Umat Islam kembali berduka. Baru saja seorang ulama karismatik, Syaikh Ali Saleh Mohammad Ali Jaber (usia 44 tahun), berpulang ke haribaan Allah Swt. pada Kamis pukul 08.38 WIB 1 Jumadil Akhir 1442 H/14 Januari 2021 M. Beliau adalah ulama penghafal Al-Qur’an yang dikenal dengan dakwahnya yang mencerahkan dan menyejukkan. Beliau jauh dari kontroversial. Indonesia dan umat Islam khususnya, tentu kehilangan sangat besar seorang ulama sekaligus guru panutan. Selamat jalan Syaikh, semoga husnul khatimah. Aamiin.
Sebelum Syaikh Ali Jaber berpulang, umat Islam Indonesia juga telah kehilangan ulama-ulama karismatik dalam beberapa tahun terakhir ini, seperti Ustadz Arifin Ilham (49) wafat 22 Mei 2019, KH Maimun Zubair (90) wafat 6 Agustus 2019, Prof KH Yunahar Ilyas (63) wafat 2 Januari 2020, KH Salahuddin Wahid (77) wafat 2 Februari 2020, KH Hasyim Wahid (66) wafat 1 Agustus 2020, Prof KH Abdul Malik Fadjar (81) wafat 7 September 2020, KH R Muhammad Najib Abdul Qadir Munawir (67) wafat 4 Januari 2021 dan lain-lainnya.
Wafatnya Ulama, Kehancuran Dunia
Di dalam Al-Qur’an, telah disebutkan bahwa wafatnya ulama adalah kehancuran atau rusaknya bumi. Allah Swt. berfirman:
وَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. Al-Ra’d: 41)
Para ulama ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid menyebutkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan kehancuran atau kerusakan bumi (kharab al-dunya). Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan kehancuran bumi dalam ayat tersebut adalah meninggalnya para ulama (Tafsir Ibnu Katsir 4/472).
Wafatnya para ulama adalah kehilangan besar untuk umat Islam. Kehilangan besar ini sampai-sampai digambarkan oleh para ulama tafsir sebagai rusaknya bumi karena ditinggal oleh orang-orang yang saleh dan berilmu.
Wafatnya Ulama, Musibah Tak Tergantikan
Ulama adalah pewaris para nabi. Sehingga, wafatnya ulama digambarkan dalam hadis Nabi sebagai musibah besar yang tidak tergantikan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama.” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’)
Hadis ini menegaskan bahwa wafatnya seorang ulama merupakan duka mendalam untuk umat Islam. Duka mendalam ini sampai-sampai digambar sebagai musibah yang besar dan tidak tergantikan.
Adakah duka karena musibah melebihi wafatnya seorang ulama saleh? Wafatnya ulama juga diibaratkan sebuah kebocoran yang sulit untuk ditambal. Hal ini mengisyaratkan bahwa perginya ulama merupakan kerugian besar. Jika kapal atau ban yang bocor masih bisa ditambal, namun wafatnya ulama sulit untuk digantikan.
Dalam Kitab Ihya Ulumiddin disebutkan bahwa, “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.” (Ihya Ulumiddin I/15). Wafatnya ulama juga diibaratkan padamnya bintang yang terang. Sehingga dunia menjadi gelap karena hilangnya cahaya penerang.
Wafatnya Ulama adalah Hilangnya Ilmu
Dalam hadis juga disebutkan bahwa wafatnya ulama adalah hilangnya ilmu. Rasulullah ﷺ bersabda:
خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ” ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
“Ambillah (Pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat bertanya: Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama).” (HR. Ad-Darimi, At-Thabrani No 7831 dari Abu Umamah)
Ketika ulama masih hidup, kita dapat nenuntut ilmu kepada mereka. Ulama adalah penghapus kebodohan kita. Ulama dapat menuntun kita menuju cahaya yang terang benderang dan menjauhkan kita dari gelapnya dunia.
Namun dengan wafatnya mereka, maka hilanglah ilmu. Sebab itu, selagi ulama masih hidup, cintailah mereka, menimbalah ilmu kepada mereka. Sebelum semuanya pergi dan tidak akan Kembali, hingga kita menyesal di kemudian hari.
Wafatnya seorang ulama adalah hilangnya ilmu. Dalam hadis shahih disebutkan:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari No 100)
Ulama Wafat, Lebih Dicintai Iblis daripada Meninggalnya 70 Ahli Ibadah
Menurut Imam Baihaqi dari hadis Ma’ruf bin Kharbudz, dari Abu Ja’far ra. berkata, “Wafatnya ulama lebih dicintai iblis dari pada kematian 70 orang ahli Ibadah.”
Mengapa Iblis lebih suka ulama yang meninggal, daripada 70 orang ahli badah yang meninggal? Karena ulama adalah sumber ilmu. Ulama dapat melahirkan orang-orang yang saleh.
Namun sebaliknya, orang yang ahli dalam ibadah belum tentu menjadi sumber ilmu dan dapat melahirkan orang-orang yang saleh. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa wafatnya ulama adalah hilangnya ilmu. Wafatnya ulama adalah dicabutnya ilmu.
Ulama adalah bagaikan bintang yang menjadi penerang. Sehingga iblis digambarkan senang dengan meninggalnya ulama, karena dunia akan menjadi gelap dan suram.
Kiranya tepat jika kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “…meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama.” Hadis ini menegaskan bahwa wafatnya ulama meninggalkan duka mendalam dan kerugian yang besar.
Dalam Kitab Maraqil ‘Ubudiyah karya Imam Nawawi Al-Bantani yang merupakan Syarah dari Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali, disebutkan: “Siapa yang tidak bersedih dengan kematian seorang ulama, maka ia termasuk munafik.”
Duka yang paling mendalam bukan akibat dari kepergian seorang ulama, namun duka yang sesungguhnya adalah ketika tidak ada lagi yang mampu menggantikan atas kepergiannya.
Menjadikan Kematian sebagai Nasehat Terbaik
Ibnu Umar ra. berkata, “Aku datang menemui Nabi Muhammad saw. bersama sepuluh orang, lalu salah seorang Anshar bertanya, siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia wahai Rasulullah? Nabi menjawab, orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang-orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan.” (HR. Ibnu Majah)
Mari kita jadikan setiap peristiwa kematian sebagai guru dan nasehat terbaik. Amar bin Yasir ra. berkata, “Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat dan pelajaran. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kegiatan yang menyibukkan.”
Dengan mengingat kematian, kita akan memendekkan angan-angan dunia. Kematian menyadarkan kepada kita bahwa hidup di dunia tidaklah lama, hanya sementara. Dengan mengingat kematian, kita akan bersegera dalam berkarya dan bergegas menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya. Sadarilah, cepat atau lambat, suka atau tidak, maut pasti akan datang menjelang.
Editor: Zahra