Islam Transformatif hari ini menjadi sebuah diskursus menarik dalam dunia studi Islam. Penulis cukup yakin bahwasannya istilah Islam Transformatif sudah cukup banyak terdengar oleh para pembaca. Istilah tersebut merupakan sebuah nomenklatur yang ditujukan kepada gagasan dari term teologi kontemporer yang muncul di era milenial. Istilah ini digagas oleh seorang tokoh cendekiawan muslim yang memiliki peranan besar bagi Indonesia, yaitu Moeslim Abdurrahman.
Berangkat dari kegelisahan seorang Moeslim Abdurrahman atas modernisasi dan berkembangnya isu kebodohan, keterbelakangan, dan Islamisasi yang terbatas pada ranah normatif yang bertentangan dengan pemikiran Moeslim istilah Islam Transformatif ini lahir.
Sederhananya, disini penulis ingin memaparkan sebuah diskursus yang ditarik dari penjelasan atas pemikiran Moeslim Abdurrahman mengenai gagasan Islam Transformatif, yang mana didalamnya terdapat spirit Al-Ma’un yang diajarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Spirit yang sampai hari ini masih dijaga dan dirawat oleh kepada kader-kader Muhammadiyah.
Spirit Al-Ma’un yang terwariskan kepada kader-kader Muhammadiyah hari ini menjadikan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi yang turut serta berkontribusi besar dalam pembangunan bangsa dan dunia.
Spirit Al-Ma’un dalam Muhammadiyah
Spirit Al-Ma’un sudah melekat dalam konstruksi gerakan Muhammadiyah dan sangat erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Muhammadiyah, yang dapat dimaknai sebagai ajaran amal. Bahkan ketika Al-Ma’un ditarik sebagai konsep teologi dan fikih, maka secara esensi dan konteks lebih dapat dikatakan teologi amal dan fikih amal yang bersifat pembebasan terhadap anak yatim dan orang miskin sebagai simbol kaum mustadh’afin (lemah, dilemahkan, tertinggal, serta tertindas).
Salah satu penitikberatan Al-Ma’un adalah keterlibatan kaum muslim dalam penyelamatan atas kaum mustadh’afin. Dalam hal ini, kaum mustadh’afin bukan hanya dimaknai sebagai kaum lemah yang miskin secara ekonomi atau finansial saja, akan tetapi lebih luas daripada itu, orang-orang yang mengalami krisis sosial seperti halnya orang-orang dipandang sebelah mata seperti pengemis, PSK, dan kaum minoritas juga merupakan bagian dari kaum mustadh’afin.
Maka dalam hal ini, semangat pembebasan tersebut diwariskan kepada kader Muhammadiyah dalam gerakannya sebagai implementasi atas spirit Al-Ma’un. Pentingnya umat Islam dalam memperoleh kesadaran sosial melalui pemahaman atas substansi dari Al-Ma’un ini dalam makna yang sangat luas menjadi sangat penting.
Ketika substansi Al-Ma’un dapat dipahami dalam arti yang sangat luas, maka spirit Al-Ma’un akan tumbuh untuk melakukan pembebasan terhadap kaum mustadh’afin, dan itulah inti dari spirit Al-Ma’un yang merupakan pengejawantahan dari Islam sebagai Ad-Din Al-Amal.
Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman
Moeslim Abdurrahman sebagai penggagas istilah Islam Transformatif menjelaskan bahwasanya Islam Transformatif ini merupakan Islam praksis sosial, dimana dalam hal ini Moeslim Abdurrahman menerjemahkan agama sebagai keberpihakan kepada problem-problem sosial yang terjadi di masyarakat seperti kemiskinan.
Moeslim merefleksikan bahwasanya agama Islam seringkali dipakai oleh umat muslim sebagai lembaga yang mengatur tata cara pengabdian kepada Tuhan, sehingga dalam hal ini seringkali umat Islam memposisikan nilai ibadah sebagai yang tertinggi dalam melakukan ritual dengan aturan yang sudah baku.
Bagi Moeslim sendiri, hal diatas merupakan sebuah hal yang bersifat normatif, dimana dalam hal ini menjadikan agama terkesan jauh dari problem-problem sosial karena tidak dapat dijadikan sebagai kekuatan pendorong untuk melakukan kegiatan sosial.
Hal tersebut senada dengan deskripsi Moeslim tentang Islam Transformatif yang membuat distingsi dengan proses modernisasi. Hal tersebut dapat dicapai dengan menggabungkan antara refleksi teologis dengan analisis terhadap konstruksi masyarakat, supaya dapat menciptakan gerakan-gerakan transformasi secara sosial yang tentunya tidak melupakan hubungan transendental.
Transformasi menjadi jalan yang ideal dan paling manusiawi untuk membawa sejarah peradaban umat manusia ke arah yang lebih baik. Sebab dalam konsepnya, Islam Transformatif lebih mengarah kepada proses pendampingan, bukan pengarahan apalagi pemaksaan.
Pada dasarnya, transformasi merupakan gagasan kultural yang didasarkan pada konsep liberasi, humanisasi, dan transendensi yang bersifat profetik. Dalam artian, pengubahan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik oleh masyarakat sendiri dengan lebih partisipatif, emansipatoris, dan terbuka.
Islam Transformatif ini dapat dijadikan landasan normatif atas teologi kontemporer Islam secara umum, khususnya pada ranah sosial. Islam Transformatif memiliki landasan teori dalam dimensi pembebasan yang juga dapat dielaborasi sebagai upaya praksis untuk penyelesaian terhadap problem-problem sosial yang menjadi dampak dari modernisasi, seperti kesenjangan sosial, penindasan yang dilakukan pemilik modal, penguasa dan pengusaha kepada kaum tertindas yakni para kaum buruh, dalam hal ini termasuk dalam kaum mustadh’afin.
Al-Ma’un dalam Islam Transformatif
Al-Ma’un merupakan konsep teologi pembebasan bagi umat Islam. Dimana dalam konsep ini, Islam merupakan agama yang mengajarkan pembebasan terhadap kaum mustadh’afin. Hal ini senada dengan gagasan Islam Transformatif yang digagas dan dipopulerkan oleh Moeslim Abdurrahman. Spirit Al-Ma’un seperti yang telah penulis paparkan di atas, merupakan sebuah semangat untuk memahami dan mengamalkan substansi surat Al-Ma’un dalam makna yang sangat luas untuk memerangi penindasan atas kaum mustadh’afin.
Jika kembali merujuk pada pembahasan Islam Transformatif di atas, maka untuk mengimplementasikan gagasan Islam transformatif dibutuhkan spirit Al-Ma’un. Spirit Al-Ma’un menjadi dasar yang harus ditanamkan kepada umat Islam untuk melakukan pembebasan atas kaum mustadh’afin.
Islam Transformatif yang memiliki orientasi terhadap kritik sosial, yang tidak hanya sebagai pencerahan dan wacana modernisasi. Orientasi kritik sosial tersebut bertujuan untuk membawa perubahan keadaan masyarakat untuk terbebas dari penindasan kelas sosial, sehingga terwujud keadilan dalam bermasyarakat. Hal tersebut juga syarat akan nilai-nilai substantif dalam spirit Al-Ma’un.
Editor: Soleh