Perspektif

Warganet Indonesia untuk Palestina (1): Membentuk Resiliensi Menghadapi Determinasi Algoritma Medsos

2 Mins read

Siapa sangka cara penulisan pesan teks yang mencampur berbagai variasi bentuk dari huruf, simbol, angka, hingga emoticon bisa menjadi sandi komunikasi perjuangan Palestina dan menyerukan protes boikot Israel beserta produk yang terkait dengannya di Indonesia.

Cara penulisan demikian pernah marak pada era ponsel masih digunakan sebatas mengirim pesan singkat. Dalam penulisan kata aku saja, bisa divariasikan dalam wujud aQ, aq, aqu, ak, atau aku. Perkembangan media sosial dan aplikasi pesan membuat kita memandang cara mengetik demikian dengan seloroh mengejek ‘alay’.

Pengalaman Kultural Alay

Kini, pengalaman berkomunikasi dengan cara demikian justru menjadi bagian penting dalam membentuk resiliensi terhadap determinasi algoritma media sosial. Algoritma media sosial bekerja dalam relasi ekonomi pusat yang berdimensi global. Bahwa saya sebagai pengguna Instagram di Indonesia, lebih spesifik lagi di Kabupaten Bogor, tidak sepenuhnya terbebas dari aturan yang ditentukan di California, Amerika Serikat, tempat kantor pusat Meta sebagai induk perusahaan Instagram berada.

Otoritas saya menulis pesan boikot Israel dan pesan solidaritas terhadap Palestina tidak berlaku sepenuhnya. Beberapa unggahan teman media sosial saya, mengeluhkan bahwa unggahan mereka terkait dua pesan itu tiba-tiba hilang. Ada tangan tidak terlihat (invisible hand) yang mempengaruhi keberadaan sikap politik teman-teman saya, saya dan mungkin semua orang. Pada titik itu kita bisa memahami mengapa Israel ditulis IsraHell, Hamas ditulis H4m45, atau varian penulisan lainnya.

Pada titik tertentu pengalaman kultural menjadi alay membantu kita adaptif terhadap censorship yang dicangkokan perusahan media sosial dalam mesin algoritmanya. Kita membuat sandi komunikasi dengan pengalaman alay itu. 

Pertumbuhan Kompetensi Digital

Pengalaman kultural yang dibagi dapat menjadi faktor penting bagi pertumbuhan atau peningkatan kompetensi komunikasi digital. Pada derajat censorship lebih ketat, netizen Indonesia bisa berkomunikasi dalam level kontekstual. Secara teori pragmatik, mereka berkomunikasi tanpa menghadirkan unsur simbolik dalam teks komunikasi mereka. Penalaran sepenuhnya bergantung pada pengalaman kultural yang sama.

Baca Juga  Revolusi Sedekah dan Semangat Tahun Baru

Pada derajat ketidaklangsungan yang lebih meningkat, mereka menyimpangkan negara referen dengan sebutan wakanda dan konoha, yang merupakan dua tempat fiktif dari serial anime dan film Hollywood itu bukan yang dituju dalam tindakan komunikasi. Pola penyimpangan simbolik ini sama seperti ejekan tuli atau budeg yang disampaikan metaforis dalam ‘kiraku dheweke wis ngerti pangundangku, nanging njangan gori’. Subroto, Raharjo, Sujono, dan Sutarjo (2000) menganalisis pergerakan makna dari gori menjadi budeg atau tuli secara demikian.

Tuturan metaforis njangan gori ‘bergaya bagaikan sayur dari nangka muda’ sama dengan ‘gudeg’. Hal itu diasumsikan sudah dikenai dalam kehidupan sehari-hari. Bunyi suku kata !deg! dari kata gudeg berkorespondensi dengan suku kata !deg! pada kata budeg ‘tuli’ . Jadi, maksud wangsalan itu ialah mengungkapkan pendapat penutur kepada lawan tutur yang berintikan sekalipun dia sudah tahu kalau saya undang, tetapi dia bergaya pura-pura tidak mendengar (tuli) (hal. 22).

Resiliensi komunikatif bagi masyarakat yang memiliki akar kultural komunikasi simbolik merupakan hal yang mudah terbentuk.

Transformasi Kekuatan Kultural

Disadari atau tidak, secara tidak langsung pengalaman kultural (tradisional) sebagai bangsa Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang berkomunikasi berbelit-belit dan tidak langsung itu memberi modal kultural yang ditransformasikan ke era digital. Pengalaman kultural ini membuat penyampaian protes dan penggalangan boikot di Indonesia melalui media sosial tetap berlangsung di tengah determinasi algoritma yang transnasional.

Pengembangan komunikasi demikian menjadi pilihan paling masuk akal supaya didayagunakan untuk mendukung perjuangan Palestina, daripada menyerukan boikot total dari produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Semisal, ada media sosial yang mendukung invasi Israel, selagi masih dapat digunakan untuk perjuangan, tidak perlu diboikot pula. Infrastruktur digital ini dapat digunakan justru untuk melawan tujuan dari pemilik infrastruktur itu sendiri.

Baca Juga  Mahmoud Darwish, Memperjuangkan Palestina Lewat karya Sastra

Ironi yang sebenarnya memiliki makna ejekan, sama seperti peringatan Hamzah kepada Umar bin Khattab tatkala pertama kali mendatangi Rasulullah. Hamzah mengancam menebas Umar dengan senjata milik Umar sendiri bila berniat mencelakai Rasulullah – sebuah peringatan yang mencemooh karena menunjukkan kompetensi diri lebih dari lawan yang dihadapi sampai dapat merebut senjata dan digunakan untuk mencelakai pemiliknya sendiri.

Editor: Rivan

Avatar
8 posts

About author
Research Center for Society and Culture (PMB) Institute of Society Sciences and Humanities (IPSH) National Research and Innovation Agency (BRIN)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds