Bertambah lagi pahlawan dari Muhammadiyah. Pada 8 November 2018, Mr Kasman Singodimedjo dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres Nomor 123/TK/Tahun 2018. Kasman Singodimedjo adalah tokoh Muhammadiyah yang berjasa besar untuk Tanah Air. Dia turut hadir dalam Kongres Pemuda II pada Juni 1928. Saat itu, Kasman Singodimedjo menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB) atau dikenal sebagai “Pemimpin Pemuda Islam”. Selanjutnya, pada 1930-1935, Kasman Singodimedjo menjadi ketuanya. Kemudian, pada Kongres Pemuda II, Kasman Singodimedjo turut berperan mencetuskan Sumpah Pemuda.
Dengan demikian, total tokoh Muhammadiyah yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional genap 12 orang. Selain Kasman Singodimedjo, mereka antara lain Ahmad Dahlan (ditetapkan 1961), Juanda (ditetapkan 1963), Fakhruddin (ditetapkan 1964), Jenderal Sudirman (ditetapkan 1964), Mas Mansur (ditetapkan 1964), Siti Walidah (ditetapkan 1971), Fatmawati Soekarno (ditetapkan 2000), Gatot Mangkupraja (ditetapkan 2004), Hamka (ditetapkan 2011), Soekarno (ditetapkan 2012), dan Ki Bagus Hadikusumo (ditetapkan 2015).
Apabila dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU yang bergelar Pahlawan Nasional, Muhammadiyah lebih banyak. Selain itu, Muhammadiyah juga sudah memiliki Pahlawan Wanita. Adapun Pahlawan Nasional dari kalangan NU ada 8 orang, yaitu Hasyim Asy’ari, Abdul Wahid Hasyim, Zainul Arifin, As’ad Syamsul Arifin, Zainul Mustofa, Idham Chalid, Abdul Wahab Hasbullah, dan Syam’un.
Sejak negara ini di rahim sejarah, para pemimpin Muhammadiyah memang sudah aktif berbuat untuk negeri. Dalam alam Indonesia merdeka, Muhammadiyah juga turut membangun bangsa melalui ribuan amal usaha yang tersebar dari Mianggas hingga Pulau Rote, dari Sabang sampai Merauke. Dalam buku “Aliran Pembaruan Islam”, Djarnawi Hadikusuma menuturkan bahwa KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memandang Islam bukan semata agama pribadi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah.
Lebih dari itu, Islam adalah way of human life in all aspects. Benar bahwa segala praktik ibadah formal yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan Rasulullah harus digilas habis lewat lembaga pendidikan, pengajian, dan ceramah umum. Tetapi, Kyai Dahlan juga aktif dalam berbagai aksi pemberdayaan sosial. Itulah kenapa Muhammadiyah mendirikan ribuan lembaga pendidikan, balai pengobatan, panti asuhan, rumah jompo, rumah miskin, dan lainnya.
Misi tajdid dalam Persyarikatan ini tidak hanya berdimensi purifikasi, namun juga dinamisasi. Dengan makna lain, Kyai Dahlan mengajak umat untuk memurnikan ajaran Islam dengan kembali ke Al-Qur’an dan hadis sahih sekaligus juga melakukan pencerahan kehidupan lewat berbagai pemikiran dan gerakan pemberdayaan. Bahkan, jika kita amati perjuangan Muhammadiyah di masa-masa awal, pembaruan Kyai Dahlan bukan semata soal pelurusan arah kiblat Masjid Besar Kauman berdasarkan ilmu falak. Etos gagasan dan gerakan Kyai Dahlan yang jauh lebih monumental sebenarnya ialah keterbukaan sikap dalam mencerap puncak-puncak peradaban dan melintasi sekat bangsa dan agama.
Tiga tokoh pembaru Islam yang saat itu sangat menginspirasi Kyai Dahlan adalah Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kyai Dahlan sepakat dengan ide Jamaluddin Al-Afghani bahwa Islam ialah agama yang selaras dengan akal, kemajuan, dan peradaban. Sementara itu, gairah Kyai Dahlan dan Muhammadiyah dalam berbagai aksi sosial mirip jalan yang ditempuh oleh Muhammad Abduh. Selain sebagai tokoh pembaru dalam bidang pemahaman Islam, Abduh merupakan pembaru dalam bidang perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di lingkungan Al-Azhar. Juga tidak boleh dilupakan letupan api Kyai Dahlan yang berasal dari Rasyid Ridha. Lewat perantaraan KH Baqir, Kyai Dahlan bertemu dan berkenalan dengan Rasyid Ridha yang kebetulan berada di Mekah, dan ide pembaruan Kyai Dahlan semakin menghunjam ke dada sejak itu.
Kendati demikian, penting dicamkan, pembaruan Kyai Dahlan tidak serta-merta bisa dirujukkan secara autentik kepada Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, apalagi Muhammad Abdul Wahhab. Menurut Abdul Munir Mulkhan, gagasan genial Kyai Dahlan mencairkan hegemoni tafsir Salafi. Berbagai aksi sosial Kyai Dahlan mencerminkan kesesuaian antara natural tafsir Al-Quran, pengalaman kemanusiaan universal, dan temuan iptek. Rasionalisasi pemahaman dan praktik ritual mungkin diambil dari tokoh pembaru, tetapi inovasi kreatif pragmatis-humanis tersebut diambil dari pengalaman kaum Kristiani di Tanah Air, dipadu dengan pengalaman induktif kemanusiaan universal Kyai Dahlan sendiri.
