Perspektif

Tirakat Kebangsaan di Tengah Kebisingan Ruang Publik

3 Mins read

Rupanya Depok masih menyisakan ruang yang nyaman untuk berjalan kaki. Setelah membiasakan diri jalan kaki di bilangan Malioboro, Yogya tahun lalu, kini saya mencoba membiasakan diri untuk jalan kaki di Kampus UIII, Depok. Meskipun bersebelahan dengan jalan raya Jakarta-Bogor, udara pagi di dalam kampus cukup segar.

Di tengah-tengah jalan kaki itu, saya biasa bertanya pada diri sendiri: sejauh mana saya akan melangkah. Sejauh mana saya akan berjalan. Sejauh mana saya mampu menepis keinginan untuk segera kembali ke kamar dan merebahkan diri. Dalam pada itu, yang bisa saya lakukan hanya memaksa diri sekeras mungkin. Sampai jarak-jarak terjauh mampu diraih. Terus menahan diri atas ego dan keinginan untuk segera menikmati kenyamanan dalam kamar, untuk mencapai tujuan yang lebih besar: hidup sehat.

Dalam pada itu, saya sesekali berpikir: jangan-jangan, yang kita butuhkan adalah menahan diri atas kenikmatan-kenikmatan sesaat. Khazanah agama menyebutnya dengan puasa. Puasa, bagi saya, adalah upaya menahan diri dari kenikmatan sesaat untuk kenikmatan yang lebih langgeng, kenikmatan lestari. Kenikmatan yang jauh lebih besar, bukan kenikmatan nisbi.

Bangsa ini perlu puasa. Puasa untuk menahan diri dari nafsu berebut kuasa. Menahan diri dari nafsu berebut tahta. Menahan diri dari nafsu berebut klaim kebenaran dan melempar kebencian. Menahan diri dari sifat mau menang sendiri. Menahan diri dari menutup kebenaran orang lain dan menuhankan diri sendiri.

Di tengah kemelut narasi kebencian di ruang publik, kita perlu menahan diri sejenak. Meletakkan ponsel pintar kita di meja, lalu keluar berjalan kaki menikmati alam sekitar. Kita perlu mempuasai ruang publik supaya tidak semakin runyam dan bising. Membiarkan alam menjalankan mekanismenya tanpa harus kita kotori dengan ujaran-ujaran penuh keangkuhan dan keakuan.

Baca Juga  Metodik Didaktik Rasululllah

Di saat setiap orang ingin bicara, memuji patron-patronnya sekaligus menghujat lawan, barangkali yang perlu kita lakukan adalah diam. Tanpa perlu melawan. Menarik diri dari kemelut yang sudah begitu sulit diurai. Seperti ketika terjadi tawuran yang begitu dahsyat, yang perlu kita lakukan bukan melerai. Melainkan menjauh untuk sekedar tidak terlibat. Lalu memasrahkan sisanya pada otoritas yang berwenang.

Dalam kemelut situasi politik ini, tak ada salahnya kita menarik diri. Menjauh dari arena pertempuran yang tak lagi kondusif. Di mana wasit ikut bermain, penonton turun ke lapangan, penyelenggara permainan melakukan kongkalikong. Menarik diri sejenak, menjernihkan pikiran, dan melihat kemelut dari kejauhan barangkali membantu kita untuk memahami situasi secara lebih arif dan bijak.

Selain daripada itu, kita juga perlu melihat ke dalam diri kita masing-masing. Ke dalam kedirian kita. Ke dalam nurani dan sanubari kita. Barangkali, di sanalah sejatinya muara segala kemelut itu berasal. Barangkali, di sanalah sejatinya kebisingan ruang publik kita berpulang. Orang tua kita dulu mengajarkan, sesiapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya. Mengenali kedirian adalah langkah awal mengenali dunia. Mengenali dunia adalah langkah untuk mengenali Tuhan serta kebesaran-Nya.

Maka, mari kita lihat ke dalam ego kita. Apakah yang selama ini kita perjuangkan? Apakah ontran-ontran politik ini adalah bagian dari memuaskan ego kita? Atau ia benar-benar merupakan perjuangan menegakkan kalimat Tuhan? Maka kita perlu puasa. Kita perlu melepaskan jubah-jubah kebesaran dan kemuliaan kita. Kita perlu meletakkan sejenak atribut-atribut nisbi kita. Dalam sebuah lagu yang legendaris, penyanyi kondang Ebiet G Ade meminta kita untuk telanjang dan benar-benar bersih.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih

Suci lahir dan di dalam batin

Tengoklah ke dalam sebelum bicara

Singkirkan debu yang masih melekat

Puasa akan membantu kita untuk membersihkan keakuan dan keangkuhan. Meninggalkan makan minum membuat kita mampu berpikir secara jernih. Meletakkan ponsel sejenak membantu kita melihat secara arif. Menarik diri dari perdebatan yang tak ada juntrung-nya itu membuat hidup kita lebih nyaman dan lega. Seperti perawan Maryam yang puasa bicara ketika ia menggendong bayi Isa di luar pernikahan. Kadang, yang kita butuhkan adalah diam.

Baca Juga  NU dan Muhammadiyah, Penjaga Gawang Perdamaian di Indonesia

Kita perlu puasa. Kita perlu puasa dari berebut jabatan. Kita perlu puasa dari berpura-pura berjuang untuk anak bangsa, padahal sejatinya berjuang untuk sanak famili dan kroni. Kita perlu puasa dari mengeduk segala sumber daya dan menyisakan kerusakan bagi anak cucu. Kita perlu puasa dari merasa paling bisa, paling mampu, dan paling berhak atas otoritas yang sejatinya dipunyai oleh rakyat itu. Kita perlu puasa dari kesombongan dan menganggap bahwa kekuasaan ini mutlak di tangan kita. Kita perlu puasa dari berbohong, berbohong ketika menyebut aktor-aktor jahat yang merusak sendi-sendi kebangsaan itu sebagai pahlawan, juru selamat, ratu adil, hingga sabdo palon, dengan menggadaikan segenap idealisme dan nurani kita. Kita perlu puasa untuk menemukan Tuhan yang sejati. Bukan Tuhan yang kita gadaikan untuk kepentingan ego kita.

Avatar
113 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds