Oleh : Akmal Ahsan Tahir*
Kedaulatan akal setelah lama terpenjara kini menjadi “tuhan” bagi dunia, diam-diam kedaulatan inilah yang dipakai sebagian pihak untuk membunuh pihak lainnya. Kini kepintaran material menjadi dewa baru, yang pandai akan berkuasa mengatur segalanya. Seyyed Hossein Nasr menggambarkan bahwa berbagai krisis yang melanda manusia modern seperti krisis ekologi, epistomologi bahkan krisis eksistensial berawal dari pemberontakan manusia modern terhadap Tuhan akibat paradigma yang dianut pada zaman pencerahan yaitu positivistik-antroposentris. Setelah lama dicengkeram dalam kemandegan, pada abad ke 18 dirayakan sebagai abad baru bagi ummat manusia yang salah satunya ditandai oleh ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi dan teknologisasi kehidupan, manusia dikokohkan sebagai pusat dari semesta.
Kemenangan Akal dan realitas, panca indera dan rasio akhirnya dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr menghantarkan manusia pada peradaban yang miskin. Peradaban modern telah membawa manusia pada problem : (1) Misosophia : kebencian, lawan dari philosophia. Manusia modern telah mampu mendapatkan kebenaran namun nihil kebijaksanaan. Dengan alat utamanya berupa logika, manusia modern perlahan meninggalkan metafisika. (2) Desakralisasi pengetahuan : ciri pengetahuan modern yang positivistik membawa manusia pada ketidakmampuan merelevansikan pengetahuan dengan spirit-trasendental. Pengetahuan menjadi liar dan tak terkendali, ia hanya dipakai sebagai alat untuk menguasai dunia. (3) Degradasi peran intelejensi : narasi yang dibangun peradaban modern adalah bahwa manusia berbeda dengan makhluk lain karena ia memiliki akal. Nasser mengatakan bahwa pandangan demikian telah membunuh diri manusia, pandangan itu pula yang akhirnya menegasikan peran nurani, imajinasi, intuisi. Manusia hanya mengenal rasio dan empiris. (4) Degradasi metafisika sebagai cabang filsafat : metafisika adalah falsafah yang pertama terdegradasi di zaman modern.
Sementara itu, dunia modern dibantu oleh fondasi sains yang dibangun oleh para ilmuan transisi nalar filsafat dari abad pertengahan menuju modernisme telah mendegradasi banyak pengetahuan. Kritik sains modernisme sebab, : (1) Pandangan sekuler tentang alam semesta yang melihat tidak ada jejak Tuhan dalam keteraturan alam. (2) Alam digambarkan secara mekanisitik seperti mesin yang bisa ditentukan dan diprediksi secara mutlak, yang memunculkan masyarakat industri modern dan kapitalisme. (3) Rasionalisme dan empirisme. (4) Warisan Descartes yang mengandaikan pemisahan antara subjek yang mengetahui dan yang diketahui. (5) Eksploitasi alam sebagai sumber kekuatan dan dominasi.
Post-Modernisme mengkritik Nalar perkembangan nalar filsafat dari abad pertengahan ke abad modern, yakni (1) Transisi dari supernaturalisme ke deisme/sekularisme lalu ateisme. (2) Transisi dari supernaturalisme-dualistik ke materialisme, melahirkan : determinisme , saintisme dan positivisme. Nalar kefilsafatan modernisme kemudian berkembang dengan individualisme/atomisme, dualisme (misal : ilmiah-tidak ilmiah), futurisme (suka menggeneralisir, memutlakkan) dengan pola nalar :(1) lebih suka kontrak/perjanjian daripada kebiasaan/kepercayaan. (2) lebi suka fakta daripada nilai (3) lebih suka objektifitas danipada subjektifitas.
Kritik terhadap peradaban modern tidak hanya berasal dari Seyyed Hossein Nasr saja tetapi juga berasal dari pikiran-pikiran manusia yang merasa kedaulatan modernitas dalam peradaban dunia ternyatalah tak mampu membawa manusia pada hakikat keberadaannya. Beberapa nama yang tentu tak bisa kita lupakan adalah Adorno dan Horkheimer, Derrida, Foucault, Giddens, Habermas dan Rorty pada sekitar abad 20.
Revolusi Industri 4.0 dan Problem Manusia
Pada kenyataaanya, revolusi industri 4.0 telah mengubah hidup dan cara kerja manusia secara fundamental. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital dan biologis telah mempengaruhi disiplin ilmu, ekonomi, industri dan pemerintahan. Bidang-bidang yang mengalami terobosoan berkat kemajuan teknologi baru diantaranya (1) robot kecerdasan buatan (artificial intelligence robotic), (2) teknologi nano, (3) bioteknologi, dan (4) teknologi komputer kuantum, (5) blockchain (seperti bitcoin), (6) teknologi berbasis internet, dan (7) printer 3D.
Kemajuan demikian telah mendegradasi cara kerja manusia secara fundamental, hadirnya media maya tidak hanya dalam upaya untuk bertukar informasi, namun juga kerap berperan sebagai “alat” yang membentuk realitas. Dengan hadirnya teknologi dan informasi yang “tumpah” di media sosial membawa manusia pada era disrupsi yang bahkan manusia berada dalam situasi yang ambigu, tak paham kebenaran yang sesungguhnya.
Perkembangan sains dan akal pikiran manusia ternyata telah mampu menciptakan kecerdasan buatan (Artificial Intelegence), di masa yang akan datang teknologi AI adalah kawan kerabat manusia dalam menjalani aktivitas keseharian. Akan tetapi, kehadiran teknologi ini nyatanya tidak hanya sebagai anugerah peradaban manusia, tetapi juga berpotensi menghancurkan peradaban manusia. Fisikawan Stephen Hawking di konferensi teknologi di Lisbon, Portugal pernah berpesan :
“Kesuksesan dalam menciptakan AI yang efektif, bisa menjadi peristiwa terbesar dalam sejarah peradaban kita atau yang terburuk. Kita tidak tahu. Jadi, kita tidak dapat mengetahui apakah kita akan dibantu oleh AI secara tak terbatas, atau diabaikan, disisihkan, dan bahkan dihancurkan olehnya,”
Dalam posisi demikian, manusia dituntut oleh ciptaannya sendiri untuk sesegera mungkin meningkatkan kapasitas dirinya jauh diatas kemampuan robot ciptaannya dan mencari cara yang bijaksana dalam penggunaan kecerdasan buatan, jika tidak, manusia akan mengalami nasib buruk dibawah robot cerdas ciptaannya sendiri.
Revolusi dibidang IPTEK juga menunjukkan percepatan perubahan yang tidak terbendung. Salah satu dampak dari revolusi fisika ialah berkembangnya teknologi nano, yakni suatu teknologi yang mampu memperkecil atom menjadi 1/50.000 dari yang asli, sehingga dengan demikian benda apapun bisa dibuat semakin kecil. Dampak dalam teknologi ini misalnya ialah dibuatnya teknologi yang lebih kecil seperti telepon seluler, komputer pesawat TV, radio dan alat alat kedokteran. Di masa lampau kita tahu bahwa hadinya Short Massage Service (SMS) telah mampu menggeser peran pengiriman pos kartu ucapan selamat natal atau lebaran. Dampak lain bahwa teknologi ini semakin memudahkan manusia untuk mengakses kejahatan, hasutan pada alat yang keci. Anak anak akan lebih mudah mengakses video porno atau kekeresan, sementara massa yang buta politik kemudian membuka situs situs yang tidak kredibel akan mudah dihasut melalui narasi yang dibangun oleh akun media. Bilamana manusia tak mampu menyesuaikan diri dengan ciptaannya sendiri, perlahan lahan ia akan kehilangan hakikat kemanusiaannya. Spiritualitas, moral dan etika akan membantu manusia menjadi bijaksana dalam menghadapi “serangan” ciptaannya sendiri.
Temuan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya juga menyentuh diskursus biologi manusia, berkembangnya bioteknologi menuai diskurus baru dalam peradaban yang dirorong oleh kemajuan rasionalitas manusia. Sebagai contoh, datangnya bioteknologi inseminasi buatan (bayi tabung) tidak hanya mengundang decak kagum, namun juga menimbulkan dampak personal manusia, teknik inseminasi buatan ini telah diaplikasikan secara luas di Eropa, Jepang, Amerika dan Australia.
Diskurus belum selesai, gelombang “teknologisasi” dunia manusia melahirkan rekayasa genetika, yakni upaya melakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA, atau bisa juga dikatakan sebagai upaya menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Contohnya ialah dengan lahirnya teknologi cloning, sebagian penganut agama menentang perkembangan teknologi ini sebab disangka akan menegasikan peran Tuhan sebagai pencipta manusia. Lahirnya cloning ditolak banyak pihak sebab disangka menimbulkan kerugian besar bagi manusia, baik segi materil maupun psikososial.
Demikianlah arus ilmu pengetahuan berjalan dengan sokongan rasionalitas-empirik, sebagian orang bisa menggerutu dengan keadaan keadaan dewasa ini, namun demikianlah realitas yang terjadi. Dengan derasnya modernisme dan globalisasi serta narasi revolusi industri 4.0 manusia tidak hanya dituntut untuk menemukan kebenaran, namun juga mencari “alat” untuk menggapai kebijaksanaan.
*) Kepala Madrasah Digital Yogyakarta