Krisis Identitas
Di era globalisasi sekarang ini, identitas kebangsaan dan eksistensi budaya Indonesia sedang menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Kebudayaan lokal sedang menghadapi tantangan berat berupa sistem kapitalisme dan ideologi hedonisme. Kegelisahan ini sangat perlu untuk direnungkan pemuda Indonesia.
Sistem kapitalisme dan pola hidup hedonis merupakan produk sejarah bangsa Barat yang berhasil mendominasi dunia. Dengan memanfaatkan jaringan media, pasar bebas, dan kekuatan modal.
Dampak globalisasi sudah merambah ke semua lini kehidupan. Media massa menawarkan “budaya tanding”—meminjam istilah Emha Ainun Najib—yang kian menggerus budaya bangsa. Pola pikir dan gaya hidup hedonis terus dipupuk lewat tayangan iklan dan berbagai macam siaran di TV.
Gaya hidup hedonis dan individualisme terus menguat. Kebahagiaan manusia semakin semu. Barang-barang mewah yang sudah pasti mahal harganya menjadi pusat kepuasan batin. Tingkat kepedulian seseorang terhadap orang lain kian menurun.
Sistem pasar menghendaki persaingan individu secara ketat. Lewat peran media massa, segala sesuatunya mesti diseragamkan. Dari sinilah fenomena budaya pop kian masif. Tingkah laku orang menjadi aneh-aneh karena meniru-niru budaya asing.
Dalam hal ini, globalisasi juga telah menciptakan individualisme semu karena antara ruang private dan public sudah bercampur-aduk. Seorang top figure seperti artis, model, atau tokoh tertentu, akan diungkap seluk-beluk kehidupannya, bahkan sampai pada hal-hal yang sesungguhnya termasuk dalam kategori privacy.
Dampak dan Tantangan Identitas Nasional
Dampak paling nyata dalam proses globalisasi ialah kehadiran “budaya tanding” yang terus mendesak identitas nasional dan budaya Indonesia sampai ke dalam kondisi yang cukup memprihatinkan.
Budaya lokal kian tergusur sementara budaya tanding terus marak. Apakah globalisasi yang terus mengepung bakal melenyapkan identitas nasional dan budaya lokal yang sudah menjadi kekayaan bangsa kita?
Tantangan pemuda saat ini adalah menghadapi ideologi dan budaya asing yang secara tidak sadar terus mengepung masyarakat Indonesia. Akibatnya, wawasan kebangsaan semakin mengambang dan rasa nasionalisme kian luntur. Sumpah pemuda hanya sekedar menjadi peristiwa sejarah yang terus dibaca oleh kaum muda sebagai kewajiban.
Kaum muda saat ini tidak sedang menghadapi penjajahan secara fisik. Generasi penerus bangsa tidak sedang berjuang mewujudkan kemerdekaan. Anak-anak Indonesia tidak sedang bertempur di medan juang. Mereka hanya menikmati buah kemerdekaan dan pembangunan.
Sambil duduk-duduk santai tanpa harus bekerja keras, mereka menikmati tayangan televisi yang menawarkan berbagai macam produk impor mewah. Sambil duduk malas mereka tinggal memainkan remote control mencari program-program baru di televisi. Secara tidak sadar, pola pikir dan gaya hidup hedonis telah membentuk karakter kaum muda.
Atas dasar inilah, wawasan kebangsaan dan konsepsi nasionalisme harus terus direvitalisasi seiring perubahan zaman. Kehidupan suatu bangsa banyak dipengaruhi oleh vitalitasnya. Seberapa tangguh identitas nasional bisa bertahan tergantung pada stamina kebudayaan—meminjam istilah WS. Rendra (2001)—yang kita miliki.
Hilangnya Identitas Nasional
Gejala-gejala yang termasuk dalam kategori penurunan stamina kebudayaan yang berarti hilangnya identitas nasional meliputi: pertama, disharmoni peran dan posisi manusia dengan alam. Manusia cenderung menempatkan diri di alam ini sebagai entitas tersendiri.
