Oleh: Stepanus Sigit Pranoto SCJ
Komodifikasi agama di balik fenomena lahirnya ustadz-ustadzah baru yang viral di media sosial belakangan ini cukup menarik perhatian. Dari sejumlah ustadz(ah) yang bermunculan, tampaknya mereka yang berlatar belakang muallaf jauh lebih cepat mendapat panggung daripada seorang ustadz(ah), atau bahkan kiai, yang telah bertahun-tahun mempelajari dan bahkan melaksanakan Islam. Sayangnya fenomena ini berbanding terbalik dengan minimnya sikap kritis masyarakat. Miris bukan?
Tulisan ini akan menyoroti fenomena tersebut dalam perspektif komodifikasi agama, yang belakangan ini banyak dibahas oleh para akademisi. Dari perspektif ini, saya berkeyakinan bahwa salah satu alasan munculnya penceramah-penceramah agama baru, baik di mimbar offline maupun online, antara lain untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi penceramah. Nilai-nilai agama dijadikan komoditas yang laku dijual di masyarakat. Akibatnya, terjadi pula pergeseran peran otoritas keagamaan, di mana peran otoritas keagamaan tradisional semakin terkikis dan tergantikan oleh para aktor baru yang bermunculan.
Komodifikasi Agama (Islam)
Menjamurnya ustadz(ah) baru yang bermunculan di masyarakat Indonesia, baik secara offline melalui mimbar agamamaupun online melalui media sosial, dapat dipandang sebagai bagian dari upaya komodifikasi agama oleh sejumlah aktor. Komodifikasi dipahami sebagai sebuah proses transformasi barang dan jasa yang semula dinilai gunanya, menjadi komoditas yang mampu memberikan keuntungan bagi pelakunya.
Dalam hal ini, komodifikasi agama dapat dipahami sebagai sebuah upaya mentransformasi nilai-nilai agama menjadi sebuah komoditas (barang jualan) yang bisa menguntungkan secara ekonomi (Fealy: 2008). Komodifikasi agama bukan hanya dalam bentuk-bentuk barang dagangan yang dipakai, seperti pakaian dan aneka produk Islami, tetapi juga ceramah-ceramah keagamaan yang secara spiritual dan emosional mampu membangkitkan semangat hidup dan kerohanian seseorang.
Komodifikasi agama ini bukan saja berimplikasi pada peningkatan religiusitas dalam masyarakat, namun di pihak para aktor berimplikasi pada aspek ekonomi mereka. Contoh sederhana dari apa yang dikatakan oleh Muzaki (2008) tentang fakta yang sangat umum terjadi di masyarakat bahwa seorang penceramah akan mendapatkan imbalan atas jasa yang mereka berikan. Dalam hal ini, imbalan itu perlu dipandang sebagai sebuah penghargaan yang diberikan oleh komunitas keagamaan.
Martin Slama (2017) dalam pemikirannya tentang “ekonomi pengkhotbah Islam” (the Islamic preacher economy) melihat adanya kecenderungan di mana menjadi ustadz-ustadzah merupakan suatu bentuk “profesi” yang memungkinkan mereka menerima imbalan bagi kehidupan ekonominya. Dalam hal ini, semakin banyak dikenal dan tampil di ruang-ruang publik, semakin besar pula peluang untuk kehidupan ekonomi mereka. Oleh karenanya semakin populer seorang penceramah, semakin besar pula peluang mendapat ‘balas jasa’ bagi kehidupan ekonominya. Maka tak jarang mereka berlomba-lomba supaya makin populer, apa dan bagaimanapun caranya.
Strategi “Jualan” Ustadz(ah) Muallaf
Saya akan ambil contoh pada dua sosok penceramah agama berlatar belakang muallaf yang cukup dikenal di masyarakat Indonesia, yakni Irena Handono dan Chris Bangun Samudra. Keduanya tidak hanya berceramah di mimbar, tetapi ceramah-ceramahnya juga telah menjadi konsumsi publik melalui media sosial. Tak hanya itu, mereka juga punya kisah yang serupa sebagai seorang muallaf. Kisah itu sering mereka sampaikan dalam ceramah-ceramahnya yang banyak beredar melalui media sosial, terutama YouTube.
Di sini saya menyoroti kisah “pertobatan” yang mereka sampaikan untuk menemukan bagaimana “strategi” yang mereka gunakan. Kisah “pertobatan” Irena Handono bisa dilihat dalam Channel YouTube Cinta Quran TV dengan judul “Dulu Seorang Biarawati, Inilah Cara Hj. Irena Handono Menemukan Islam.” Video berdurasi 9 menit 37 detik ini diposting pada 19 Maret 2019 dan telah ditonton lebih dari 300 ribu kali serta mendapat lebih dari 1000 komentar (per 20 Februari 2020). Sementara itu, kisah tentang Bangun Samudra salah satunya bisa ditemukan dalam Channel YouTube Kajian Ilmu dengan judul “Mantan Pastur S3 Lulusan Terbaik VATIKAN Jadi Muallaf – Ustadz Chris Bangun Samudra.” Per 20 Februari 2020, video berdurasi 21 menit 33 detik dan diposting pada 5 Juni 2018 ini telah dilihat lebih dari dua juta kali dan mendapat lebih dari 5 ribu komentar.
