Al-Qur’an memiliki daya tarik dan khazanah keilmuan. Keindahan tafsirnya, tak akan habis bahkan semakin menakjubkan. Berbahagialah insan yang mempelajari dan memahami kandungan tafsir Al-Qur’an, hal ini merupakan rahmat dari Allah. Indonesia sendiri, kaya akan kitab tafsir. Kita mengenal Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Ibriz karya Bisri Mustofa, Tarjumanul Mustafid karya Abdur Ra’uf as-Sinkili, dan masih banyak lagi yang bisa kita nikmati. Semuanya memiliki corak tafsir dan metodologi yang berbeda.
Dengan beragam penafsiran, hemat saya, menandakan bahwa kitab suci Al-Qur’an merupakan mukjizat (miracle) yang telah diturunkan oleh Allah Swt untuk semua umat manusia sebagai rahmatan lil ‘aalamiinr. Dengan beragamnya kitab tafsir, tentu muncul dalam benak kita–terutama penulis sendiri–lalu seperti apa tafsir masa depan itu? Apa kontribusi yang bisa penulis berikan?
Tafsir Masa Depan
Tidak bisa dimungkiri bahwa penafsiran itu selalu berkembang. Kejadian di zaman nabi sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Dalam menggagas tafsir masa depan, penulis setuju dengan tiga rumusan Muhammad Autad an Nasher, bahwa ada hal penting yang harus dijiwai oleh semangat tafsir Al-Qur’an masa depan. Pertama, metodologinya harus mapan. Kedua, selalu ada kebaruan. Ketiga, produk tafsir tersebut bisa saling sapa dengan keilmuan lain, terutama penemuan-penemuan saintis. Bukan ilmu “cocokologi” (uthak-athek gathuk) terhadap ayat Al-Qur’an. Lantas, penulis menambahkan rumusan baru yaitu mampu menjawab persoalan, tantangan, dan kondisi zaman yang dinamis.
Dari hal tersebut, yang perlu disajikan oleh mufassir yang pertama yakni; kemapanan metodologi. Diakui, sebuah produk tafsir tentu mempunyai metodologi atau metode penafsiran yang baku, sebagai pisau untuk membedah makna atau kandungan kitab suci Al-Qur’an.
Dengan metode yang mapan, maka dapat menghindarkan seorang mufassir melakukan penafsiran yang parsial (atomistik), tidak utuh, hanya sepotong-potong dalam memaknai Al-Qur’an. Dengan metodologi yang mapan pula, bisa memperoleh clue besar—menangkap pandangan atau maksud dari Tuhan—seperti apa yang ingin disampaikan melalui firmannya itu.
Seperti contoh, ketika seorang fotografer sedang memotret sebuah pemandangan yang indah, akan tetapi tidak di dukung dengan kualitas kamera dengan pixcel yang tajam, maka hasilnya pun tidak akan sempurna. Begitu juga dengan Al-Qur’an. Pertanyaannya, seperti apa metodologi itu? pada hemat penulis, penggabungan antara metode tahlili (analitik)-maudhu’i (tematik), adalah sebuah jawaban dalam menjawab tantangan dan mengurai fenomena masa depan.
***
Kedua, selalu ada kebaruan. Kebaruan di sini yang dimaksud adalah tidak menafikan temuan-temuan ilmiah yang baru. Mengingat yang namanya ilmu pasti berkembang. Apalagi Al-Qur’an yang notabene-nya diturunkan digurun pasir yang gersang, di mana unsur budaya di sana sangat kental. Tentu berbeda ketika ayat Al-Qur’an dipahami dalam konteks budaya Non-Arab. Dengan mengikuti perkembangan dan penafsiran baru (re-interpetasi) terhadap produk-produk tafsir yang sudah ada, maka, di dalam tafsir masa depan tetap bisa menyandang Al-Qur’an sebagai shalilh likulli zaman wa makan.
Ketiga, saling sapa dengan keilmuan lain. Problematika abad 21 ini lebih kompleks dibanding dengan permasalahan masa lalu atau era klasik. Dalam arti, semakin berkembang tumbuhnya teknologi dan kemajuan zaman, acap kali ditemukan masalah-masalah baru. Satu contoh seperti kasus human trafficking, korupsi, euthanasia, global warming, investasi online, illegal loging dan lain-lain. Dengan demikian, mau tidak mau Al-Qur’an menjadi rujukan dari masalah kontemporer tersebut.
Penulis menambahkan rumusan yang melengkapi rumusan Muhammad Autad yaitu; mampu menjawab persoalan, tantangan, dan kondisi zaman yang dinamis. Sebagaimana yang saat ini seluruh dunia hadapi yaitu pusaran pandemi Covid-19 yang menelan jutaan jiwa, Indonesia pun tak luput dari cobaan pandemi Covid-19 ini. Perubahan di semua lini terjadi dan permasalahan semakin kompleks sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Pola hidup pun beralih ke arah kehidupan digital.
Menariknya, tafsir digital pun hadir. Akankah tafsir digital mampu menjadi tafsir masa kini, masa depan, dan solusi bagi jiwa jiwa yang gersang di tengah pusaran pandemi Covid-19. Apapun tantangan zaman, Penulis percaya bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk manusia hingga zaman mizani kelak.
Harapan besar, meski di tengah pusaran pandemi Covid-19, tafsir masa depan yang tengah digagas mudah-mudahan mampu memberikan kontribusi positif di tengah masyarakat. Semangat kemukjizatan Al-Qur’an akan selalu hidup walaupun zaman selalu dinamis. Walaupun di tengah pusaran pandemi Covid-19, walaupun sang penerimanya sudah wafat 14 abad yang lalu.
***
Pada akhirnya, blue print dari tafsir masa depan sebenarnya adalah mampu membebaskan manusia dari kebodohan. Semangat itulah yang membuat penulis terus ber-ikhtiar mengalir dalam sunnatullah, belajar kajian kitab tafsir di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulis bercita-cita memberikan kontribusi besar kepada negeri, dan kelak di masa depan menjadi Guru besar Al-Qur’an perempuan Indonesia untuk dunia, menjadi orang yang berguna, melanjutkan perjuangan para guru. Semoga niat baik ini menjadi pintu pahala, pemberat timbangan kebaikan bagi penulis di hari kiamat, dan sebagai penggugur dosa baginya. Aamiin aamiin yaa robbal ‘aalamiin.
Editor: Yahya FR