Persoalan kesetaraan hak anak disabilitas dalam dunia pendidikan belum menjadi sorotan bagi banyak kalangan. Perlu diketahui bahwa, bukan hanya persoalan kesetaraan pendidikan bagi anak disabilitas. Bahkan lebih dari itu, menyatakan mimpi yang betul-betul mereka inginkan saja tidak berani. Anak disabilitas kerapkali didiskriminasi, dimarjinalkan, dan bahkan cenderung diabaikan.
Menurut survei WHO, 10% penduduk indonesia (24 juta) adalah penyandang disabilitas. Berdasarkan data dari Kemenpppa di Kota Bengkulu, terdapat 1.341 anak disabilitas dan terdapat 17 SLB di Provinsi Bengkulu. Namun, fasilitas baik berupa buku, ketersediaan guru terutama yang dapat berbahasa isyarat, dan lainnya masih sangat minim. Lebih dari 90% anak-anak dengan disabilitas di negara-negara berkembang tidak bersekolah (menurut UNESCO) sementara hanya 1% perempuan disabilitas yang bisa membaca (menurut UNDP).
Berdasarkan penelitian, 40% kebutuhan kesehatan anak disabilitas tidak terpenuhi dan kebutuhan makanan anak disabilitas tidak memadai serta 20% diantaranya menggantungkan pendapatan dari bantuan sosial. Anak disabilitas yang memiliki ekonomi keluarga yang rendah cenderung harus putus sekolah. Namun, bagi anak disabilitas yang mampu bersekolah. Mereka seringkali mendapat diskriminasi dan tidak diperdulikan atas kondisinya dan harus memikul tugas sekolah yang berat. Kasus sering terjadi pada anak disabilitas yang umumnya bersekolah di sekolah umum.
Bagaimana Masa Depan Anak Disabilitas?
Berdasarkan hasil diskusi saya bersama anak disabilitas di SLB Negeri 5 Kota Bengkulu. Ketika anak disabilitas yang ditanya soal mimpi di masa depan, mereka tidak berani mimpi terlalu tinggi. Misalnya, mereka hanya bisa bermimpi jadi seorang satpam, pelayan hotel, dan sebagainya. Mimpi tersebut mereka pilih sebab menyadari latar belakang kondisi yang dimiliki. Sehingga anak disabilitas menganggap begitu sedikit kesempatan dan peluang bagi mereka untuk bermimpi tinggi. Ini terlepas dari adanya hak yang telah ditetapkan bagi anak-anak disabilitas.
Dalam memecahkan persoalan tersebut, mungkin diperlukan skema yang tepat, salah satunya skema pentahelix. Skema ini mungkin cocok dan sangat diperlukan dalam memecahkan permasalahan ketidaksetaraan anak disabilitas dalam bermimpi dan meraih mimpinya. Dalam skema pentahelix, semua pihak harus turut bergerak bersama, berkolaborasi untuk menciptakan hasil yang signifikan. Tidak ada penyerahan ke salah satu pihak, sebab yang dibutuhkan adalah gotong royong.Â
Lima Pihak yang Berperan Penting
Lantas, siapakah yang berperan dalam menyelesaikan masalah ketidaksetaraan pendidikan bagi anak disabilitas? dalam skema pentahelix oleh lima pihak (pemerintah, akademisi, masyarakat, pelaku usaha, dan komunitas) dapat secara singkat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemerintah. Peran pemerintah dalam memecahkan permasalahan ini sangat dibutuhkan. Isu ini merupakan persoalan yang kompleks dan urgent. Jumlah anak disabilitas di Indonesia yang sebesar 10% adalah tanggung jawab pemerintah. Penetapan wajib belajar 12 tahun menjadi PR terhadap isu banyaknya anak disabilitas putus sekolah bahkan tidak sekolah.
Pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang mampu mengakomodir masalah ini. Perlu adanya alokasi anggaran atau dana yang mumpuni untuk membantu anak disabilitas. Apalagi mereka yang berasal dari keluarga yang berekonomi rendah untuk bersekolah. Sebut saja, alokasi anggaran untuk bantuan sosial rutin yang diberikan secara terarah, transparan, dan tepat sasaran. Hal ini mengingat kebutuhan pendidikan anak disabilitas yang begitu banyak.
2. Akademisi. Para akademisi memiliki peran utama dalam melahirkan generasi muda yang cerdas, bertanggung jawab, toleran, dan empati dan juga saling tolong-menolong. Akademisi dalam konteks ini adalah para guru SLB (Sekolah Luar Biasa) yang berperan sangat penting dalam meningkatkan motivasi anak disabilitas untuk berani bermimpi tinggi serta mengajari mereka berbagai ilmu untuk masa depan.
Namun ternyata di sini juga terdapat beberapa masalah, yakni kurangnya guru yang bisa berbahasa isyarat dan tenaga pendidik di bidang ilmu lainnya, khususnya di SLB. Hal itu tentu akan menentukan metode hingga mutu pendidikan yang akan didapat oleh para anak disabilitas. Maka dari itu, para akademisi di sekolah umum dapat memberikan inspirasi dan ilmu berharga kepada murid-muridnya terkait pentingnya sikap saling menghargai, menghormati, berempati, dan berjiwa besar kepada orang yang tidak beruntung (anak disabilitas).
