Suma Din yang Lihai Merangkai Kata
Buku ini tidak ditujukan bagi sebuah debat kusir yang melelahkan tanpa arah. Bukan pula untuk literatur yang dikutip dalam karya-karya ilmiah yang dipenuhi istilah-istilah.
Buku ini dibuat melainkan untuk menjadi nasehat bagi kita yang sering khilaf karena memahami Islam sebagai sekedar ritualitas. Padahal Islam adalah kebijaksanaan hidup yang hanya nyata dalam aktualitas.
Penulisnya, Suma Din, merangkai kata dengan diksi-diksi yang meski tampak sangat sederhana, namun sejatinya begitu dalam. Tulisannya tidak hanya sarat nilai agama, namun juga keadilan sosial dan keberpihakan kepada perempuan.
Hal ini wajar bila mengingat bahwa sehari-hari dia adalah guru, penulis, dengan latar belakang pendidikan kampus tersohor di London, Inggris. Iya, Suma mengantongi Bachelor dan Master dari University of College London.
Namun lagi-lagi, meskipun gelar akademik yang mentereng, Suma menulis dengan ‘hati’, bukan dengan ‘otak’nya. Maka, membaca tiap halaman seperti sedang menyirami jiwa yang dahaga. Akar jiwa yang telah lama menghunus tanah mencari air resapan, akhirnya menemukannya. Sementara rasio kita, bisa beristirahat sejenak setelah tegang untuk beberapa lama oleh karena berjibaku dengan kerumitan persoalan kehidupan.
Setiap pesan-pesan di buku ini dapat dilahap tanpa ‘segera merasa kenyang’. Saya pribadi menikmati membaca buku ini seperti sedang berdiskusi dengan ibu saya: seseorang yang paling berharga dan penuh pengertian.
Malam Ramadhan menjadi lebih sempurna dengan meneguk pelajaran-pelajaran untuk rohani yang disajikan dalam dua ratus lebih halaman berwarna.
Ilustrasi ombak biru yang mengiringi nampak memberi pesan mempertegas tujuan dari buku ini. Bahwa buku ini seperti air bah yang seketika membanjiri jiwa.
Dataran yang sebelumnya retak dan tandus, menjadi subur nan hijau. Sangat disayangkan bila hanya membaca buku ini satu kali saja. Toh lagi-lagi, kita tidak sedang membacanya, namun sedang berbicara bersama penulis dalam kesetaraan.
***
Bagaimana tidak? Suma seolah sedang berada di hadapan kita. Duduk satu meja, sembari menatap teduh dan merapalkan kebijaksanaan dalam kata-kata. Kita dapat bertanya, dan sebelum kita sadari Suma telah menjawabnya. Buku ini sama sekali tidak menggurui, justru sebaliknya buku ini seperti menjadi rekan kita untuk berpikir dan merenungi kehidupan kita yang kadang begitu cepat dan kering.
Dua puluh empat jam tujuh hari seperti terlewat begitu saja. Bukankah Anda juga merasakan, bahwa Senin ini dan berikutnya seperti hari ini dan esok saja? Di sinilah Suma membantu kita menyadari bahwa hidup kita sejatinya bukan bekerja selayaknya mesin-mesin. Ada jiwa yang, kata Suma, merupakan bagian paling halus, abstrak namun juga harus kita rawat.
Suma juga tidak sekedar membantu kita memuaskan dahaga jiwa, namun sekaligus ia memberi kita obor yang terang. Dengan obor itu terlihat segalanya yang jauh, dari yang sebelumnya gelap dan seolah tidak ada apa-apa.
Kita dapat menemukan sumber, kompas, dan tujuan akhir kehidupan. Kita dapat menemukan siapa kita sebenarnya. Bahwa kita bukanlah hanya seonggok daging yang terlempar ke dunia dalam keterasingan.
Sebaliknya, hidup kita ini penuh makna. Asalkan kita mengizinkan diri untuk mendengarkan firman-firman Tuhan. Siapa yang lebih tahu tentang diri kita bila bukan sang pencipta? Untuk itulah tidak jarang Suma menghadirkan ayat-ayat dan hadis yang berkaitan. Walhasil, kita seperti tidak hanya berdialog dengan Suma, namun sekaligus Tuhan dan Muhammad.
Pada akhirnya buku ini sangat direkomendasikan bagi Muslim dari latar belakang apapun. Alasannya karena buku ini sukses menyajikan nilai-nilai moral-spiritual yang universal dalam Islam yang seringkali terlupakan.
Misalnya, buku ini menunjukkan bahwa menjadi perempuan berarti menanggung misi mulia. Baik sebelum, setelah pernikahan, dan kala menjadi ibu bagi generasi pemimpin umat masa depan.
Turning the Tide adalah Ihya’ Ulumuddin Zaman Now
Di sinilah saya jadi yakin bahwa Suma adalah prototype aktivis perempuan Muslim yang kritis yang harus jadi teladan, dalam pengertian bahwa ia bekerja agar wanita dapat merekonsiliasi konflik identitas gender pribadi dengan pemahaman yang tepat dan utuh atas fitrahnya. Suma bukan feminis pasaran yang menuntut persamaan namun melupakan kodrat yang dianugerahkan Tuhan.
Saya barangkali akan dikatakan berlebihan bila mengatakan buku ini seperti sebuah kontekstualisasi kontemporer dari karya masterpiece ulama besar Imam Ghazali, khususnya bab jiwa. Namun demikianlah apa yang hati saya rasakan. Barangkali Suma adalah Ghazali yang kita butuhkan di zaman ini.
Nah, sebagaimana Ihya Ulumuddin, karya Ghazali yang saya maksud itu, adalah buku yang sepanjang zaman membekas dalam benak muslim karena pengaruhnya, buku Turning The Tide seperti membungkus potensi pengaruh yang setara dalam kapasitasnya.
Maka, dalam pendapat saya pribadi, merupakan suatu kerugian yang teramat besar bila seseorang belum sempat melalui halaman-halaman dalam karya Suma ini.
Judul: Turning the tide
Penulis: Suma Din
Penerbit: Feth Publishing
Halaman: 245 halaman
Tahun: 2021
Editor: Yahya FR