“Muhammadiyah saat ini krisis Ulama” begitulah singkatnya sebuah obrolan yang muncul di sosial media. Jika yang dimaksud Ulama adalah orang yang ahli dalam bidangnya, maka sudah tentu Muhammadiyah tidak kekurangan seorang Profesor, Guru Besar dll, stok Muhammadiyah melimpah ruah!
Namun ulama yang dimaksud dalam hal ini nampaknya seorang ahli agama yang menguasai ilmu turats Islam dan mampu menjelaskan permasalahan menggunakan perspektif agama.
Hal itu membuat penulis berfikir kembali, karena saat ini sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas tertua yang menekankan penguasaan ilmu turats, yaitu al-Azhar. Al-Azhar yang terkenal banyak melahirkan ulama berpengaruh dunia memiliki sebuah bangunan keilmuan yang tetap terjaga dan terawat sejak lama. Al-Azhar adalah salah satu lembaga yang menginspirasi Muhammadiyah di kemudian hari.
Ulama Modernis Jebolan al-Azhar
Awal abad ke 20 dari rahim al-Azhar lahir seorang ulama yang mempengaruhi wajah Islam di berbagai belahan dunia dengan ide Modernisme Islam yaitu Muhammad Abduh.
Sebagai penggagas ide Modernisme Islam, Muhammad Abduh lahir dari tradisi pembelajaran ilmu turats yang kuat, hingga Muhammad Abduh menjadi seorang mufti negara Mesir. Selain Muhammad Abduh, ada juga pemikir modernis-reformis lain alumni al-Azhar seperti Hasan al-Attar, Rifaa Thahthawi, Iyyad Thanthawi dan masih banyak yang lain.
Di Indonesia ada seorang yang akan banyak terpengaruh pandangannya oleh Muhammad Abduh dan pemikir modernis yang lain, dia adalah Muhammad Darwisy yang kelak akan berubah nama menjadi Ahmad Dahlan.
Tinggal di Jogjakarta sebagai pusat kebudayaan jawa yang kuat dengan keberadaan Kraton, tak membuat Ahmad Dahlan surut dalam kesehariannya sebagai seorang jawa yang pada saat itu masih terjajah dan tertinggal.
Ahmad Dahlan saat berusia 15 tahun pergi ke Mekah dan menetap disana selama lima tahun. Pada fase ini Ahmad Dahlan berkenalan dengan pemikiran modernisme Islam melalui majalah yang diterbitkan oleh Rasyid Ridha (murid Muhammad Abduh) yaitu al-Manar.
Ahmad Dahlan lalu mendirikan sebuah organisasi bernama Muhammadiyah, dengan tujuan dakwah amar makruf (Pemberdayaan) nahi mungkar (Liberasi) untuk terus mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan umat Islam di Indonesia. Hingga kini Muhammadiyah tetap eksis dan berada dalam garda terdepan dalam amal usaha Sosial, Kesehatan serta Pendidikan.
Al-Azhar, Muhammadiyah, & Tajdid
Al-Azhar hingga saat ini tetap menjaga manhaj yang telah diajarkan oleh ulama-ulama Islam terdahulu. Al-Azhar juga mengakomodir mazhab fikih yang mu’tabar dalam Islam yaitu empat mazhab.
Murid-murid di al-Azhar di beri ruang untuk memilih dan mempelajari ke empat mazhab fikih tersebut. Selain mempelajari fikih yang kita pilih, di al-Azhar kita juga diajarkan untuk mengetahui mazhab-mazhab lain.
Al-Azhar juga memperhatikan realitas yang dihadapi oleh umat. Perubahan zaman yang sangat cepat menimbulkan permasalahan baru, hingga al-Azhar juga ikut bagian membincangkan solusi akan hal itu. Wacana Tajdid al-Azhar adalah upaya untuk menyegarkan pemahaman Islam. Namun hal itu tetap harus mempertahankan sebuah manhaj yang ditinggalkan oleh Ulama terdahulu.
Al-Azhar belum lama ini telah mengeluarkan fatwa baru terkait perempuan, salah satunya adalah permasalahan “Khitan Perempuan”. Al-Azhar tegas mengatakan bahwa khitan perempuan merupakan praktek yang tidak ada dasarnya dalam syariat dan hal itu merupakan adat istiadat orang terdahulu terhadap bayi perempuan, sedangkan dalam mazhab Imam Syafi’i hal itu diyakini masuk bagian dari perintah agama.
Meski fatwa itu seolah menabrak apa yang diyakini oleh ulama mazhab fikih, namun secara manhaj, al-Azhar tetap mempertahankan apa yang dilakukan oleh mazhab fikih terdahulu. Yaitu manhaj yang berusaha menghargai al-urf dan perkembangan ilmu kedokteran masa kini tentang bahayanya khitan perempuan.
