Pemerintah kembali menunjukkan langkah progresif dalam memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memperkuat fondasi fiskal nasional. Uji coba awal sistem TradeAI yang dilakukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap 145 Pemberitahuan Impor Barang (PIB) menambah penerimaan negara sebesar Rp1,2 miliar. Angka ini memang belum besar dalam skala APBN, tetapi justru menjadi indikasi penting: teknologi memiliki potensi untuk menutup celah kebocoran penerimaan secara sistematis, akurat, dan berkelanjutan.
TradeAI dirancang untuk mendeteksi praktik under-invoicing, over-invoicing, hingga pola transaksi yang mengarah pada pencucian uang berbasis perdagangan fenomena. Pola yang selama ini sulit dijangkau oleh mekanisme pemeriksaan manual. Dengan kemampuan membaca jejak historis data dan belajar secara adaptif, teknologi ini menawarkan cara kerja yang jauh lebih presisi dibanding metode verifikasi konvensional.
Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut akurasi TradeAI berpotensi mendekati 100 persen tahun depan, sesungguhnya ia sedang menyampaikan arah baru birokrasi fiskal Indonesia: dari sistem berbasis intuisi menuju sistem berbasis data dan pembelajaran mesin.
Namun, keberhasilan TradeAI tidak sekadar soal penambahan Rp1,2 miliar dari satu putaran uji coba. Sistem ini membuka ruang untuk efisiensi pengawasan yang sebelumnya tak terbayangkan. Indonesia selama ini menghadapi tantangan serius dalam pengawasan nilai pabean, klasifikasi barang, hingga keabsahan dokumen impor.
Keterbatasan SDM, beban pekerjaan yang besar, dan kerumitan struktur perdagangan global membuat celah penyimpangan kerap dimanfaatkan sebagian importir nakal. Kehadiran teknologi berbasis AI dapat menjadi sensor otomatis yang memperingati petugas ketika terjadi kejanggalan, sehingga proses pengawasan lebih tajam, cepat, dan objektif.
Meski demikian, optimisme atas TradeAI harus dibarengi dengan kewaspadaan. Menteri Keuangan sendiri mengakui bahwa AI tidak akan bekerja sempurna; data bias, kesalahan pembacaan pola, atau ketergantungan pada basis data historis bisa memunculkan risiko salah deteksi.
Karena itu, integrasi TradeAI dengan sistem CEISA 4.0 harus dibangun dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan human-in-the-loop. Teknologi cerdas tetap membutuhkan pengawasan manusia agar tidak menciptakan kesalahan administratif yang justru merugikan pelaku usaha yang patuh.
Investasi Rp45 miliar yang direncanakan untuk pengembangan TradeAI patut dipandang bukan sebagai biaya, melainkan sebagai upaya meningkatkan return fiskal jangka panjang. Jika fase awal saja sudah menghasilkan tambahan penerimaan miliaran rupiah, penguatan sistem dapat memberikan dampak berkali lipat. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa automasi pengawasan perdagangan mampu menekan kerugian negara hingga triliunan rupiah per tahun.
Pada akhirnya, kehadiran TradeAI menandai pergeseran penting dalam manajemen fiskal Indonesia. Bukan hanya pemerintah yang akan diuntungkan, tetapi juga pelaku usaha dan masyarakat. Pengawasan yang lebih akurat menciptakan iklim perdagangan yang lebih adil, mengurangi ruang manipulasi, dan memperkuat kepercayaan pada tata kelola negara. Transformasi digital dalam fiskal bukanlah pilihan, melainkan keharusan. TradeAI adalah langkah awal, keberhasilan berikutnya akan ditentukan oleh bagaimana negara membangun ekosistem data, memperkuat kapasitas SDM, dan memastikan teknologi digunakan. Bukan sekadar untuk menghukum, tetapi untuk menciptakan efisiensi dan keadilan ekonomi yang lebih baik.
Editor : Ikrima

