Tahun 1870, pelopor keperawatan modern, Florence Nightingale, menuliskan sebuah curhatan: “It will take 150 years for the world to see the kind of nursing I envision.” Dibutuhkan 150 tahun bagi dunia untuk melihat jenis keperawatan yang saya bayangkan.
Jika dihitung tahun ketika dia menuliskan kalimat itu ditambah 150 tahun, jumlahnya akan menghasilkan sebuah angka: 2020.
Apakah ini kebetulan? Wallahu a’lam! Tapi kita semua tahu, di tahun 2020 ini terjadi wabah pandemi Covid-19, di mana perawat menjadi salah satu garda depan dalam menghadapi wabah virus ini. Dan perawatan yang dibutuhkan saat ini fokus pada jenis perawatan secara totalitas dan holistik, sambil tetap melakukan penelitian secara kualitatif dan kuantitatif.
***
Situasi ini mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada tahun 1854 saat Florence Nightingale dan timnya melakukan perubahan besar pada dunia keperawatan, hingga menjadi titik awal dunia keperawatan modern.
Tahun 1854 terjadi perang di Semenanjung Krimea. Florence Nightingale dan tim yang beranggotakan 38 wanita sukarelawan mendarat di sebuah RS Scutari. Mereka berhadapan dengan situasi mengerikan di rumah sakit. Lebih menakutkan dari apa yang dibayangkan. Bahkan, ada sebagian wanita sukarelawan itu yang sampai terguncang jiwanya.
Apa yang mereka hadapi? Semua ruangan RS dipenuhi prajurit dengan luka menganga, aula sesak dengan prajurit yang merintih dan menjerit, lalu di halaman RS beratus-ratus prajurit bergelimpangan tanpa tempat berteduh. Mereka semua menderita tanpa ada yang merawat.
Tim dokter telah melakukan banyak pembedahan darurat pada organ tubuh, dan mengamputasi bagian tubuh yang membahayakan hidup prajurit. Tapi, potongan-potongan tubuh yang berdarah-darah tersebut hanya ditumpuk begitu saja di luar jendela, hingga menggunung dan mengeluarkan aroma busuk.
Florence Nightingale dan tim tidak bisa larut dalam kecemasan dan ketakutan melihat situasi ini. Mereka pun mulai bergerak dengan mengatur tempat-tempat tidur untuk para penderita di dalam RS, dan membangun tenda-tenda darurat untuk penderita yang bergelimpangan di halaman. Lalu, mereka mengubur semua sisa potongan tubuh, juga tulang belulang prajurit yang sudah dilakukan tindakan operasi dan amputasi.
Dari segi perawatan, Florence Nightingale memulainya dengan melakukan perawatan luka, mengganti perban prajurit secara berkala, obat-obatan diberikan sesuai waktunya, lalu lantai RS dipel setiap hari, meja kursi dibersihkan, baju-baju kotor dicuci dengan mengerahkan bantuan dari penduduk setempat.
Dalam waktu sebulan, kondisi RS berubah drastis. Jeritan dan rintihan dari prajurit korban perang mulai mereda. Tapi, apakah situasi membaik setelah itu? Tidak. Jumlah pasien yang meninggal semakin banyak. Tidak lagi karena luka perang, tapi karena komplikasi dari penyakit lainnya. Seperti disentri, kolera, dan tifoid.
Nightingale pun mengevaluasi, apa yang kurang dari jenis perawatan yang sudah diberikannya. Oh, ternyata, nutrisi yang kurang, sirkulasi udara, dan sistem pembuangan limbah RS yang buruk membuat pasien-pasien yang sedang dalam perawatan mudah terserang komplikasi.
Setelah menemukan titik-titik masalahnya, tindak lanjut pun dilakukan. Meningkatkan nutrisi pasien, mengatur sistem pembuangan yang sesuai, dan mulai memperjuangkan pentingnya kebersihan lingkungan dalam manajemen perawatan. Termasuk menekankan pentingnya cuci tangan. Hasilnya, jumlah kematian pun menurun drastis.
Selama merawat pasien, Nightingale dan tim tinggal di RS. Pada malam hari, Nightingale akan mengunci kamar perawat-perawat untuk keamanan mereka, misalnya dari risiko serangan seksual. Dan pada saat semua perawat sudah tidur, Nightingale mulai menuliskan pengalaman, tindakan keperawatan yang sudah dilakukannya, serta apa cita-citanya untuk jenis keperawatan masa depan.
Saat ada perang di sebuah kota yang tak jauh dari tempatnya berada, Nightingale tidak takut mendatangi medan pertempuran untuk mencari dan mengumpulkan prajurit-prajurit yang masih hidup dan membutuhkan perawatan, hanya menggunakan lentera. Oleh karena itulah, ia mendapat julukan “Bidadari Berlampu.”
Satu kali, Nightingale pernah menentang komite RS dan mengancam akan mengundurkan diri, karena RS memilih-milih pasien. Menolak pasien yang berbeda agama, suku, dan ras. Karena ancaman Nightingale, maka RS mengubah kebijakannya. Dan ini menjadi cikal bakal dari sumpah perawat, yang isinya: “Tidak membeda-bedakan suku, agama, dan ras dalam perawatan.”
***
Wabah yang dihadapi Nightingale di tahun 1850-an dan wabah yang dihadapi perawat setelah 150 tahun kemudian, yaitu di tahun 2020, sangat berbeda. Jika saat itu yang dihadapi adalah pasien yang tidak berisiko besar menularkan sakitnya pada perawat yang merawatnya, saat ini risiko itu sangat besar. Beban yang dirasakan perawat saat ini pun, dalam beberapa sisi, jauh lebih besar.
Tapi jenis perawatan yang dibayangkan Nightingale sangat terwujudkan. Membantu kesembuhan secara menyeluruh, merawat secara holistik, menangani keluhan biologis, menenangkan psikologis, meningkatkan spiritual pasien, serta membantu pasien untuk mengendalikan emosi, dan mempertahankan hubungan sosial dan lingkungan yang baik. Jika Nightingale menggunakan lentera untuk mencari prajurit yang membutuhkan perawatan, maka perawat zaman sekarang menggunakan APD atau alat pelindung diri lengkap untuk memberikan perawatan.
Saat pandemi wabah Covid-19, perawat-perawat penerus Nightingale ini harus berjuang melawan rindu pada keluarga karena harus menginap di RS berminggu-minggu selama merawat pasien positif Covid-19, menggunakan APD selama berjam-jam tanpa boleh dibuka. Saking lamanya APD itu tak boleh dibuka, bahkan para perawat sampai-sampai memakai diapers sebagai salah satu cara aman agar bisa berkemih.
Nah, masalah yang dihadapi perawat di era 150 tahun dari curhatan Nightingale adalah terbatasnya ketersediaan APD, yang mencakup sarung tangan, masker, goggle (pelindung mata), baju pelindung diri, face shield (pelindung wajah), sepatu pelindung, dan topi pelindung. Kelangkaan APD ini membuat perawat cemas, bagaimana mereka akan merawat dengan maksimal jika mereka sendiri tak terlindungi.
Harga masker medis yang melambung tinggi, dan dibatasi oleh distributor dalam pengirimannya, membuat perawat yang berinteraksi langsung dengan pasien harus menggunakan satu masker untuk satu hari. Mereka melipat masker saat akan makan, menyimpan di saku baju, lalu dipakai lagi setelah makan.
Itu sebenarnya bertentangan dengan SOP dari PPI (pencegahan dan penanggulangan infeksi) yang mengatakan setiap masker habis pakai tidak boleh disimpan dalam saku tapi langsung dibuang, dan maksimal penggunaannya adalah 4 jam saja. Tapi kondisi saat ini mengharuskan perawat menggunakan masker sampai shift pelayanan selesai.
Kelangkaan dan harga yang mahal juga terjadi pada pelindung wajah. Ini membuat perawat tak hilang semangat untuk melayani. Perawat pun berusaha kreatif dengan membuat sendiri kelengkapan tersebut dari bahan plastik mika. Kurangnya ketersediaan barang dan harga yang mahal, juga terjadi pada gaun pelindung diri membuat perawat dan nakes lainnya menggunakan jas hujan sekali pakai saat merawat Pasien Dalam Pengawasan Covid-19.
Semua itu merupakan strategi darurat yang mau tak mau harus dijalani, sebagaimana Nightingale menyikapi situasi-situasi zaman itu yang juga penuh keterbatasan.
Lalu bagaimana dengan mental para perawat itu sendiri?
Banyak perawat yang mulai mengalami gangguan psikomatis. Bersin sedikit langsung cemas bahwa dirinya sudah tertular. Ketakutan pun muncul, sampai tak berani menyentuh anggota keluarga, karena merasa diri sebagai carrier pembawa virus (meskipun sebenarnya belum tentu).
Tapi, seperti halnya zaman Nightingale, perawat diharuskan untuk tetap yakin bahwa semua ini akan berlalu, dan bahwa perawat zaman kini tetap mesti memiliki semangat yang sama dengan Nightingale. Ini demi kemanusiaan, demi menyelamatkan ribuan kehidupan, tanpa membeda-bedakan para pasien yang datang dari berbagai latar belakang.
Dalam situasi pandemi, terkadang kami para perawat merenung penuh kecemasan, apakah masih bisa bertahan hidup atau menyusul nakes lainnya yang gugur dalam pertempuran melawan Covid-19. Tapi sungguh jadi pantangan keras bagi kami untuk mengeluarkan kata-kata “Saya menyesal jadi perawat.” Segala usaha dilakukan untuk melindungi diri sembari berjuang melindungi para pasien, adapun tentang akhir usaha biarlah terserah kepada pemilik kehidupan.
Seiring segenap perjuangan keras itu, kami selalu mengingat motivasi yang selalu digaungkan berulang-ulang, yaitu bahwa perawat adalah jantung rumah sakit. Jika jantung gagal melakukan fungsinya, maka kehidupan ini akan gagal.
***
Barangkali, inilah yang dimaksud oleh Nightingale tentang “150 tahun nanti”. Bahwa akan datang masa ketika perawat benar-benar melakukan perawatan secara maksimal, dan dari hati, seperti dirinya.
Semoga para perawat seluruh dunia dalam lindungan Allah. Save one life you’re a hero. Save a hundred lives and you’re a nurse.
Editor: Arif