Opini

Titik Temu antara Islam dan Modernitas

3 Mins read

Fenomena keberagamaan saat ini semakin beragam seiring dengan masyarakat yang kian cair dan dinamis. Perlu disadari bahwa di era modernitas, seperti sains, teknologi, dan digitalisasi, sering dianggap sebagai tantangan bagi agama. Terkadang, kita lupa bahwa hal-hal yang dianggap sebagai modernitas tersebut sebenarnya dapat menjadi ruang baru untuk menunjukkan ekspresi keagamaan masyarakat Islam.

Beberapa hal yang sebenarnya mampu menjadi ruang baru sering kali terlihat bertentangan. Padahal, keduanya saling membentuk, termasuk fenomena cyber religion, religion online, dan digital religion yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Tujuan tulisan ini adalah untuk menggali bagaimana perubahan ekspresi dalam praktik keagamaan serta dinamika yang terjadi pada praktik tersebut. Jika pada akhirnya terdapat titik temu, hal itu membuktikan bahwa modernitas memang merupakan bagian dari perjalanan Islam agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Dua Hal yang Seharusnya Dinamis

Sejak lahirnya agama di muka bumi, agama hadir untuk memberikan kebebasan kepada umatnya dalam mengekspresikan praktik keagamaan. Hal ini sejalan dengan pandangan Wilfred Cantwell Smith dalam bukunya The Meaning and End of Religion (1962) bahwa agama bukan sekadar institusi kaku, melainkan ekspresi iman yang hidup dan dinamis.

Dalam konteks ini, umat beragama sejatinya tidak kaku, melainkan dinamis, terutama dalam menghadapi perubahan zaman. Islam sejak awal tidak menolak ilmu pengetahuan. Namun, sikap kaku sebagian umat membuat mereka sulit menerima perubahan. Oleh karena itu, modernitas diperlukan.

Modernitas bukan sekadar gaya hidup atau bahkan sesuatu yang mengarah ke Barat, apalagi berarti lepas sepenuhnya dari tradisi. Sebaliknya, modernitas harus dijadikan sebagai pandangan hidup. Menurut Giddens (1990), modernitas sesungguhnya merupakan proyek yang berbasis pada rasionalisasi, keterbukaan terhadap refleksi, dan perubahan sosial yang cepat.

Baca Juga  Mendorong Kembali Keterwakilan Perempuan dalam Institusi-Institusi Publik

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Bagaimana agama, khususnya Islam, tetap otentik sembari berdialog dengan perubahan zaman?

Ragam Ekspresi Keagamaan Dunia Digital

Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami salah satu aspek modernitas itu sendiri. Teknologi menjadi awal mula bagaimana modernitas menjadi wadah dalam ekspresi keagamaan. Kita mulai dengan bagaimana percobaan awal dalam ranah spiritual di dunia maya, yang disebut cyber religion.

Istilah cyber religion muncul pada pertengahan hingga akhir tahun 1990-an, ketika masyarakat melihat proses membawa agama ke dunia baru bernama cyberspace, yaitu dunia maya yang diciptakan oleh teknologi realitas virtual. Kerangka awalnya bersifat metaforis, membayangkan agama terlepas dari batasan tradisional dan hadir melampaui layar komputer.

Namun, beberapa akademisi mulai merumuskan konsep cyber religion. Salah satunya, Morten Hojsgaard (2005), melihat cyber religion sebagai konsep teoretis yang mencerminkan ciri utama budaya siber pascamodern. Di satu sisi, cyber religion hadir sebagai bentuk penentangan terhadap institusi agama tradisional, tetapi di sisi lain tetap berhubungan dengan pertanyaan besar tentang makna dan keberadaan.

Konsep cyber religion memberikan cara baru untuk mengeksplorasi sekaligus mempertanyakan asumsi dan pemahaman tradisional tentang agama ketika bersentuhan dengan konteks budaya dan teknologi baru.

Kategori Ekspresi Keagamaan

Untuk memahami religion online, perlu penjabaran lebih rinci. Christopher Helland (2000) membagi fenomena ini menjadi dua kategori: religion online dan online religion. Keduanya menunjukkan apakah informasi dan ritual keagamaan bersumber dari praktik luring (offline) atau justru lahir dari praktik agama yang dilakukan secara daring (online).

