IBTimes.ID – Indonesia termasuk bangsa yang toleran. Maka Islam, Kristen, Budha, Konghucu, termasuk aliran-aliran kepercayaan bisa hidup berdampingan di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Muhammad Ali, Dosen Studi Islam Universitas California dalam kegiatan Ramadhan Enlightenment yang digelar oleh Cak Nur Society.
Jika dibandingkan beberapa negara di Timur Tengah, Indonesia adalah negara yang relatif toleran dan damai. Namun, di satu sisi ada beberapa masalah tentang kehidupan umat beragama yang berdampingan.
“Pertama, banyak fatwa-fatwa yang bersifat judgement atau penilaian hukum. Jadi menilai persoalan fikih, apakah seseorang itu kafir, musyrik, bid’ah, sesat, dan seterusnya,” ujarnya.
Menurutnya, fatwa ini wajar. Hampir semua agama memiliki fatwa-fatwa sebagaimana di atas. Namun, fatwa-fatwa yang bersifat menghukumi orang lain tersebut sayangnya sering tidak didasari pemahaman terhadap orang lain yang dihukumi.
Perspektif teks dan sejarah diri sendiri digunakan untuk menilai yang lain tanpa melalui proses belajar kepada yang lain, bertanya kepada yang lain, dan memahami yang lain.
“Nggak pernah nanya dulu. ‘Eh, Ahmadiyah, bagaimana ini menurut anda?’ Nggak pernah seperti itu,” imbuh Ali.
Kedua, masalah kehidupan umat beragama di indonesia adalah tidak ada toleransi dalam hal akidah atau keyakinan. Sebagian orang berpendapat bahwa toleransi dalam hal akidah akan mendangkalkan iman. Toleransi hanya ada dalam hal muamalah atau relasi sosial.
Menurut Muhammad Ali, keyakinan bersifat hitam-putih. Menariknya, keyakinan yang dianggap lurus, benar, suci, dan ortodoks itu adalah keyakinan komunitas. Agama atau keimanan sudah menjadi bagian dari membership (komunitas). Apakah itu ahlus sunnah wal jamaah, asy’ariyah, syiah, mu’tazilah, dan lain-lain.
Keyakinan tersebut, imbuh Ali, sudah menjadi keyakinan komunitas, bukan keyakinan individual. Akibatnya, ada otoritas keagamaan yang digunakan untuk menjaga keyakinan itu. Yang memastikan agar batas-batas itu tidak dilanggar.
Selain itu juga ada identitas keagamaan. Identitas juga bersifat hitam-putih. Masyarakat menolak identitas ganda. Akibatnya, sulit untuk mengatakan bahwa ada keyakinan yang di tengah-tengah atau abu-abu.
“Padahal, keyakinan itu sebenarnya saling mempengaruhi. Ada kelanjutan, ada yang baru. Islam itu harus diakui bahwa ia berdasarkan pada Yahudi, Kristen, bahkan tradisi Arab sebelum Islam. Jadi ada faktor luar,” imbuhnya.
Ia memberikan contoh puasa, shalat, zakat, dan haji yang merupakan ibadah orang-orang sebelum Islam. Sehingga, iman bukan sesuatu yang 100% baru. Selain itu, keyakinan bisa berubah dari waktu ke waktu.
Pemahaman seseorang terhadap Allah bisa jadi berubah dari waktu ke waktu. Setiap agama lahir dalam konteks yang sangat sederhana. Tidak ada formalisasi keyakinan. Tidak ada rukun iman atau rukun Islam. Dalam perkembangannya, agama mengalami proses rukunisasi. Ada rukun-rukun. Padahal, sebelumnya, Islam lahir dalam masyarakat yang baru, antara Arab dan non-Arab.
“Ada commond-ground, ada kalimahsawa, tidak hanya antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Tetapi juga dengan yang lain. Kata Rasyid Ridha, Hindu, Budha, dan Konghucu juga bisa menjadi ahlul kitab. Ini hal yang penting,” tegas Ali.
Ketiga, masalah kehidupan umat beragama adalah relasi sosial. Relasi sosial memiliki beberapa tingkatan. Mulai dari persekusi (intoleransi penuh), diskriminasi, netral, semi-toleran (mendukung), full-toleran (toleransi penuh). Dalam relasi sosial, masyarakat harus bersikap baik. Tidak boleh mengolok-olok sesembahan agama lain atau ritual agama lain dari perspektif agamanya sendiri.
Toleransi juga ada aktif dan pasif. Toleransi pasif berarti sekedar membiarkan orang lain. Sedangkan toleransi aktif berarti ada usaha untuk belajar, bekerja sama, dan berpartisipasi bersama orang lain.
“Understanding (memahami) itu adalah ketika kita melihat orang Kristen bernyanyi, padahal mereka menganggap itu sebuah kebaktian, kita tidak meremehkan itu. Kalau seolah-olah kita menganggap remeh itu, maka berarti tidak ada empati terhadap keyakinan dan kebaktian orang lain,” ujar Ali.
Memahami adalah awal dari mencintai. Tak kenal maka tak sayang. Seseorang harus memahami orang lain menurut apa yang mereka yakini.
“Kalau kita memaksakan pemahaman agama mereka menurut pemahaman agama kita, maka itu intoleransi,” imbuhnya.
Hambatan-Hambatan dalam Memahami yang Lain
Menurut Muhammad Ali, ada beberapa hambatan dalam memahami yang lain. Pertama, hambatan psikologis. Menganggap orang lain sebagai orang asing yang bisa jadi mengancam, membahayakan, merugikan, berpotensi terbawa arus, terkontaminasi, dan lain-lain. Seolah-olah memahami berarti melemahkan diri. Membuat diri tidak lagi kuat dan tegas.
Kedua, hambatan intelektual. Literasi keagamaan masyarakat masih perlu dikembangkan. Masyarakat tidak punya cukup pengetahuan untuk memahami yang lain. Masing-masing fokus mempelajari kelompoknya sendiri.
“Selain itu juga ada hambatan keluarga dan hambatan sosial. Zona nyaman akan hilang. Kalau kita berinteraksi terhadap orang lain, kenyamanan terhadap keluarga dan lingkungan sekitar akan hilang. Ada hambatan politik, negara, dan seterusnya,” tutup Muhammad Ali.
Reporter : Yusuf