Opini

Tiga Model Pembacaan Tafsir Gender Modern Menurut Hadia Mubarak

2 Mins read

Isu teologis menjadi salah satu unsur yang paling mendesak bagi umat Muslim di era modern. Salah satunya adalah aspek penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bernuansa feminisme. Menurut Hadia Mubarak, pencarian kehendak ilahi melalui interpretasi ayat al-Qur’an seharusnya bersifat egaliter, namun dalam praktiknya justru terkesan memarjinalkan perempuan.

Hal ini disebabkan oleh dominasi penafsiran klasik yang masih membelenggu mayoritas umat Islam saat ini. Untuk merespons fenomena tersebut, Hadia mengklasifikasikan model pembacaan ayat-ayat al-Qur’an seputar gender oleh para sarjana kontemporer ke dalam tiga model: pembacaan skriptural, pembacaan egaliter, dan pembacaan kritis.

Hadia dan Pembacaan Skriptural

Model ini ditandai dengan upaya membedakan antara representasi perempuan dalam teks al-Qur’an dan bias yang muncul dalam tafsirnya. Hadia menyebut Lois Lamya Faruqi, melalui karyanya Women, Muslim Society and Islam, sebagai pelopor kajian perempuan dalam al-Qur’an dari perspektif Barat. Faruqi menyatakan bahwa hanya sumber dari era kenabian (al-Qur’an dan sunnah) yang sah dijadikan preseden agama bagi perempuan Muslim. Namun, Hadia menyoroti adanya ketegangan dalam argumen Faruqi yang mendukung kesetaraan gender, namun tetap menerima tatanan patriarkal sebagai kerangka normatif.

Barbara Stowasser, melalui karya Women in the Qur’an, Traditions, and Interpretation (1994), juga memberikan kontribusi penting dalam model ini. Ia menunjukkan bahwa representasi perempuan dalam tafsir abad pertengahan sering kali lebih menekankan sisi kelemahan dan bahayanya terhadap tatanan moral, dibandingkan potensi spiritual dan tanggung jawab moral perempuan sebagaimana tergambar dalam teks al-Qur’an itu sendiri.

Namun, pendekatan skriptural ini dikritik oleh tokoh seperti Andrew Rippin dan Karen Bauer. Rippin mempertanyakan kemungkinan menafsirkan al-Qur’an dalam “konteks vakum”. Sementara Bauer menekankan bahwa para mufasir bisa jadi hanya menginterpretasikan teks sebagaimana maksud ilahi. Meski dengan pendekatan kontekstual budaya tertentu.

Baca Juga  RUU PKS: Tanggapan dan Perspektif Para Tokoh Agama

Hadia dan Pembacaan Egaliter

Model ini berangkat dari asumsi bahwa Tuhan, sebagai zat yang adil dan esa, tidak mungkin mengajarkan ketidakadilan atau misogini. Para tokoh seperti Asma Barlas dan Amina Wadud menegaskan bahwa penindasan terhadap perempuan bukanlah produk dari teks al-Qur’an, melainkan dari tafsir dan sumber ekstra-Qur’ani lainnya.

Barlas menegaskan bahwa “Tuhan menurut definisi tidak mungkin misoginis; maka firman-Nya juga tidak mungkin demikian.” Ia dan Wadud sama-sama mengembangkan hermeneutika yang berfokus pada al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber otoritas. Serta mengesampingkan tafsir tradisional dan hadis yang dianggap patriarkal. Wadud, misalnya, menerapkan metode hermeneutika ganda Fazlur Rahman dan memanfaatkan analisis tata bahasa, konteks sejarah, dan pandangan dunia Qur’ani dalam menafsirkan teks.

Barlas membangun pendekatan hermeneutika berbasis ontologi ilahi, yang menekankan tiga prinsip utama sebagai manifestasi Tuhan: keesaan, keadilan, dan ketidaktercakupan Tuhan oleh sistem patriarkal. Prinsip-prinsip ini menjadi dasar untuk membaca al-Qur’an secara anti-patriarkal.

Pembacaan Kritis

Model ini mengkritik pendekatan egaliter sebagai terlalu subjektif dan idealistik. Tokoh-tokoh seperti Kecia Ali, Raja Rhouni, Ebrahim Moosa, dan Aysha Hidayatullah berpendapat bahwa pembacaan egaliter cenderung menyisipkan nilai-nilai modern ke dalam teks al-Qur’an, sehingga kehilangan objektivitas ilmiah.

Moosa, misalnya, menyebut bahwa teks al-Qur’an tidak dapat dipahami sebagai objek pasif yang menanti ditemukan maknanya, tetapi sebagai teks yang berinteraksi secara aktif dengan pembacanya. Ironisnya, Moosa sendiri mengakui bahwa patriarki juga bisa ditemukan dalam norma tekstual al-Qur’an. Hidayatullah menyoroti bahwa gagasan kontemporer tentang kesetaraan gender bisa jadi tidak sejalan dengan nilai-nilai Qur’ani, seperti dalam kasus ayat tentang dua perempuan sebagai saksi setara satu laki-laki (Q.S. al-Baqarah [2]: 282).

Kritik-kritik ini memunculkan persoalan tentang subjektivitas penafsir dan apakah pembacaan egaliter benar-benar bisa merepresentasikan kehendak ilahi. Hadia Mubarak mengakui bahwa setiap model penafsiran memiliki keterbatasan. Perbedaan-perbedaan ini, menurutnya, adalah konsekuensi tak terhindarkan dari interpretasi manusia yang dipengaruhi oleh latar belakang, keyakinan, pendidikan, dan perangkat hermeneutika masing-masing.

Baca Juga  Ibn Taimiyyah: Anti-Sufi atau Sufi?

Editor: Assalimi

Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *