Falsafah

Titik Temu antara Stoikisme, Islam, dan Jawa

4 Mins read

Coba anda buka google dan searching kata kunci “stoik” kemudian lihat berapa banyak artikel, video, podcast, atau konten lainnya yang membahas kata tersebut. Hal ini membuktikan bahwa topik “stoik” menjadi trending dalam beberapa waktu belakangan. Seperti hal lain yang trending, beberapa konten cukup bagus dan cocok untuk dicerna, tetapi ada juga yang menyebalkan.

Pendekatan stoikisme itu sederhana; kendalikan bagaimana diri kita mendekati sesuatu dengan menjaga emosi tetap terkendali. Jika melakukannya dengan benar, kita akan dapat menavigasi situasi yang kompleks dengan cara yang logis, tenang, dan bahagia. Tapi sayangnya hidup juga tak lepas dari kemarahan, kebencian, dan kesedihan yang sering kali menerobos batas pengendalian diri.

Sebagai orang yang terlahir muslim dan sempat kuliah di kampus yang relatif Islami serta berada di tengah lingkungan wong jowo, membuat saya tertarik untuk coba menggali keterkaitan antara stoikisme, Islam, dan falsafah hidup orang Jawa. Mari kita ulas!

Filsafat Stoikisme

Stoikisme adalah aliran filsafat Yunani kuno yang dicetuskan oleh Zeno pada awal abad ke-3 SM. Beda halnya dengan aliran filsafat lain yang dipenuhi oleh ide yang kompleks nan rumit, stoikisme lebih menekankan pada usaha dan praktik dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan utama pengendalian diri.

Agar bisa mampu mengendalikan diri, kita perlu membedakan sesuatu menjadi apa yang tergantung pada diri sendiri dan apa yang tidak tergantung pada diri sendiri. Juga memahami bahwa sesuatu dikatakan baik atau buruk tergantung dari penafsiran jiwa. Dengan berpikir stoic, kita akan melihat sesuatu dengan kacamata yang lebih luas. Karena seorang stoa bisa mengubah penilaiannya terhadap sejumlah hal.

Tak dapat dimungkiri jika kita seringkali marah, kesal, dan khawatir terhadap hal-hal yang sepele. Misalnya, beberapa dari kita merasa kesal karena sering ditanya kapan nikah, kapan wisuda, dan kapan-kapan lainya yang sering terlontar tatkala lebaran tiba.

Baca Juga  Yang Mempengaruhi Marx (2): Feuerbach dan Alienasi Agama

Rasa kesal itu bisa diatasi atau setidaknya diminimalisir dengan berpikir ala kaum stoa yang sangat mengandalkan pikiran atau nalar untuk mengobati batin yang sakit.

Kaum stoa berkeyakinan bahwa pikiran positif akan menghasilkan kebahagiaan dalam ketenangan. Pikiran positif pada hakekatnya akan membebaskan seseorang dari emosi negatif yang lahir dari kesalahan bernalar. Sebab kita tidak bisa memilih situasi yang terjadi tetapi kita selalu bisa menentukan sikap atas situasi yang dialami. Ide utamanya adalah memahami apa yang ada dalam kendali dan apa yang tidak.

Ketenangan dalam Islam

Sejalan dengan stoikisme, dalam Islam ada yang dinamakan tawakal atau berserah diri pada Allah Swt. atas segala sesuatu yang menimpa diri. Tawakal bukan berarti pasrah terhadap apa yang terjadi dan hanya menerima takdir, akan tetapi sebelum harus didahului dengan usaha. Ketika kita diberikan sesuatu hasil dari usaha, maka kita harus mengucapkan syukur. Sebaliknya, jika tidak, maka haruslah bersabar. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 42 yang artinya “(yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakal.”

Serupa tapi tak sama, ada hal yang membedakan konsep ketenangan dalam Islam dan stoikisme. Jika stoikisme hanya menyandarkan pada kekuatan akal pikiran yang cenderung rentan terhadap subjektivitas dan logical fallacy (cacat logika), maka Islam menambahkan satu cara lagi sebagai pelengkap yakni dengan zikrullah atau mengingat Allah Swt.