Kyai Dahlan benar-benar sosok pencerah. Sulit ditemukan tafsir klasik yang menjelaskan makna Al-Quran sebagaimana pemahaman Kyai Dahlan. Pemaknaan Kyai Dahlan atas surah Ali Imran ayat 104, misalnya, menjadi basis teologi organisasi modern sebagai instrumen ritual dan pemecahan problem kehidupan. Pembacaan beliau atas surah Al-Ma’un juga melahirkan aksi-aksi pemberdayaan. Tidak heran, pembaruan di tubuh Muhammadiyah berbeda dari gerakan Islam mana pun di dunia. Muhammadiyah tidak hanya berbicara soal pemurnian akidah, tetapi juga memajukan kehidupan. Muhammadiyah welcome terhadap sumber ilmu dari mana pun, sepanjang untuk kemajuan Islam.
Jati diri demikian sudah diamini oleh banyak pemikir dan peneliti dalam dan luar negeri. Alfian (1989) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Deliar Noer (1996) menyebutnya gerakan Islam modern. Azyumardi Azra (2005) menyebutnya gerakan salafiah wasithiah. Soekarno menyebutnya gerakan Islam progresif. William Shepard (2004) menyebutnya gerakan Islamic modernism. Nakamura (1983) menyebutnya gerakan yang patuh dan disiplin, tetapi toleran. Charles Kurzman (2003) menyebut Kyai Dahlan dan Muhammadiyah sebagai Islam liberal.
Islam berkemajuan
Kini, setelah melewati usia satu abad, Muhammadiyah sudah dan terus berjuang mewujudkan Islam berkemajuan, identitas Muhammadiyah yang berasal dari harapan Sang Pencerah. Sebagaimana pernah dinyatakan M Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Muhammadiyah itu ahsanu amala, bukan katsura amala. Maksudnya, karya yang banyak di Muhammadiyah itu dilakukan secara ihsan, profesional. “Dalam Muhammadiyah, bukan angka yang bicara, namun kualitas yang bicara,” tulisnya dalam buku “Muhammadiyah untuk Semua”.
Muhammadiyah tidak berhenti bergerak, karena hidup adalah gerak. Melalui lembaga pendidikan, Muhammadiyah turut mencerdaskan kehidupan berbangsa. Lewat lembaga pelayanan kesehatan, Muhammadiyah hendak membangun bangsa sehat dan kuat. Dengan lembaga pelayanan sosial, Muhammadiyah bermaksud meringankan beban kaum miskin dan melarat. Kemudian, para mubalig Muhammadiyah juga terus bergerilya menemui umat dan mengajak mereka menuju keberagamaan rasional dan berkemajuan.
Rahasia sukses Muhammadiyah, menurut M Din Syamsuddin dalam buku tersebut, tidak lain karena Muhammadiyah selalu mengembangkan prinsip jalan tengah (median position) dan menjadi tenda besar yang menaungi kemajemukan masyarakat. Muhammadiyah menjadi kekuatan penengah dan perantara (mediating and moderating force) dalam konfigurasi keragaman bangsa. Muhammadiyah menyuntikkan energi kemajuan dan kejayaan di tengah kemajemukan dan keragaman.
Islam, sebagaimana dipahami Muhammadiyah, ialah agama kemajuan dan peradaban. Keberislaman sejati haruslah keberagamaan yang mendorong kemajuan kebudayaan dan peradaban. Kemunduran, apalagi keterpurukan, itu bertentangan dengan watak Islam. Karena itu, Muhammadiyah merasa terpanggil untuk mencerahkan kehidupan bangsa dan umat dari dulu hingga sekarang. Muhammadiyah berikan bukti, bukan janji.
Terakhir, jalan ke surga tidak harus lewat Muhammadiyah. Namun, salah satu ciri Muhammadiyah adalah tegas dalam urusan ibadah dan akhlak. Dalam wilayah akidah dan ibadah, Muhammadiyah bersifat tajrid bin statis alias hanya mencukupkan diri dari perintah Al-Quran dan contoh dari Kanjeng Nabi. Tidak ada kreativitas dalam wilayah ini. Al-Quran bicara apa, hadisnya bagaimana, itulah yang Muhammadiyah lakukan. Adapun watak tajdid bin dinamis alias terus berkemajuan sesuai irama zaman adalah dalam wilayah muamalah duniawi.
Ringkas kata, Muhammadiyah dapat dikatakan fundamental dalam urusan akidah, namun liberal dalam urusan muamalah. Yang terjadi sekarang, sering kita terbalik-balik. Dalam urusan dunia, kita mandek. Kreatifnya justru sering dalam urusan ibadah. Ada pula kekeliruan fatal umat Islam. Agama dipahami secara sempit, dan seolah tidak ada kaitannya dengan urusan hidup dan kehidupan ini. Padahal, Islam adalah panduan hidup yang lengkap. Kebahagiaan manusia yang sesungguhnya, sejak di dunia hingga akhirat, sangat ditentukan seberapa kukuh dia berpedoman rambu dan petunjuk Allah melalui ajaran Islam. Masih adakah yang mempersoalkan peran dan kontribusi nyata Muhammadiyah?