Selaras dengan al-Azhar, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih juga memfatwakan bahwa khitan perempuan tidak masuk dalam bagian syariat Islam dan tidak boleh dilakukan. Muhammadiyah yang dikenal menggunakan pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani dalam memahami Islam, rupanya juga menghasilkan sebuah ijtihad hukum yang sama dengan al-Azhar.
***
Muhammadiyah saat ini telah memasuki abad ke-dua, usia yang tidak muda lagi bagi berdirinya sebuah organisasi, nilai dan ikhtiar yang dilakukan Muhammadiyah hingga saat ini masih tidak terlepas dari ide Ahmad Dahlan yang banyak terpengaruh oleh Muhammad Abduh.
Seperti upaya di pendidikan yang dikelola di Amal Usaha Muhammadiyah selalu terdepan untuk menggabungkan nilai-nilai kemodernan dan juga nilai ajaran Islam. Serta produk fatwa Muhammadiyah yang nampak segar dalam menjawab realitas kehidupan masyarakat indonesia, seperti fikih ekologi, fikih air, fikih kebencanaan dll.
Semangat itu tentu tidak lahir dari sebuah ideologi yang mentah, karena dengan melimpahnya amal usaha dan sumber daya yang ada, tentu Muhammadiyah memiliki Ideologi yang menjadi lelaku seluruh kadernya. Hal itu bisa kita lihat Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa “Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah”.
Muhammadiyah memahami agama Islam dengan semangat purifikasi sehingga menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber nash yang rujukan utama dan seolah meninggalkan turats Islam.
Serta makna tajdid diperluas sebagai semangat pembaharuan organisasi, hingga hal itu menjadikan Muhammadiyah terus berkembang dalam pengelolaan amal usaha nya.
Sedangkan al-Azhar menggunakan turats Islam sebagai pertimbangan dalam menentukan ijtihad hukum di masa kekinian dan tetap menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber rujukan utama, dan tidak memiliki semangat tajdid yang sama dengan Muhammadiyah di bidang sosial.
Era Baru Ulama Pembaharu Muhammadiyah
Keterpengaruhan Ahmad Dahlan oleh pemikir lulusan al-Azhar seperti Muhammad Abduh adalah perjalanan intelektual seorang muslim indonesia yang mengesankan.
Hingga saat ini sudah satu abad lebih berjalan hubungan antara al-Azhar dan kader Muhammadiyah. Selain Ahmad Dahlan ada juga tokoh-tokoh lain yang menjadikan Mesir sebagai tempat belajar baik agama maupun ilmu lain. Tokoh tersebut adalah HM Rasyidi, Kahar Muzakkir, Mas Mansur, Siti Baroroh Baried, Zakia Darajad dan yang terakhir adalah Ahmad Azhar Baasyir sebagai mantan Ketua PP Muhammadiyah.
Tercatat saat ini Muhammadiyah memiliki dua pondok pesantren yang telah disetarakan ijazahnya dengan SMA al-Azhar; Muallimin Muhammadiyah Jogjakarta dan Muhammadiyah Boarding School Sleman.
Diaspora kader Muhammadiyah di Mesir yang saat ini jumlahnya mencapai ratusan orang, angka yang sangat besar. Itu semua berkat keberadaan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Mesir yang memiliki fungsi sebagai mediator Muhammadiyah-Azhar serta lumbung kader ulama Muhammadiyah yang ada di Mesir.
Fakta ini menjadi sebuah kegembiraan, mengingat adanya ketersambungan sejarah di masa lalu antara Ahmad Dahlan dan Muhammad Abduh serta diaspora kader lain.
Keberadaan diaspora kader saat ini, tentunya merupakan gelombang besar yang dimiliki oleh Muhammadiyah untuk nantinya mengisi dan mewarnai wajah keIslaman yang ada di Muhammadiyah.
***
Pembelajaran ala manhaj al-Azhar yang tetap menghargai turats lalu disandingkan dengan semangat ideologi yang telah dihayati sebelum keberangkatan kader ke Mesir, akan menjadi sebuah warna baru bagi ulama mujaddid Muhammadiyah di masa depan. Ulama Muhammadiyah yang memiliki karakter modern dan tetap berangkat dari penguasaan ilmu turats.
Pertemuan antara kedua horizon ini akan menciptakan sebuah era baru bagi masa depan Muhammadiyah. Ulama yang lihai dalam keilmuan turats dan ikut serta memproyeksikan sebuah pemahaman Islam di masa depan adalah hal yang ideal bagi seorang mujaddid Muhammadiyah masa kini.
Pembaharuan yang tidak “melompat” dari tangga sejarah keilmuan Islam yang telah ada merupakan hal yang harus diperhatikan oleh seluruh kader Muhammadiyah. Karena dengan kewaspadaan itu, wacana Tajdid Muhammadiyah akan terasa dekat dengan konteks kehidupan keIslaman dan kebangsaan kita.
Editor: Yahya FR