Ia memposisikan diri sebagai subyek sementara alam semesta sebagai obyek. Akibatnya, manusia yang menempatkan diri sebagai subyek cenderung mengeksploitasi obyek (alam) secara serakah. Kita bisa menyaksikan bagaimana kasus eksploitasi kekayaan alam di Indonesia yang telah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan.
Kedua, hilangnya kesadaran untuk menghayati dan mencerna pengalaman hidup. Ini berarti bahwa manusia-manusia di zaman modern enggan belajar dari pengalaman. Ketika bangsa Indonesia berkali-kali mendapat musibah bencana alam setiap tahunnya, tetapi mengapa tidak mampu belajar dari pengalaman? Inilah tanda-tanda stamina kebudayaan sedang menurun atau identitas nasional tengah kabur.
Ketiga, individualisme dan absolutisme. Stamina kebudayaan kian menurun manakala kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi dalam sebuah masyarakat sudah menjelma menjadi individualisme dan absolutisme.
Manusia merasa sudah cukup dengan dirinya sendiri, tidak butuh orang lain. Kehendaknya seakan-akan harus diwujudkan, tanpa peduli orang lain. Secara otomatis, individualisme dan absolutisme bertentangan dengan kehidupan demokratis. Stamina kebudayaan kian menurun manakala sebuah masyarakat mulai meninggalkan nilai-nilai demokratis.
Bangsa yang Bingung
Keempat, gagap realitas. Manusia hidup di alam semesta menghadapi realitas yang terus berubah. Kehidupannya dinamis. Begitu juga dengan realitas kebudayaan yang terus berkembang.
Tetapi, di zaman sekarang ini, bangsa Indonesia dibuat bingung, tak punya sikap tegas, pilihan mengambang dan idealisme terombang-ambing. Oleh “budaya tanding” yang datang dari luar. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi (TI), menawarkan budaya baru yang secara prinsipil bertentangan dengan daya hidup.
Kemampuan mengcounter budaya tanding yang tidak sejalan dengan budaya bangsa kian lemah. Ini merupakan gejala gagap realitas yang sama artinya stamina kebudayaan sedang menurun.
Kelima, pemikiran dan sikap semakin statis. Akar kebudayaan manusia berawal dari ide. Proses dialog interaktif manusia menghadapi realitas kehidupannya secara dinamis melahirkan ide-ide. Dari ide-ide melahirkan norma-norma, tradisi-tradisi, atau bentuk-bentuk budaya yang beragam.
Sedangkan realitas kebudayaan tidak menempati ruang steril, melainkan berada dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, kebudayaan harus dinamis. Indikasi bahwa stamina kebudayaan kian menurun manakala daya mobilitas, tumbuh, dan berkembang, menjelma menjadi statis.
Dalam konteks ini, spirit perjuangan kaum muda sudah hilang dan sumpah pemuda tinggal menjadi peristiwa sejarah yang secara perlahan-lahan akan dilupakan. Menjadi bahan untuk direnungkan pemuda Indonesia.
Keenam, terputusnya generasi. Kebudayaan lahir lewat proses historis yang panjang lewat proses regenerasi. Jika tidak, maka kebudayaan bakal sirna dan dilupakan oleh sejarah.
Generasi muda merupakan pewaris utama kebudayaan para pendahulu. Jika tidak terdapat proses regenerasi lewat institusi pembelajaran (pendidikan) yang dinamis, maka suatu kebudayaan bakal tenggelam atau dilupakan dalam sejarah.
Untuk Direnungkan Pemuda Indonesia
Sebagai aktor-aktor dalam panggung sejarah, bangsa Indonesia dibekali “daya hidup” untuk menopang eksistensi masing-masing. Sebagaimana bangsa-bangsa lain, manusia-manusia Indonesia juga dibekali akal untuk menopang daya hidup.
Daya hidup dan anugerah akal harus harmonis agar peran sebagai aktor dalam panggung sejarah dapat terus berjalan secara dinamis.