Pandemi virus corona menyeret negara-negara di dunia memasuki krisis kesehatan. Bagi negara-negara dunia ketiga (baca: negara miskin), seperti Indonesia, gejala krisis kesehatan telah mengarah dan semakin dekat pada krisis kemanusiaan (termasuk di dalamnya pendidikan) yang akut.
Pukulan untuk Dunia Pendidikan
Seorang ibu rumah tangga bernama Yuli di Kabupaten Serang, Banten, diberitakan meninggal dunia (Senin, 20/4/2020) karena selama dua hari tidak memperoleh asupan makan (baca: kelaparan). Hidup di tanah yang subur. Konon, tongkat kayu dan bantu bisa jadi tanaman. Akan tetapi manusia yang menghuni di dalamnya meninggal akibat lapar.
Sementara beberapa anak usia Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak merelakan seluruh isi tabungan dibongkar untuk membantu penanganan virus corona. Akan tetapi, di sebelah lain, sejumlah oknum pejabat tinggi dan trader tengah ramai berebut “proyek”. Rupanya, ketulusan dan kerelaan anak-anak yang lugu itu tidak mampu meremukkan mentalitas koruptif dan serakah yang telah demikian mengerak.
Hingga saat ini, belum diketahui persis kapan krisis ini teratasi. Seluruh energi ahli kesehatan dicurahkan untuk mencari vaksin dan obat yang dapat mengatasi virus corona. Berangkat dari peristiwa ini, penekun disiplin ilmu lain juga dapat mencari celah kontribusinya.
Pandemi virus corona beserta dampak pengiringnya, memberi pelajaran berharga, sekaligus pukulan telak bagi dunia pendidikan. Analis, pengambil kebijakan, ataupun praktisi pendidikan harus berani memikir ulang cara pandang dan kebijakan pendidikan selama ini berjalan.
Mengapa orang yang tinggal di tanah yang subur, dapat meninggal dunia akibat kekurangan asupan makan. Trader dan birokrat tetap asih berebut proyek, ketika anak-anak merelakan tabungan untuk membantu alat-alat kesehatan.
Pendidikan Kedesaan
Dua fenomena ini saling berkaitan dan keduanya memiliki hubungan yang rapat dengan masalah pendidikan. Pendidikan yang kita jalankan selama ini telah gagal melahirkan pribadi-pribadi kreatif, mandiri, dan berempati. Lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas hanya difungsikan sebagai pabrik yang memproduksi manusia bermental buruh dan pegawai.
Manusia bermental buruh dan pegawai ini, begitu tamat, akan segera meninggalkan desanya untuk mencoba mengadu nasib ke kota. Berhubung manusia-manusia muda yang produktif berduyun-duyun ke kota, maka yang tingal di desa adalah anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Oleh karena itu sumber daya dan potensi desa tidak tergarap optimal.
Gambaran ideal tentang desa sebagai penyangga pangan daerah perkotaan hanya ilusi belaka. Bukan hanya karena arus anak-anak muda desa mengalir deras ke kota. Tetapi, konon disebabkan “permainan kelas atas” membuat kebutuhan sembilan bahan pokok masyarakat kota sebagian besar dipasok dari impor.
Swadaya pangan yang dulu sempat dibangga-banggakan pada zaman Orde Baru, belakangan rontok. Realitas sosial saat ini menampakkan “kota-kota terapung”, yang tidak berakar pada lingkungan pedesaan. Apa yang terjadi bila pasokan pangan impor terhenti karena lockdown, sementara desa-desa kita tidak mampu lagi menghasilkan pangan? Bayangan krisis kemanusiaan dan kelaparan benar-benar ada depan mata.
Di tengah kegelisahan menghadapi krisis kemanusiaan yang membayangi masyarakat dunia ketiga, tiba-tiba saya teringat tawaran pendidikan alternatif yang ditujukan untuk memberdayakan dan memajukan masyarakat beserta lingkungan pedesaan. Beberapa prakarsa itu perlu dikemukakan di sini.