Saya tidak akan menceritakan secara detail tentang bagaimana kisah “pertobatan” mereka, tetapi akan melihat bagaimana strategi keduanya dalam upaya mendapatkan panggung di masyarakat. Strategi “jualan” adalah dengan membangun narasi yang mampu meyakinkan publik dengan mengangkat beberapa unsur pendukung. Pertama, kisah mendapat hidayah. Sebelum memeluk Islam, keduanya adalah umat Katolik. Perpindahan dari Katolik ke Islam ini diramu sebagai kisah pencarian kebenaran agama, hingga akhirnya mereka yakin bahwa Islam sebagai agama yang benar. Saya tidak akan memasuki wilayah ini, karena hal ini menyangkut wilayah pribadi. Saya juga tidak mempersoalkannya karena bagaimanapun soal iman adalah pilihan personal. Namun dari keduanya, tampaknya kisah mendapat hidayah ini menjadi modal dasar sekaligus strategi yang dipakai untuk menarik perhatian publik.
Kedua, pengetahuan keagamaan terdahulu. Dalam kedua video yang saya sebut di atas, juga dari beberapa video dan ulasan yang beredar, kedua tokoh ini bercerita tentang latar belakang pendidikan keagamaan yang mereka miliki sebelumnya. Irena mengaku bahwa belajar di sebuah Institut Filsafat Theologia. Bahkan, dalam video-video lainnya, Irena menarasikan diri sebagai “Pakar Kristologi.” Sementara itu, Bangun Samudra selalu belajar di sekolah Katolik, seminari, dan bahkan mengaku sebagai lulusan S3 Vatikan. Latar belakang pendidikan agama ini merupakan modal sosial yang penting bagi eksistensi keduanya, lepas dari benar atau tidaknya apa yang mereka sampaikan.
Ketiga, otoritas dalam agama terdahulu. Yang menarik dari keduanya adalah bahwa masing-masing mengaku pernah menjadi seorang biarawati dan pastor. Seorang pastor maupun biarawati merupakan sebuah pilihan hidup dalam Gereja Katolik dan dipandang memiliki tingkat kedalaman iman yang kuat. Oleh karena itu, dengan menarasikan diri sebagai “mantan biarawati” atau “mantan pastor” tampaknya mereka berusaha meyakinkan publik bahwa mereka sungguh-sungguh total meninggalkan keyakinan agama sebelumnya.
Minimnya Sikap Kritis Masyarakat
Kisah “mendapat hidayah” yang dipadu dengan pengetahuan tentang agama yang dianut sebelumnya sudah cukup menjadi modal dasar untuk berceramah. Modal dasar itu akan semakin menarik bila mereka punya kemampuan public speaking yang menarik serta bisa menyampaikannya dengan lucu. Daya pikat akan semakin kuat bila di agama yang dianut sebelumnya ia memiliki, dan atau mengaku punya jabatan sebagai pemuka agama serta latar pendidikan agama yang tinggi. Sudah bisa dipastikan bahwa popularitasnya dengan mudah akan melesat cepat, meskipun seringkali minim pengetahuan tentang Islam. Namanya akan semakin berkibar bila dalam ceramah ia menyisipkan komentar tentang ajaran agama yang ia anut sebelumnya. Inilah “jurus jitu” yang sering kita jumpai dalam ceramah-ceramah keagamaan yang dilakukan oleh ustadz(ah) berlatar belakang muallaf(ah).
Larisnya “jualan” yang mereka tawarkan semata-mata bukan hanya dilatarbelakangi oleh keberhasilan “strategi dagang” yang digunakan. Kita layak bertanya diri, apakah masyarakat sudah bersikap kritis dalam menerima setiap narasi yang mereka berikan? Bagi masyarakat yang kritis, orang tak akan mudah percaya begitu saja terhadap narasi yang ditawarkan. Namun sayangnya masih banyak masyarakat yang bersikap sebaliknya. Sikap kurang kritis masyarakat yang dibarengi dengan fanatisme sektoral keagamaan ini berhasil dimanfaatkan untuk mendukung popularitas mereka. Kedua sikap ini menjadikan seseorang percaya begitu saja terhadap apa yang dikatakan oleh ustadz(ah) muallaf, yang bisa dengan leluasa menyampaikan materi-materi ceramahnya.
Oleh karenanya, fenomena viralnya ustadz(ah) muallaf(ah) baru ini perlu kita sikapi dengan sikap kritis sehingga tidak memperdalam fanatisme sektoral yang akan mempersempit cara berpikir kita.
* Pastor dan Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga
Editor: Arif