Tiga Pendekar Muhammadiyah
Posisi Muhammadiyah terhadap terorisme jelas dan tegas: menolak. Dalam hal prinsipil ini, Muhammadiyah tidak memberi toleransi. Organisasi yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan itu dengan tegas menolak tindakan terorisme, pun dengan tindakan lain yang merusak nilai-nilai kemanusiaan seperti korupsi, pengrusakan lingkungan, dan perampasan ruang hidup.
Sikap Muhammadiyah terhadap terorisme ini bisa dilihat dari beberapa tokohnya yang begitu getol menyuarakan Islam yang rahmatan lil’ alamin dan berkemajuan, yang secara diametral berseberangan dengan paham terorisme. Tiga pendekar Muhammadiyah tersebut antara lain:
Buya Syafii Maarif
Sepak terjang Buya telah dikenal banyak orang. Tak hanya di Indonesia, dunia internasional juga memberikan pengakuan. Pada tahun 2008, Buya menerima penghargaan Magsaysay Award 2008 untuk kategori Perdamaian dan Toleransi Internasional (Peace and International Understanding). Magsaysay Award sering dianggap sebagai hadiah nobel versi Asia.
Buya adalah tokoh yang selalu berdiri di barisan paling depan dalam menyebarkan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Pada saat yang sama, ia juga begitu berani berseberangan dengan kelompok konservatif.
Buya sama sekali tak gentar melawan proses radikalisasi agama. Ia bahkan pernah menuding sebagian kelompok yang atas nama agama sering “main tangan” di jalanan dan bertindak seolah seperti aparat dengan sebutan “preman berjubah”, sebuah kritik yang sangat berbahaya bagi keselamatan Buya tentunya. Tapi, jika itu benar, Buya tetap menyampaikan seolah urat takutnya telah putus.
Irfan Amalee
Nama Irfan Amalee tak lengkap jika tak disematkan dua institusi penting yang ia bangun, yaitu Peace Generation dan PeaceSantren Welas Asih. Melalui dua lembaga tersebut, ia menjelma menjadi “kiai millenial” yang identik dengan narasi-narasi perdamaian dengan kemasan yang sangat khas anak muda.
Irfan Amalee adalah pendiri Peace Generation. Melalui lembaga tersebut, ia memberikan training ke berbagai daerah di Indonesia. Tak hanya itu, pengaruhnya telah sampai di luar negeri. Training-training Peace Generation telah melintas ke 11 negara dan 108 kabupaten/kota di Indonesia.
Lembaga tersebut telah mengajak 40 ribu orang untuk belajar nilai-nilai perdamaian. Selain itu juga ada 31 ribu siswa dan 5 ribu guru dan pemimpin komunitas mendapatkan training untuk menjadi pendidik perdamaian.
Berkat kerja keras tersebut, Irfan bersama Peace Gen diganjar dengan 14 penghargaan nasional dan internasional, antara lain International Young Creative Entrepreneur dari British Council dan Kick Andy Heroes. Ia juga masuk ke dalam 50 muslim paling berpengaruh di dunia versi Royal Institute for Islamic Studies Amman Yordania.
Sukidi
Di masyarakat, nama tokoh terakhir ini mungkin belum setenar Buya atau Irfan Amalee. Namun, di kalangan intelektual dan akademisi, Sukidi dianggap sebagai intelektual muda yang memegang tongkat estafet pembaruan Islam pasca Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii. Kader Muhammadiyah dari Sragen, Jawa Tengah tersebut baru saja menyelesaikan pertapaan intelektual selama belasan tahun di kampus terbaik dunia, Harvard.
Sukidi adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar Ph.D dalam bidang Islamic Studies dari Harvard. Sepulangnya dari Amerika, ia menjadi tokoh yang gigih menyebarkan paham Islam yang rahmatan lil alamin, yang bebas, majemuk, dan adil.
Ia menggagas visi baru Islam di Indonesia. Visi baru Islam yang ia maksud adalah visi Islam sebagai agama kebhinekaan, persatuan, kesetaraan, kebebasan, dan kemanusiaan. Lima visi baru Islam tersebut secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh pelaku terorisme.
Pelaku tindak pidana terorisme adalah pemeluk agama yang tidak menghormati nilai-nilai kebhinekaan, persatuan, kesetaraan, kebebasan, dan terutama kemanusiaan. Padahal, kelima nilai tersebut adalah nilai luhur yang -dalam bahasa Sukidi- diberikan oleh Tuhan kepada manusia secara inheren. Sehingga, pengkhianatan terhadap kelima nilai tersebut merupakan pengkhianatan terhadap Tuhan dan sekaligus terhadap konstitusi negara.
Di belakang tiga pendekar di atas, ada jutaan kader Muhammadiyah yang mengamini, mengamalkan, dan menyebarkan gagasan-gagasan ketiga tokoh tersebut. Gagasan ketiga tokoh di atas juga menjadi gagasan utama seluruh warga Muhammadiyah di berbagai tingkatan. Sehingga, tidak ada ruang bagi paham-paham radikal dan intoleran di dalam tubuh Muhammadiyah.
Editor: Saleh