Hal ini menjadi penting mengingat kemampuan otak manusia sangatlah terbatas, sehingga ia pun harus didukung dengan serangkaian proses spiritual untuk mendekatkan dirinya dengan sang khalik melalui zikir.

Dengan berdzikir yang benar, hati menjadi tenang, terhindar dari berbagai penyakit hati. Karena sejatinya tawakal dan zikir merupakan perbuatan yang dilakukan hati, bukan pula hanya sesuatu yang diucapkan lisan. Maka dapat dikatakan juga bahwa tawakal dan zikir adalah buah dari keimanan dan kepercayaan hamba terhadap Tuhannya.

Baca Juga  Ketika Ibnu Sina Berbicara tentang Jiwa

Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Ar-Ra’du yang berarti “orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” dalam firman lain Allah memerintahkan manusia untuk banyak mempelajari ilmu pengetahuan dengan berpikir dan mengingat-Nya (QS Al-‘Alaq ayat 1-5). Dengan demikian, tegaslah kiranya bahwa Al-Qur’an menempatkan olah pikir dan zikir sebagai dua dimensi integral yang tidak dapat dipisahkan untuk menggapai ketenangan jiwa.

Falsafah Hidup Jawa

Suwardi Endraswara menerangkan bahwa falsafah hidup orang Jawa adalah perbuatan mental yang menertibkan gejala-gejala dan pengalaman agar menjadi jelas. Sehingga olah pikir dan asah budi orang Jawa senantiasa mendambakan keselamatan dan kesejahteraan.

Masyarakat Jawa juga diajarkan kehidupan yang sederhana oleh para leluhur. Banyak petuah bijak Jawa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menjalani hidup, termasuk yang selaras dengan konsep stoikisme.

Misalnya, ada petuah nrimo ing pandum yang artinya menerima apa yang telah digariskan oleh Tuhan. Nrimo ing pandum erat hubungannya dengan pengelolaan emosi, keselarasan batin, serta pengendalian dan penerimaan diri. Filosofi tersebut sejalan dengan upaya mereduksi rasa kecewa apabila sesuatu yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan di kemudian hari.

Maka jelaslah falsafah Jawa juga memiliki konsep hidup stoik dengan caranya sendiri. Jadi jika dalam filsafat barat ada konsep stoik, dalam Islam ada yang namanya tawakal maka dalam falsafah hidup Jawa ada petuah nrimo ing pandum. Patut kita ketahui yang menjadi ciri khas dari falsafah hidup Jawa adalah penuh rasa sehingga perlu dipahami secara intuitif.

Bagaimana tidak, misalnya dalam pewayangan Jawa ada tokoh yang bernama Semar. Digambarkan oleh Sujiwo Tejo bahwa Semar akan tertawa sekaligus menangis secara bersamaan karena dalam jiwanya selalu bertanya, apakah kebahagiaan ini maya atau fana? Apakah kebahagiaan ini yang terakhir kali? Apakah ini akan terulang? Sikap seperti ini tidak bisa dilakukan jika tanpa olah rasa yang mendalam.

Baca Juga  Hassan Hanafi dan Problematika Turats Arab Islam (2)

Selain petuah nrimo ing pandum falsafah stoik ala Jawa juga dapat dilihat dalam tembang sugih tanpo bondo, memiliki arti kaya tanpa harta. Pada salah satu baitnya berbunyi “langgeng tanpo susah tanpo seneng” yang artinya tetap tenang dalam susah ataupun senang. Karena dengan ketenangan, kita bisa mengukur kemampuan kita dan juga lebih bersabar menghadapinya.

Dari ulasan di atas, bisa dilihat bahwa pendekatan ketenangan hidup stoikisme  mengandalkan akal pikiran, Islam menambahkan dalil untuk mendukung akal dan spiritual sedangkan falsafah Jawa lebih menekankan pada emosional.

So, jika kamu seorang muslim, tinggal di Jawa dan tahu terkait stoik, lantas kenapa masih belum mendapatkan ketenangan?

Editor: Yahya FR

Nizar Habibunnizar
2 posts

About author
Alumni Universitas Muhammaditah Yogyakarta Masih berproses di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds