Dalam riwayat turunnya agama Islam, sekian literatur menandai Surah Al-‘Alaq ayat 1-5 menjadi wahyu pertama yang diturunkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Surah tersebut belakangan tidak hanya dinilai sebagai wahyu pertama, tetapi juga dikembang-luaskan menjadi berbagai produk dalam lintasan sejarah umat muslim selama berabad-abad.
Produk yang dimaksud mengejawantah menjadi bahan ceramah, indikator penilaian emosional, kritik politik, landasan munculnya teori, termasuk yang paling lazim sebagai legitimasi untuk terus mengail ilmu pengetahuan.
Penanda Figur Suhrawardi al-Maqtul
Terkait titik tekan yang terakhir, kita mesti mengakui ada banyak ulama dan pemikir muslim yang mencoba membuat kategorisasi seputar ilmu pengetahuan. Salah satu di antara banyak yang membuat kategorisasi tersebut, kita kenal sebagai Suhrawardi.
Annemarie Schimmel dalam karyanya Mystical Dimension of Islam (1975), membedakan Suhrawardi yang menggagas Filsafat Isyraqi atau Iluminasi ini dengan pemilik nama Suhrawardi lainnya.
Karena di masa sebelumnya, ada nama Abd Qadir Abu Najib Suhrawardi yang dikenal sebagai pendiri Tarekat Suhrawardiyah. Ia murid dari Ahmad al-Ghazali, adik kandung Imam al-Ghazali. Ia tercatat wafat pada 1168 M sebagai seorang sufi yang memiliki laku arif.
Setelah itu ada nama Syihab al-Din Abu Hafs Umar Suhrawardi yang hidup di rentang waktu antara 1145 M-1234 M. Syihab al-Din Suhrawardi ini merupakan keponakan sekaligus murid dari Abd Qadir Suhrawardi.
Nama Syhiab al-Din Suhrawardi lebih mashur dibandingkan nama pamannya. Terbukti dengan gelarnya ‘Syaikh al-Syuyukh’, kemudian menjadi sufi resmi di Baghdad saat Khalifah al-Nasir, dan pengarang Kitab Awarif al-Ma’arif. Salah satu kitab sufistik yang terkenal, terbaca, dan teramalkan.
Sedangkan dalam konteks ini, Suhrawardi yang dimaksud bergelar al-Maqtul atau ‘yang terbunuh’. Gelar itu disematkan setelah dirinya wafat dihukum mati oleh Malik al-Zahir, penguasa Aleppo atas perintah Salahuddin al-Ayyubi. Hukuman ini ditengarahi oleh banyaknya pihak yang merasa tidak menyukai kedekatan antara Suhrawardi dengan Malik al-Zahir di istana.
Tingkatan Pencari Ilmu
Pemilik nama lengkap Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’ Suhrawardi al-Maqtul ini, memiliki kategorisasi yang unik bagi para pencari ilmu pengetahuan.
Ia membuat kategorisasi berdasarkan metode yang digunakan untuk menemukan valid dan tidaknya sebuah ilmu pengetahuan.
Khudori Soleh dalam artikelnya Filsafat Isyraqi Suhrawardi (2011) membabarkan tingkatan para pencari ilmu disertai dengan figur yang menurut Suhrawardi, figur tersebut masuk kategori tingkatan pencari ilmu di level tersebut.
Pertama-tama ada tingkatan para pencari ilmu yang memerlukan sisi makrifat. Di titik ini, pencari ilmu itu sadar atau tidak tengah bergelut dengan keilmuan yang dibahas-telaah dari perspektif filsafatnya. Tiga terma penting filsafat; ontologi, epistemologi, dan aksiologi mulai dijajaki pelan-pelan.
Tingkatan selanjutnya, ada pencari ilmu melalui lajur formal. Mereka yang masuk kategori ini, sebenarnya telah mampu membuktikan validitas keilmuan. Hanya saja, tingkatan pencari ilmu ini masih merasa ilmu yang diperolehnya belum paripurna. Suhrawardi al-Maqtul memasukkan nama Al-Farabi dan Ibn Sina dalam tingkatan ini.
Tingkatan ketiga ada pencari ilmu yang tidak puas dengan kepemilikan pengetahuan makrifat yang paripurna. Maka dari itu, mereka menyempurnakannya dengan laku tirakat berupa pembersihan batin.
Nama-nama yang kerap kita duga sebagai pionir keilmuan sufi-tasawuf, oleh Suhrawardi al-Maqtul dimasukkan ke kategori ini; al-Hallaj, Yazid al-Bustami, dan Tustari.
Tingkatan yang paling atas ialah para pencari ilmu yang telah khatam lantas mampu menyibak tabir tahapan iluminasi. Di titik ini, pengetahuan dan kualifikasi diri sebagai individu berjalan selaras melebihi para pemikir lainnya. Bagi Suhrawardi al-Maqtul, dirinya bersama para filsuf kenamaan seperti Plato dan Phytagoras berada pada tahap ini sebagai Ahli Hikmah Ketuhanan.
Kategorisasi semacam ini di satu sisi memang memudahkan pembaca untuk mengetahui tahapannya masih di mana, seberapa, dan mesti berbuat apa untuk naik ke tahap selanjutnya.
Tetapi di sisi lain, saya rasa secara tidak langsung kategorisasi ini juga memiliki celah. Hal ini ditengarahi karena bisa memunculkan kesadaran bahwa, manusia terbatas karena ada indikasi-indikasi yang ketat. Kategorisasi yang malah mereduksi sisi dinamis dan fleksibilitas manusia itu sendiri.
Editor: Yahya FR