Beberapa pekan lalu, jagat media sosial diramaikan dengan seorang wanita yang viral, karena asyik berjoget di tengah jalan, dengan tidak memedulikan klakson dari para pengguna jalan lain.
Aksi wanita berjoget di tengah jalan dengan diiringi musik ini tentunya mengganggu pengguna jalan lainnya. Tampak sejumlah pengendara mobil dan motor berhenti di belakangnya. Dilansir dari terkini.id bahwa aksi wanita ini terjadi di daerah Fakfak, Papua.
Sebelumnya, video yang memperlihatkan wanita asyik berjoget di tengah jalan dan tak memedulikan klakson dari pengguna jalan beredar di media sosial. Dengan diiringi musik, wanita yang mengenakan pakaian ketat berwarna putih dan celana panjang merah ini asyik bergoyang sendiri.
Setelah videonya viral di media sosial dan mendapat kecaman dari netizen, kemudian wanita tersebut meminta maaf atas perilakunya. Kejadian yang sama juga terjadi di sebuah zebra cross di lampu merah kota Mamuju, Sulawesi Barat yang viral karena aksi dari tiga emak-emak yang berjoget Tik-Tok di tengah jalan (kompas.com).
Dalam video yang viral tersebut diperlihatkan, ketiga emak-emak ini berjoget di zebra cross guna menarik perhatian pengendara. Lagi-lagi, setelah viral videonya, kemudian ketiga emak-emak ini meminta maaf atas aksinya yang mengganggu dan membahayakan tersebut.
Dua kejadian tersebut, sebenarnya hanyalah contoh sebagian kecil dari banyaknya kejadian viral yang dilakukan warga negara +62 (baca: sebutan millenial untuk warga negara Indonesia). Karena ulahnya ini, ia dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain, demi hanya untuk mendapatkan perhatian di media sosial.
Viralnya video di media sosial yang dilakukan oleh warga negara +62 ini seakan-akan menjadi santapan hangat bagi netizen yang mahir dan ahli berkomentar. Dengan sigapnya, mereka memberikan saran kritiknya, mulai dari kata-kata yang halus hingga umpatan pun sudah biasa.
Personal Branding yang Gagal
Dengan adanya media sosial, setiap orang akan dengan mudah mengakses berbagai hal. Bila kita menggunakan media sosial dengan baik, maka hasil yang diperoleh akan menguntungkan. Namun, sebaliknya, bilamana kecerdasan dalam bersosial media rendah, maka hasil yang diperoleh pun akan merugikan.
Perilaku ingin dipuji, diperhatikan, diberi like atau komentar positif di media sosial, merupakan hal yang lumrah dan ini sah-sah saja bilamana masih sesuai dengan batas norma yang ada. Tetapi, jika sudah melanggar norma agama dan sosial, maka ini beda lagi ceritanya, meskipun setiap orang berhak atas sosial media yang dimiliki.
Seseorang ingin diakui keberadaannya, ingin diperhatikan, dipuji, dengan melakukan hal di luar nalar dan melanggar norma yang ada. Dalam istilah psikologi kepribadian, hal ini dapat dikategorikan pada kecenderungan mengalami gangguan kepribadian narsistik.
Narsistik merupakan suatu kondisi gangguan kepribadian di mana seseorang akan menganggap dirinya sangat penting dan harus dikagumi.
Pengidap kepribadian narsistik, biasanya ia merasa bahwa dirinya memiliki pencapaian yang luar biasa dan lebih baik dari orang lain, serta merasa bangga secara berlebihan pada dirinya. Hal tersebut terjadi meskipun pencapaian yang dimiliki biasa saja.
Mulanya, seseorang ingin dikenal oleh banyak orang dengan memperlihatkan dirinya di media sosial. Namun apatah dikata, bukan perhatian dan pujian yang didapat melainkan kritikan dan celaan yang diperoleh.
Masyarakat Modelling Pejabat
Kejadian demi kejadian yang viral kemudian minta maaf, dan kasus selesai, ini bukan sepenuhnya masyarakat sendiri yang salah. Bila kita telaah sedikit, perilaku yang viral ini sering kali dicontohkan oleh para stake holder di negara +62.
Misal, sebelumnya Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menyampaikan permohonan maaf atas pidato yang menghubungkan kemiskinan di Tanjung Priok dengan lahirnya tindakan kriminal. Kemudian Menkes Terawan yang meminta maaf kepada Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) atas pernyataan Achmad Yurianto yang membandingkan antara perawat dan roomboy hotel.
Begitu pun dengan kasus lain yang dilakukan oleh para pemimpin, viral karena perilaku jeleknya, kemudian meminta maaf, kasus pun selesai. Apakah hal ini menjadi sebuah tradisi baru di negara ini?
Seharusnya, masyarakat diberikan contoh yang baik oleh para pemangku jabatan. Adanya edukasi untuk bersosial media yang cerdas dan baik, serta masyarakat pun harus hati-hati dalam berperilaku dan menggunakan sosial media di tengah gempuran UU ITE.
Berani berbuat berani bertanggung jawab, bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Selembar materai mungkin dapat menyelesaikan masalah, tetapi selembar materai tidak dapat memberikan edukasi yang baik bagi masyarakat, juga tidak akan membuat jera para tersangka.
Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Lely N