam makna negatif dan positif tidak juga cukup untuk mendorong pembebasan tanah Quds. Kenyataannya, ada 40 lebih negara dengan jumlah Muslim yang besar. Belum lagi jika menengok muslim-muslim lain di negara-negara Barat atau negara-negara dimana muslim sebagai minoritas.
Namun, Islam yang diwakili bangsa-bangsa dan komunitasnya yang jika dipadu berjumlah besar itu tidak memiliki kesamaan hak dalam menentukan nasib Israel. Disinilah justru penting dipahami dan harus dicamkan. Bagaimana mungkin akan muncul solusi konkrit di panggung liga bangsa-bangsa dunia bila segala keputusan bisa di veto oleh beberapa negara saja?
Kemerdekaan menjadi tidak berarti apa-apa. Kita bisa mengelola segala sumber daya dan menentukan lagu, bendera dan lambang negara. Tapi di mata dunia, bangsa-bangsa Muslim tidak lebih dari sapi perah yang menyalurkan sumber daya alam kebutuhan negara maju. Ironisnya, kita juga adalah pasar terbesar yang mengonsumsi produk mereka.
Jika saja kedudukan semua bangsa setara kebuntuan situasi yang terjadi di Palestina pasti tidak berlangsung berlarut-larut. Semua bangsa Muslim dan mayoritas negara lain tahu sejarah yang sebenarnya terjadi. Bahwa bangsa Palestina yang telah turun-temurun hidup diusir dari tanah nenek-moyangnya. Mereka juga menginginkan pembebasan Palestina segera.
Namun persoalannya bangsa-banga Muslim dipandang rendah. Bangsa-bangsa Muslim tidak memiliki signifikansi karena ketergantungannya kepada yang lain. Ketergantungan itulah benalu yang menyandera mereka dalam melakukan tindakan yang secara nyata akan mengubah kondisi di tanah Quds.
Kesimpulan
Kemerdekaan Palestina hanya dapat dicapai jika tiga hal telah terkonsolidasi. Kesadaran akan persaudaraan universal Islam yang menjadikan Palestina bukan sekedar suatu tanah bangsa Arab yang jauh di sana. Melainkan Palestina adalah saudara kita, kakak, adik, tumpah darah yang sama dengan kita.
Kita juga harus merenggut kemerdekaan yang sejati dan utuh bagi bangsa-bangsa Muslim terlebih dahulu. Bagaimana caranya agar memiliki otonomi sehingga terdapat kapasitas untuk menyatakan pandangan tanpa takut diintervensi? Sebab toh percuma memiliki keresahan yang sama namun enggan jujur karena khawatir persepsi bangsa lain.
Terakhir, kemerdekaan tidak berarti apa-apa jika bangsa-bangsa Muslim tidak dipandang setara, sama tinggi. Bahwa kemerdekaan Palestina harus dimulai dari kesetaraan, bahkan kekuatan persatuan bangsa-bangsa Muslim di pentas dunia. Saat itulah tidak hanya membebaskan Palestina, Islam juga hadir kembali di dunia sebagai kekuatan yang disegani.
Editor: Soleh