Tawaran Alternatif
Penggerak Taman Siswa yang tiga kali menjadi Menteri Pendidikan, Sarino Mangunpranoto (1910-1983) menggagas dan bereksperimen Pendidikan Kedesaan di Ungaran, M. Sholeh Widodo dan kawan-kawan menggagas dan bereksperimen Pesantren Pertanian Darul Fallah di Bogor, dan Departemen Agama pada tahun 1958/1958 mengeluarkan kebijakan Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 Tahun.
Madrasah sebagain besar berada di desa. MWB mengemban misi ganda, yaitu sebagai gerakan wajib belajar enam (6), sekaligus memberikan keterampilan bertani, bertukang, dan berdagang kepada masyarakat pedesaan. Oleh karena itu lama belajar bukan 6 tahun, sebagaimana Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah pada umumnya, tetapi 8 tahun.
Konseptor MWB, Moch. Kafrawi, menandasakan, “sekolah agama jangan hanya memikirkan produksi ahli agama yang maunya jadi pegawai, tetapi harus mampu menghasilkan orang yang pandai bertukang, bertani, dan berdagang” (Almanak Djawatan Pendidikan Agama 1959, 1959: 102). Sayang sekali, gagasan besar ini tidak sempat berjalan karena suasana bangsa Indonesia saat itu yang masih labil di tengah pergolakan politik.
Memasuki masa awal konsolidasi Orde Baru, pada tahun 1970-an, saat Abdul Mukti Ali menjabat Menteri Agama, gagasan besar itu mulai berjalan. Madrasah dan pesantren diperkenalkan dengan keterampilan untuk beternak ayam, penggunaan teknologi tepat guna, dan pelatihan manajemen koperasi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti LP3ES dan P3M juga turut serta mempromosikan gagasan itu (Dawam Rahardjo [ed.], 1985).
M. Saleh Widodo (1995) dalam esai berjudul “Pesantren Darul Fallah, eksperimen pesantren pertanian” menjelaskan tujuan pendidikan adalah menghasilkan tamatan memiliki iman yang tumbuh pada pribadi yang kreatif dan percaya kepada diri sendiri yang berilmu mengenai urusan-urusan dunia dan akhirat, sehingga dapat beramal untuk dirinya, keluarganya, masyarakatnya ke arah kesejahteraan materiil dan spiritual.
Searah dengan itu, Sarino Mangunpranoto (1978:13) dalam buku catatan dari kaki gunung mengkonstruk Pendidikan Kedesaan sebagai suatu sistem yang diterapkan bagi orang banyak secara makro di pedesaan. Bukan sekadar memberi keterampilan dan melatih mereka bekerja, tetapi berupaya meninggikan harkat martabat, mencerdaskan dengan segala alat peraga pendidiakan, memajukan mereka pada taraf hidup selaras dengan kondisi sosial dan ekonominya.
Pendidikan yang Membebaskan
Kata kunci yang menghubungkan tiga gagasan dan eksperimentasi sangat jelas, yaitu pendidikan harus mampu membangun kesadaran kritis, berjiwa mandiri, dan kreatif sehingga mampu mendayagunakan alam di sekitar untuk menghidupi diri dan masyarakat sekitar. Ringkasnya, pendidikan harus mampu membebaskan diri dari mentalitas buruh ataupun pegawai.
Gagasan besar dan ekperimentasi pendidikan kedesaan, pesantren pertanian, dan madrasah wajib bejar 8 tahun sejak tahun 1980-an semakin sulit bernapas. Sentralisasi yang demikian ketat, praktis tidak memberi ruang improvisasi untuk pendidikan alternatif. Sementara itu, dukungan masyarakat terus merosot sehingga membuat perjalanan mereka tertatih-tatih.
Di tengah krisis kesehatan dan bayang-bayang krisis kemanusiaan saat ini, apa bukan waktu yang tepat untuk merenungkan kembali sistem pendidikan kita? Pendidikan kedesaaan, pesantren pertanian, madrasah keterampilan yang selama ini terpinggirkan mungkin perlu dilirik kembali dan diberi ruang gerak? Pada titik kritis ini, urgensi pendidikan kedesaan justru semakin nyata.
Editor: Nabhan