Oleh: Desvian Bandarsyah
Manusia Indonesia, perkara angka saja ribut. Ada yang mengurangi ada yang ngotot nambahin. Padahal sesungguhnya angka itu tidak bermakna. Kecuali angka itu isinya orang orang yang bekerja dengan profesional di bidangnya. Mereka yang berpendidikan dan mencerahkan atau memiliki disiplin dengan waktu dan berorientasi ke masa depan.
Klaim berbagai pihak tentang besar dan kecil angka tidak akan menambah bobot dan daya saing mereka. Kecuali dengan ilmu dan iman. Ilmu berarti mereka harus belajar dengan keras dan kuat. Iman mereka berarti juga harus belajar dengan keras dan kuat. Keduanya, ilmu dan Iman perlu dipahami dengan ilmu juga.
Memang harus bersabar dengan fenomena umat dan keumatan. Kita sering diberi tontonan yang kadang membanggakan dan banyak memperihatinkan. Tidak penting besar atau kecil jumlahnya, yang penting kualitas ilmu dan keimanannya. Sejarah mengkonfirmasi kepada kita yang hidup hari ini, bagaimana kata-kata di atas pernah dibuktikan oleh anak manusia dalam jumlah kuantitatif yang sedikit, tetapi dengan jumlah kualitatif yang sangat mengagumkan dan bahkan mencegangkan.
***
Alkisah, salah satu tokoh kelas utama pejuang dakwah Islam pada era sahabat sahabat, misal: Thariq ibn Ziyad yang namanya diabadikan ke dalam selat Gibraltar, pada abad 8, tahun 709 dan 711 memimpin pasukan tidak lebih dari 250 orang untuk masuk ke wilayah Eropa di sekitar Francis bagian Selatan dan Kepulauan Sicilia, Italia. Lalu masuk ke Spanyol dan Andalusia. Epos kepahlawanan dan keberaniannya dibarengi dengan ilmu yang mumpuni, ilmu perang dan ilmu lainnya, juga dengan keimanan yang didasarkan pada ilmu keislaman yang kokoh.
Dengan pasukan kecil itu, Thariq ibn Ziyad mampu mengalahkan pasukan Eropa yang besar. Ia mendirikan Daulah Umayyah yang masyhur itu, dengan kekuasaan sampai abad ke-15.
Maka, tidak ada klaim besaran jumlah. Sejarah mencatat dengan sangat otentik bagaimana Panglima Perang Islam ini bekerja. Tidak ada media yang meliput, tidak ada angka yang diperdebatkan, tetapi sejarah mencatatnya tanpa perlu diragukan.
Gerakan untuk kepentingan kebaikan (baca: Islam) pada hari ini perlu belajar dari sejarah bagaimana Islam dengan kekuatannya dikembangkan oleh umat dan elitenya. Juga kita tidak sedang berperang, maka yang perlu dilakukan adalah upaya terus menerus untuk mencerdaskan umat dengan ilmu dan amaliyah kekuatan modern berupa penguasaan teknologi dan informasi, karena “perang” hari ini tidak dengan senjata, tapi dengan ilmu yang digerakan dengan kekuatan remote control.
***
Inilah era Revolusi Industri 4.0. Era dimana kekuatan kekuatan besar dalam koorporasi global di gerakan oleh satu dua atau tiga tangan saja melalui benda ajaib modernitas, remote control, baik yang bersifat mekanis maupun yang bersifat sosio kultural. Era ini ditandai dengan tidak berdayanya massa dalam jumlah yang masif karena berada dalam kekuasaan “invisible hand” yang bekerja siang dan malam dalam membangun kerajaan bisnis dan politik kebudayaannya.
Era ini membutuhkan ketrampilan nalar dalam berpikir yang dijejali dengan ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu kealaman, ke ilmu ilmu kemanusiaan, dan juga ilmu ilmu ketuhanan. Ditunggu kepiawaian umat dan elite dalam mengembangkan kekuatan umat di era semacam ini.
Bagaimana kemudian, berbagai aktifitas manusia lenyap tergantikan dengan aktifitas baru dalam persoalan ekonomi dan budaya, perlu menjadi bagian kesadaran yang terintegrasikan dalam gerakan keumatan. Kita perlu mengenali dan memahami fenomena itu sebagai lawan lawan di era digital. Perlu kemahiran baru dalam merespon lawan semacam itu. Tidak bisa bergelut dalam “kubangan” yang sama dan berlama lama di sana, karena hal itu tidak lain hanya akan membuat umat semakin tertinggal.
***
Jangan mudah terpukau dengan fenomena yang nampak, karena cenderung mengecoh, demikian kata dan keyakinan aliran fenomenologi. Tapi lihat, apa dan bagaimana serta mengapa yang bergerak dalam fenomena itu berlangsung. Karena setiap fenomena selalu mensyaratkan noumena. Noumena dikaji dan di pahami. Agar langkah menjadi berarti.
Gerakan membangun umat dengan sistematis dan sistemik. Terkoordinasikan dan terhubungkan dengan baik dengan dimensi kebudayaan, dengan dimensi politik ekonomi, dengan dimensi dan wacana global, diperlukan. Agar umat memiliki basis pijakan dalam dunia kekinian dengan lengkap. Memiliki spirit berIslam yang didasarkan pada nilai transenden dan nilai profan keduniawian yang mampu menopang dirinya dan eksistensi kediriannya dengan kokoh dalam arus jaman yang cepat berubah.
Sekali lagi banyak tidak memberi arti, sedikit apalagi. Banyak atau sedikit, yang dibangun adalah umat dengan landasan kokoh pada ilmu dan iman yang keduanya lagi lagi membutuhkan ilmu sebagai pemantiknya. Ilmu dan Ilmu. Wallahualambishowab.