Religion online dipuji karena memberi kekuatan bagi penganutnya untuk membentuk ulang ritual dan melampaui sistem legitimasi tradisional yang resmi. Selain itu, religion online juga memungkinkan untuk melampaui batas waktu, ruang, dan geografi.

Baca Juga  Jadi Suporter Timnas Memang Melelahkan, tapi Harus Jaga Akhlak Juga

Sementara itu, online religion menggambarkan bagaimana sifat internet yang cair dan fleksibel memungkinkan munculnya bentuk-bentuk baru keberagamaan dan praktik keagamaan sehari-hari di dunia maya. Hal ini menunjukkan bahwa internet dapat menjadi ruang sosial baru untuk membayangkan kehidupan spiritual dalam masyarakat kontemporer.

Terakhir, digital religion adalah istilah yang menggambarkan praktik keagamaan di dunia daring. Stewart Hoover (2012) menyatakan bahwa kajian agama dan media telah bergerak lebih jauh dari sekadar membahas digitalisasi agama. Menurut Hoover, media digital memaksa kelompok dan praktisi agama untuk beradaptasi dengan perubahan pemahaman tentang tradisi, otoritas, atau keotentikan. Bahkan, muncul pertanyaan: Apa sebenarnya kontribusi digital bagi agama itu sendiri?

Digital religion merupakan bentuk agama baru melalui media dan budaya digital. Hal ini dapat menghasilkan pemahaman baru tentang agama, yang mengakar pada pengalaman unik dalam memaknai agama melalui teknologi digital.

Reformulasi praktik keagamaan memiliki dampak baik secara daring maupun luring. Budaya digital turut memengaruhi pemahaman kita tentang praktik agama, yang dapat melahirkan pengalaman baru, otentisitas, serta refleksi spiritual yang lebih mendalam.

Titik Temu Islam dan Modernitas

Dengan adanya skema keberagamaan dalam ranah digital, terdapat tantangan dan peluang. Salah satu tantangan adalah risiko penyebaran hoaks, yang sering kali berasal dari sumber otoritas yang tidak valid dan cenderung memecah belah umat. Media digital juga memicu kecenderungan menjadikan agama sebagai komoditas, yang hanya dijadikan konten dan dikomersialkan demi keuntungan ekonomi.

Krisis otoritas ulama juga menjadi tantangan penting. Di dunia maya, siapa saja dapat berbicara tentang agama, bahkan tanpa kapasitas keilmuan yang memadai. Akibatnya, otoritas ulama tradisional sering terpinggirkan oleh figur populer, yang bergeser dari basis ilmu ke basis popularitas.

Baca Juga  Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

Namun, di tengah tantangan, terdapat pula peluang. Salah satunya adalah globalisasi Islam, yaitu ketika umat Islam dari berbagai negara dapat terhubung, berbagi pengalaman, serta membangun solidaritas lintas budaya. Wadah digital ini dapat menjadi sarana untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dalam skala global.

Setelah membahas bagaimana Islam dan modernitas berjalan, dapat dipahami bahwa Islam dan modernitas bukanlah dua hal yang saling menegasikan, melainkan saling mengisi dan membentuk. Modernitas, khususnya melalui teknologi digital, membuka peluang baru bagi ekspresi keagamaan melalui cyber religion, religion online, online religion, dan digital religion. Hal ini menunjukkan bahwa agama selalu bersifat dinamis, tidak kaku, dan mampu berdialog dengan perubahan zaman.

Meskipun terdapat krisis otoritas, komodifikasi, dan hoaks, peluang untuk memperluas pemahaman agama dan solidaritas global tetap terbuka. Dengan demikian, modernitas bukanlah ancaman, melainkan bagian dari perjalanan Islam untuk terus relevan, otentik, dan hadir dalam dinamika zaman yang senantiasa berubah.

Editor: Assalimi

Fakhri Ilham Syarifudin
6 posts

About author
Mahasiswa Magister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *