Hari ini kita seperti mengalami krisis pendidikan yang terus berulang. Baik melalui pengamatan langsung atas lingkungan sekitar atau dalam berita-berita yang muncul di berbagai media menampilkan kondisi miris terkait moral masyarakat. Kejahatan terus berevolusi sementara pendidikan sebagai cara terbaik untuk memangkasnya nampak sia-sia.
Falsafah Pendidikan
Pendidikan mekanistik yang hari ini kita miliki tidak peduli betul pada pembinaan kepribadian. Orientasi pendidikan bersifat materialistik dan relasi yang dibangun antara pendidik dan pembelajar bersifat kering dan subordinatif.
Capaian pembelajaran sekadar diukur oleh angka-angka di atas kertas dan dialog menjadi mustahil dalam relasi sosial pendidikan yang berwatak menindas.
Tidak luput pula, pola pendidikan yang memaksa pendidik menjadi seperti mandor-mandor dalam pabrik manufaktur. Mereka bekerja dengan borang-borang dan aturan-aturan yang kaku.
Pun pendidik tidak memiliki tanggung jawab untuk menjadikan dirinya sebagai pembimbing moral. Ketika luaran pembelajaran sendiri juga tidak sungguh peduli pada nilai keluhuran.
Walhasil kita seperti mengalami krisis teladan. Sudah pongah dan bobrok para pemimpinnya, abai dan kaku pula para pendidiknya. Kita pun boleh merasa bingung, kemana lagi kita harus melihat ketika nilai-nilai etika hanya menjadi retorika yang tidak sejalan dengan perbuatan nyata?
Dalam konteks pendidikan formal barangkali sulit untuk mengubah itu. Tapi dalam konteks pendidikan di luar kelas seperti perkaderan di organisasi atau gerakan dimana kita berproses di dalamnya, maka penyesuaian metode pendidikan yang lebih humanis akan segera dapat kita terapkan. Tinggal dibutuhkan kemauan dan aksi nyata kita untuk mewujudkannya.
Juga tentunya, diperlukan filosofi pendidikan yang dapat hadir menjadi kerangka alternatif bagi falsafah pendidikan mekanistik. Falsafah baru yang mengguncang relasi sosial timpang dalam proses pendidikan dan mengubahnya menjadi ruang-ruang pembangunan mental manusia unggul berkepribadian. Dalam hal ini, falsafah itu adalah uswah hasanah.
Uswah Hasanah
Uswah hasanah sendiri bermakna teladan atau contoh yang baik. Dalam konteks pendidikan secara umum maupun perkaderan secara khusus, hal ini memiliki dua prinsip primer. Yang mana kedua prinsip itu saling berkait dan dari kedua prinsip utama itu, dapat diturunkan kepada prinsip yang lebih sekunder.
Pertama, pendidik yang berfungsi seperti cermin bagi peserta didik. Pendidik bukan hanya ahli teori dan penyuap informasi, melainkan peraga hidup atas nilai yang sedang dipelajari. Pendidik memproyeksikan bagaimana karakter yang menjadi target akhir transformasi pribadi peserta didik.
Kedua, sejalan dengan prinsip pertama maka proses pendidikan bermuara pada pembinaan karakter peserta didik. Ada profil diri serta mindset berpikir yang mesti dimiliki dan diteladani peserta didik. Pendidikan berusaha membangun karakter manusia yang mumpuni menanggung misi pembangunan peradaban yang maju, berkeadilan dan berketuhanan.
Dengan demikian, filosofi ini memahami bahwa proses pendidikan tidak hanya berfokus pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan semata. Namun, juga kualitas pendidik dan metode pendidikannya mempengaruhi bagaimana pembentukan karakter dapat tercapai optimal.
Karakter Bukan Gagasan
Penting pula dipahami bahwa falsafah uswah hasanah menanggung konsepsi mengenai karakter yang tidak sederhana. Karakter secara substansi dipahami sebagai jalinan yang kompleks dari faktor genetis individu yang relatif permanen dengan faktor lingkungan berupa pendidikan.
Karakter di sini menjadi sesuatu yang tidak dapat diajarkan hanya melalui tatap muka di kelas. Pembentukan karakter yang meliputi perilaku tidak dapat dilakukan secara efektif bila sekadar dirapalkan dalam kata-kata dan dibayangkan dalam pikiran. Pembentukan karakter memerlukan bentuk manifestasi dalam perilaku juga, bukan semata gagasan belaka.
Karakter bersifat holistik, ia adalah keseluruhan dari keyakinan seseorang mengenai prinsip-prinsip etis dan sekaligus yang terpancar pada sikap dan perilaku aktual individu. Karakter tidak hanya dinilai dari apa yang dikatakan, namun juga keselarasan antara perkataan dengan perbuatan.
Maka, pendidikan maupun perkaderan harus lebih banyak berfokus pada proses belajar dalam keseharian, dimana masalah-masalah konkret tersedia. Baik peserta didik juga pendidik memiliki kesempatan untuk berkolaborasi dan belajar dari proses menyelesaikan masalah itu.
Kita dapat simpulkan bahwa uswah hasanah menekankan pentingnya peran pendidik yang hadir tidak hanya sebagai pengajar materi, namun juga pemimpin yang bervisi. Sebabnya, pembentukan karakter paling besar dipengaruhi oleh peniruan dan internalisasi atas tindak laku dari pendidik oleh para peserta didik.
Role Modelling
Sudah tidak asing bagi kita pepatah lama tentang guru dan murid yang menyatakan : “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Pepatah ini mewakili kesadaran mengenai pentingnya pendidikan karakter melalui teladan. Pendidik menjadi cermin yang bayangannya menjadi karakter yang diserap dalam mental para peserta didik.
Secara teknis, metode pembelajaran itu biasa kita kenal sebagai role modelling. Maksudnya, individu akan meniru, mempelajari cara, pola pikir dan strategi bergerak dari pendidik. Individu secara natural akan melakukan peniruan itu.
Karena, sebagai manusia ia dikaruniai memori atau kemampuan untuk merekam informasi. Informasi dalam memori itulah yang kemudian akan menjadi rujukan berpikir dan berperilaku masing-masing individu.
Konsekuensinya, pendidik sendiri harus mampu mencapai apa yang ia sendiri akan ajarkan. Bila pendidik memiliki atau membangun diri menjadi pribadi yang berwawasan, maka mudah bagi murid mereka untuk menyerap wawasan itu. Sebaliknya pula bila pendidik sempit pemikiran, maka murid mereka juga tidak akan jauh berbeda.
Role modelling juga bisa berpengaruh kepada sifat atau sikap peserta didik. Individu akan takut bermimpi, bila ia dididik oleh seseorang yang pesimis dan pengecut di hadapan sebuah tantangan. Begitu pula sebaliknya, individu akan menjadi pejuang yang tangguh bila memiliki guru yang terus berusaha dan berinovasi di tengah kesulitan apapun.
Karakter yang Utuh
Pada akhirnya, tujuan paling penting dari pendidikan adalah mencetak karakter yang utuh. Utuh dalam arti mahir berfikir, namun juga rajin berzikir. Utuh dalam arti matang secara rasional dan juga teguh secara spiritual. Tidak berat atau timpang di salah satu saja.
Utuh juga berarti jujur, lugas, dan apa adanya. Manusia utuh tidak menyembunyikan apapun, tidak bermuslihat, dan tidak merasa kurang sehingga harus berbohong. Sebab, mereka sudah utuh, tidak merasakan kekosongan dan kebutuhan untuk memiliki segalanya lalu menjadi serakah.
Untuk tujuan itu, uswah hasanah menuntut pendidik menjunjung tinggi kesatuan teori dan praktik. Murid atau peserta didik boleh dibuai hingga mabuk kepayang dengan retorika dan logika. Namun pada akhirnya, mereka akan menyaksikan sejauh mana narasi berubah menjadi aksi.
Hal demikian juga berlaku pada pemimpin masyarakat secara luas maupun organisasi atau gerakan secara sempit. Bila mereka kerap mementingkan diri dan mengelabui, maka jangan salahkan masyarakat yang kemudian apatis dan saling mencurangi bahkan di tengah pandemi.
Kinilah saatnya kita bekerja bahu-membahu menciptakan keteladanan. Sosok seperti Polisi Hoegeng, Ulama seperti Hamka dan Politisi seperti Hatta dapat menjadi inspirasi.
Namun, kita juga tetap membutuhkan keteladanan yang hidup dan berjalan mengiringi kita. Sehingga kita bisa optimis pada kemungkinan membangun masa depan pendidikan dan peradaban yang lebih baik.
Editor: Rifqy N.A./Nabhan