Para guru dapat menjadi teladan terbaik dalam mencontohkan aksi-aksi kecil yang peduli akan anak disabilitas. Mereka bisa mengajak para muridnya untuk membantu sesama manusia melalui berbagai kegiatan yang bermanfaat. Misalnya, mengajak para murid untuk membuat kegiatan bakti sosial di panti asuhan atau mengumpulkan donasi.
3. Masyarakat. Peran masyarakat sebagai penghuni lingkungan di sekitar anak disabilitas sangat signifikan. Sehingga perlu adanya dukungan dari masyarakat untuk bahu-membahu dalam membantu pemerintah. Contohnya, masyarakat dapat menjadi lingkungan sosial yang suportif bagi anak disabilitas dengan tidak memberikan label atau stigma kurang baik. Mereka tidak perlu mengucilkan anak disabilitas, tetapi mendukung dan mendorong mereka untuk bermimpi tinggi dan mau bersekolah.
Masyarakat dapat berperan menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak disabilitas yang kerap kali terintimidasi oleh berbagai pihak serta dapat membantu anak disabilitas dengan berbagi atau memberikan bantuan kepada mereka.
Masyarakat dalam lingkup terkecil adalah keluarga. Para orang tua bisa mengajari anak-anak mereka untuk berempati dan saling membantu jika terdapat anak disabilitas yang satu sekolah dengan mereka.
4. Pelaku Usaha. Pelaku usaha sebagai pihak yang memiliki dana CSR perlu turut ikut membantu berbagai orang-orang yang membutuhkan, khususnya membantu keperluan para anak disabilitas. Berbagai donasi dan proposal yang dibuat anak muda dan orang dewasa untuk membuat kegiatan sosial akan sangat terbantu dalam menjalankan program sosial kemasyarakatan melalui insentif dari CSR ini.
5. Komunitas. Komunitas juga perlu turun tangan, khususnya komunitas yang digerakkan oleh anak-anak muda sebagai pelopor dan pelapor isu ketidaksetaraan pendidikan bagi anak disabilitas. Ini bisa menjadi harapan besar dan kunci penting bagi masa depan bangsa.
Mengingat momentum bonus demografi yang akan dihadapi Indonesia nantinya, di mana Indonesia akan didominasi oleh kalangan anak muda. Apabila anak muda paham, memiliki empati, dan termotivasi untuk berkontribusi secara kolaboratif dalam memecahkan permasalahan tersebut, maka angin segar untuk kesetaraan bagi anak disabilitas dapat terwujud.
Aksi Nyata dari Penerapan Skema Pentahelix
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa peran anak muda sebagai pelopor dan pelapor isu kesetaraan pendidikan bagi anak disabilitas adalah harapan besar dan kunci penting. Maka, inisiasi anak muda terhadap aksi sosial yang kolaboratif bersama anak muda lainnya di tiap daerah di Indonesia akan mampu membentuk sebuah aksi yang berdampak besar.
Ditambah lagi, kolaborasi pentahelix ini juga dilakukan bersama pemerintah, masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha, maka aksi nyata ini dapat terealisasi secara maksimal. Sebagai anak muda, saya memiliki inisiasi kolaboratif yang telah dikristalisasikan untuk mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi anak disabilitas.
Inisiasi kolaboratif ini bernama Happy Place Empowering, salah satu program dari komunitas yang saya buat bersama anak muda lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam program Happy Place Empowering, kami melakukan kolaborasi bersama pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan juga media.
Beberapa kegiatan yang kami lakukan dalam Happy Place Empowering yaitu: 1) Kelas Inspirasi untuk menginspirasi anak jalanan dan anak disabilitas untuk terus bermimpi dan tidak menyerah dalam menggapai mimpi mereka dengan menghadirkan tokoh inspiratif baik dari anak muda lainnya maupun masyarakat 2) Talkshow untuk menambah ilmu dalam berbagai bidang, dimana kami menghadirkan narasumber dari dinas terkait, seperti Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan 3) Konseling sebagai ruang bercerita dan berdiskusi bagi anak jalanan dan anak disabilitas terkait permasalahan pendidikan yang dialami dalam mengejar mimpi, kami menghadirkan pihak dari akademisi di bidang psikolog atau guru bimbingan konseling 4) Media sebagai wadah atau ruang untuk menyampaikan aspirasi kepada masyarakat luas mengenai isu kesetaraan anak disabilitas ini yang perlu menjadi gerakan bersama.
Dengan kolaborasi tersebut, kegiatan yang ingin diadakan dapat dijalankan dengan lebih muda. Sehingga dampak yang dihasilkan pun dapat lebih besar untuk anak disabilitas yang mengikuti kegiatan tersebut.
Menurut Walinono (1999), anak berkebutuhan khusus yang memperoleh dukungan sosial yang baik dari lingkungannya akan mampu menunjukkan prestasi yang baik dalam bidang pendidikan formal maupun keterampilan sehingga anak tersebut mampu mandiri dalam kehidupannya. Oleh karena itu, kita semua berperan dalam memberi dukungan kepada anak disabilitas untuk meraih mimpi mereka tanpa terhalang oleh kondisi.
*Artikel ini adalah hasil kerja sama antara IBTimes dan PP Aisyiyah
Editor: Soleh