Seorang ulil albab dituntut untuk memahami makna terdalam dari konsep infaq dalam kehidupan ini. Definisi infaq yang paling sederhana adalah sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamua agar kamu memikirkan (QS 2 Al Baqarah: 219).
Ayat di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa kelebihan harta, makanan, atau apapun dari milik seseorang adalah apa yang dapat diinfakkan kepada orang miskin atau siapapun yang memerlukan bantuan.
Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan dimuka, bahwa dalam keadaan kecukupan maupun kekurangan sebenarnya orang itu dapat berinfak atau menginfakkan apa yang dimilikinya selama ada kelebihan dari apa yang diperlukannya.
Infaq Tak Sekedar Menyisihkan Harta
Lebih lanjut, infaq bukan sekedar menyisihkan sebagian hartanya untuk orang miskin, namun sebenarnya mengandung makna yang lebih dalam sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat berikut ini:
وَمَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ وَتَثْبِيْتًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍۢ بِرَبْوَةٍ اَصَابَهَا وَابِلٌ فَاٰتَتْ اُكُلَهَا ضِعْفَيْنِۚ فَاِنْ لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗوَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari rida Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS 2 Al-Baqarah: 265)
اَيَوَدُّ اَحَدُكُمْ اَنْ تَكُوْنَ لَهٗ جَنَّةٌ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّاَعْنَابٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ لَهٗ فِيْهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِۙ وَاَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهٗ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاۤءُۚ فَاَصَابَهَآ اِعْصَارٌ فِيْهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ
Adakah salah seorang di antara kamu yang ingin memiliki kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, disana dia memiliki segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tuanya sedang dia memiliki keturunan yang masih kecil-kecil. Lalu kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, sehingga terbakar. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu agar kamu memikirkannya. (QS 2 Al Baqarah: 266).
Hakikat Infaq: Mencari Ridla Allah dan Memperteguh Jiwa
Dua ayat diatas menjelaskan perbedaan antara orang yang memahami makna terdalam dari infak (ayat 265) dan yang tidak memahaminya (ayat 266). Berinfak sesungguhnya lebih dalam dari sekedar menyumbang yang artinya meringankan beban orang yang disumbang. Sedangkan berinfak berarti “mencari ridla Allah” dan “memperteguh jiwa.”
Orang-orang yang terus-menerus dan ikhlas dalam berinfak seperti sebuah kebun di dataran tinggi yang subur dan hasil buahnya berlipat-lipat. Bahkan jika tidak ada hujan lebat pun sudah cukup untuk membuatnya berbuah kebun itu mendapat rida Allah dan teguh tidak mudah hancur sehingga selalu memberikan buah bagi pemiliknya kapan saja.
Sedangkan ayat kedua (266) menjelaskan seseorang yang memiliki kebun buah-buahan yang banyak tapi tidak pernah berinfak karena tidak memahami makna terdalam dari infak sehingga kebun buahnya tidak mendapat rida Allah dan rapuh. Sehingga ketika tertiup angin keras dan mengandung api kebun itu terbakar padahal ia sudah tua dan anak-anaknya masih kecil.
Inilah perumpamaan yang sangat indah betapa perintah infak itu sedemikian utama karena dalam amal soleh itu mengundang rida Allah dan keteguhan hati pelakunya. Proses itu membuatnya semakin kuat dalam menghadapi ancaman hidup didunia ini. Infak dengan demikian merupakan jalan tol menuju rida Allah dan memperteguh jiwa seseorang.
Infaq: Memuliakan Orang Lain
Infaq sebagai sebuah amal saleh tidak dapat dilakukan ala kadarnya namun ada ketentuan yang jelas dan pasti sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji (QS 2 Al Baqarah: 267).
Ayat di atas menegaskan definisi infaq, yakni, memberikan barang yang baik-baik (Toyibah) dan bukan yang buruk-buruk yang pemberi infakpun sendiri enggan melihatnya (memicingkan matanya).
Di sini terlihat jelas bahwa amal saleh tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, sehingga mengakibatkan orang yang menerima infaq merasa terhinakan. Apalagi pemberian infaq yang menyebabkan penerima merasa terhina juga mengakibatkan hilangnya pahala dari si pemberi infaq itu sendiri (QS 2 Al Baqarah: 264).
Orang Beriman, tapi Pelit
Selanjutnya mengapa ada orang beriman yang bakil atau pelit memberikan sebagian rezeki yang diterimanya dari Allah? Mengapa ada orang beriman yang takut berinfak karena merasa infak akan mengurangi kekayaanya? Atau mengapa ada orang beriman takut miskin hanya karena memberikan sebagian rezekinya kepada orang yang membutuhkan?
Ayat berikut menjelaskan sebab-sebab orang menjadi bakil:
اَلشَّيْطٰنُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاۤءِ ۚ وَاللّٰهُ يَعِدُكُمْ مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ۖ
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui (QS 2 Al Baqarah: 268)
Sifat bakil atau kikir seseorang sebenarnya berasal dari bisikan setan kepada manusia agar tidak memberikan infak karena akan menyebabkan kemiskinan. Padahal berinfak atau bershodaqoh atau memberikan sebagian rezeki yang diterimanya dari Allah adalah sebuah perintah yang berkali-kali disebutkan dalam Quran.
Sudah tentu perintah berulang-ulang ini mustahil akan merugikan orang beriman atau menyebabkan orang beriman jatuh miskin hanya karena memberikan sebagian rezeki yang diterimanya dari Allah atau berinfak. Padahal Allah menjamin bahwa akan diberi ampunan dan karunia-Nya bagi yang berinfak.
Infaq: Menjamin Orang Tidak Berkekurangan
Apalagi dalam QS Al Baqarah ayat 265 diatas sudah ditegaskan bahwa “perumpamaan orang yang berinfak adalah seperti menanam kebun dengan buah yang berlipat hasilnya.” Dengan kata lain, infak menjamin orang beriman tidak akan kekurangan apalagi jatuh miskin namun justru semakin bertambah rezekinya (pohonyanya berbuah lebat).
Namun tidak semua orang dapat memahami hikmah dibalik amal saleh dengan cara berinfak ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini:
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat (QS 2 Al Baqarah: 269)
Memahami rangkaian ayat tentang infak dari ayat 265 hingga 269 bukan perkara sederhana. Diperlukan orang yang mampu menangkap hikmah atau pemahaman yang sangat mendalam dari makna infak, sebagaimana dijelaskan di depan, yakni untuk mendapatkan ridlo Allah dan untuk memperteguh jiwa.
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa hanya orang-orang berakal sehat atau ulil albab yang dapat memahami hikmah sesungguhnya dibalik anjuran untuk berinfak.
Baca artikel sebelumnya: