Bukan sekali dua kali saya mendengar dan membaca komentar dari seorang kawan NU bahwa mereka lebih lucu dari Muhammadiyah. Hari itu pun sama saja. Seorang kawan di Facebook membanggakan orang-orang di organisasinya yang lebih humoris dan ndagel dibanding warga Muhammadiyah.
Ah, itu sih (sekali lagi) sudah biasa. The question is why? Kenapa? Kok bisa? Kenapa NU lucu dan Muhammadiyah tidak lucu? Dan kenapa NU sepertinya ingin melanggengkan tradisi kelucuannya, sedangkan di sisi lain, Muhammadiyah bodo amat?
Memang, ada jejak di sana-sini yang menggambarkan usaha Muhammadiyah menjadi lucu. Tapi so far, NU belum ada tandingannya. Kadang saya berpikir begini, mungkin asal tempat kedua organisasilah yang membuat nature mereka berbeda. Sebab, meski sama-sama berasal dari tanah Jawa, tapi NU lahir di Jawa Timur sedangkan Muhammadiyah lahir di Yogyakarta.
Anda tahu kan bagaimana masyarakat Yogya dengan Jawa Timur? Bisa jadi, kultur keraton yang kuat di Yogya membuat Muhammadiyah lebih sungkan dan serius. Sedangkan bagi NU, lokasi Jawa Timur yang jauh dari keraton justru membuat suasana menjadi tidak saklek-saklek amat. Pergaulan pun lebih hangat tanpa banyak aturan ini itu. Hasilnya, guyonan super nyeleneh bisa lahir dalam kultur ini dan diterima asyik-asyik saja.
Atau, bisa jadi perbedaan ini berasal dari tradisi pesantren versus sekolah? Ah, kenapa tidak? Yang saya amati secara anekdotal, para kyai cenderung lebih suka melontarkan humor dibanding guru. Apalagi guru zaman sekarang yang tugas administrasinya bikin pusing. Mana bisa orang bercanda dalam situasi yang bikin pusing itu?
Rasanya, banyak sekali dugaan-dugaan liar yang bisa saya kembangkan. Namun, hal yang tak bisa ditampik adalah kehadiran sosok Gus Dur. “Kamu nggak bakal nemu orang kayak Gus Dur sering-sering,” begitu komentar teman bule saya dengan Bahasa Inggris yang saya terjemahkan sekenanya.
***
Ia kemudian meneruskan, “Mana ada presiden yang serius benar menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tapi kegemarannya bercanda seperti itu? Padahal, biasanya orang-orang seperti itu serius. Lihat aja Gandhi sama Malala Yousafzi.”
Dan memang, di antara semua “jurusan” NU, Gusdurianlah yang paling lucu dan ingin melestarikan dengan kelucuannya. Muhammadiyah memang punya sosok yang sama baiknya dengan Gus Dur. Beliau bernama Buya Syafii Ma’arif yang komitmen pada persoalan toleransi dalam negerinya tak diragukan lagi.
Hanya saja, memang harus diakui bahwa Buya jarang hadir di publik sebagai sosok humoris seperti Gus Dur. Ia lebih mirip seorang akademisi berpikiran lurus yang senang merenungi nasib umat dan bangsa ini. Kalau diibaratkan sebagai sosok manusia pun, bayangan saya terhadap “manusia Muhammadiyah” tak beda jauh dari gambaran Buya Syafii.
Saya membayangkan Muhammadiyah versi manusia sebagai sosok yang berperawakan tinggi dan kurus. Kacamatanya tebal dan urat di tangannya terlihat biru karena kulitnya putih akibat jarang keluar ruangan. Dan tentu saja, ia sedang sibuk mengurus masalah kelangsungan organisasi dari balik komputernya.
Tak lupa, sebuah papan “Jangan Diganggu” terpasang di pintu masuk ruangan itu. Kalau ada yang berani mengganggu? Siap-siap diberi tatapan jengkel yang menusuk jiwa.
Di sisi lain, saya membayangkan NU sebagai sosok yang santai. Ia sedang duduk di tikar memimpin acara rapat desa. Di depannya tersaji segelas kopi hitam pahit. Dan, sambil berkelakar bersama warga desa yang dipimimpinnya, ia menyeruput kopi itu sambil menikmati senja… eh, maksud saya rokok.
Ia jelas punya komitmen besar untuk mewujudkan masyarakat yang rukun dan damai, tapi humor adalah bagian dari dirinya yang tak bisa dihilangkan. Prinsipnya adalah, “Kalau bisa bercanda, kenapa harus serius?” Tapi dari prinsip tersebut, ia justru mampu menggaet massa yang lebih banyak dibanding si “Muhammadiyah.”
***
Well, kira-kira demikian saya membayangkan Muhammadiyah dan NU dalam sosok manusia. Kedua-duanya unik dan punya kontribusi sendiri untuk negeri ini. Makanya, kalaupun Muhammadiyah tidak lucu, ya itu tidak kenapa-kenapa. Kenapa juga Muhammadiyah harus meniru NU? Hayo!
Toh bisa jadi, memang sudah takdir Muhammadiyah untuk tidak lucu. Sudah dari sananya! Atau bisa jadi, ketidaklucuan Muhammadiyah adalah bentuk pengorbanannya saat harus mengurus organisasi yang ia cintai betul.
Lagipula, kalau kita memaksa Muhammadiyah buat lucu, justru kita yang repot nanti. Bayangkan, bagaimana absurdnya kalau suatu saat Muhammadiyah membuka jurusan stand up comedy di kampus-kampusnya? Atau, mewajibkan matpel srimulat di sekolah-sekolahnya hanya karena ingin menyaingi NU?
Kan tidak lucu, toh? Kecuali kalau suatu hari NU sama Muhammadiyah perang stand up comedy. Saya kira itu gagasan yang super lucu sekali dan perlu direalisasikan demi kemaslahatan umat negeri. Jangan lupa juga, battle rap yang dikemas ala ERB (Epic Rap Battles). Saya kira kita butuh kesegaran semacam itu di tengah tahun 2020 yang ambyar ini.