IBTimes.ID – Dewasa ini kehidupan berubah dengan sangat cepat. Kehidupan menjadi lebih kompleks dan penuh masalah seperti kerusakan lingkungan. Kehidupan juga mengalami disorientasi seperti materialisme, hedonisme, radikalisme, ateisme, dehumanisasi, dan lain-lain.
Hal ini disampaikan oleh Ustaz Muhammad Abdul Fattah Santoso, dalam kegiatan Bedah Buku Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer karya Muhammad Amin Abdullah. Bedah buku daring ini diselenggarakan oleh PSBPS UMS pada Senin (16/11).
Ia menyebut bahwa muncul penawaran solusi untuk menyelesaikan problem-problem di atas dengan cara melakukan revitalisasi ilmu dengan perubahan pendekatan dari intradisiplin ke multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Penawaran ini muncul dari M Amin Abdullah, penulis buku yang sedang dibedah.
“Buku Prof Amin ini, kalau digambarkan, ada perubahan ilmu dari linier, ke multidisiplin, berlanjut ke interdisiplin, hingga terakhir transdisiplin,” jelasnya.
Ia menyebut bahwa ada beberapa dosen yang sulit berubah. Padahal masyarakat ilmu yang menggunakan pendekatan multi, inter, dan transdisiplin (MIT) perlu melakukan rekonstruksi secara terus-menerus. Sehingga paradigma ini akan berhadapan dengan status quo keilmuan dan kesombongan intradisiplin. Kesombongan intradisiplin berarti masing-masing ilmu merasa paling hebat, sehingga harus didekonstruksi.
Membangun Masyarakat Ilmu dengan Paradigma MIT
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menyebut beberapa langkah membangun masyarakat ilmu dengan paradigma multi, inter, dan transdisiplin. Pertama, membangun kelembagaan dan asosiasi. Masyarakat llmu harus memiliki kelembagaan yang mendukung.
Kedua, membangun kolaborasi. Harus ada kerjasama antar lembaga. Ketiga, membangun etos keilmuan. Keempat, membangun kode etik pengembangan ilmu. Ia memberikan contoh asosiasi lembaga yang bisa dibentuk, yaitu Asosiasi Keilmuan Islam UIN se Indonesia, Asosiasi Keilmuan MIT PTKI-PTN/S-IIUM-USIM, Asosiasi Imuwan/Dosen MIT, Mendirikan Prodi S1-S3 berorientasi MIT, Pusat Penelitian MIT, Pusat Pengabdian kepada Masyarakat MIT, Pusat Publikasi MIT, dan lain-lain.
“Mengapa kemajuan ilmu di masa ‘Abbasiyah itu tidak terus sampai sekarang? Sementara di Eropa bisa bertahan sampai sekarang? Salah satu sebabnya adalah tidak adanya institusionalisasi dari masyarakat ilmu. Dulu itu orang bisa pintar karena otodidak dan magang. Tidak ada lembaganya,” jelasnya.
Membangun kolaborasi bisa dilakukan lintas kelembagaan atau asosiasi, kolaborasi dalam pendidikan MIT, kolaborasi dalam penelitian MIT, kolaborasi dalam pengabdian masyarakat MIT, kolaborasi antar stakeholder berorientasi MIT, kolaborasi dalam jurnal dan publikasi MIT, dan kolaborasi dalam penyelenggaraan kongres MIT.
Sementara itu, menurut Ustaz Fattah, cara membangun etos keilmuan adalah dengan membangun martabat manusia berdimensi planet dan kosmik, mengakui bumi sebagai rumah bersama. Setiap manusia harus terkait dengan suatu kebangsaan, namun sebagai penduduk bumi ia juga seorang trans-bangsa.
“Secara historis, belum pernah terjadi sebelumnya, pertumbuhan ilmu justru meningkatkan ketidaksamaan manusia. Ini yang harus dicarikan solusi. Berbagi pengetahuan bermuara pada berbagi pemahaman yang berbasis pada penghargaan absolut terhadap liyan (other) kolektif dan individual,” imbuh Ustaz Fattah mengutip The Charter of Transdisciplinarity (1994).
Menurutnya, cara membangun kode etik keilmuan dapat dilakukan dengan cara menolak sikap yang anti dialog dan diskusi apapun alasannya, baik alasan ideologis, ilmiah, relijius, ekonomi, politik, atau fiosofis. Masyarakat juga harus menjunjung tinggi ketelitian berargumentasi yang berbasis data.
Selain itu, untuk membangun kode etik keimuan, manusia harus menjunjung tinggi keterbukaan, termasuk penerimaan yang tidak diketahui, tidak diharapkan, dan tidak diramalkan. “Kita harus menjunjung tinggi toleransi yang berupa pengakuan terhadap gagasan dan kebenaran yang berlawanan dengan yang dimiliki. Terbuka terhadap mitos dan agama beserta pemeluknya,” paparnya.
Reporter: Yusuf