Opini

Whoosh dan Tantangan Pemerataan Transportasi Publik di Indonesia

3 Mins read

Saya belum pernah naik Whoosh. Jangankan naik, mendengar suaranya pun belum pernah. Saya cuma remaja di Jawa Tengah yang masih akrab dengan kereta lokal dan Prameks. Kadang berangkat tepat waktu saja rasanya seperti dapat rezeki nomplok. Tapi belakangan ini, kereta cepat Jakarta–Bandung itu sering muncul di beranda reels-ku, dibicarakan di warung kopi, jadi bahan debat di TikTok. Katanya, ini simbol kemajuan bangsa. Bangsa yang bisa melesat 350 kilometer per jam, tapi ironisnya, manusia-manusianya masih sibuk mencari alasan kenapa telat lima belas menit.

Sebagai remaja yang tinggal di Jawa Tengah, saya hanya bisa menonton video orang naik Whoosh di TikTok sambil menelan ludah. Katanya sih, “Whoosh membuat jarak serasa dekat.” Tapi buat kami yang tinggal jauh dari jalur relnya, justru terasa makin jauh. Karena hanya bisa melihat, tidak bisa naik.

Ketimpangan Transportasi Publik di Daerah

Ketimpangan pelayanan perkeretaapian di Jawa Tengah saja sudah bikin miris. Kawasan Pati Raya yang meliputi Kudus, Jepara, Pati, dan Rembang belum tersentuh rel kereta api. Stasiun Wergu Kudus yang sudah ada sejak 1919 kondisinya mangkrak dan tidak terurus sejak jalur kereta ditutup pada 1986. Warga di sana harus berjam-jam ke Semarang kalau mau naik kereta atau ke daerah Grobogan yang memiliki beberapa opsi stasiun itu pun harus lintas kota dulu.

Reaktivasi jalur kereta api Semarang–Rembang sudah masuk dalam masterplan perkeretaapian Indonesia hingga 2030 dan ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional. Katanya akan beroperasi selambat-lambatnya tahun 2023. Sekarang sudah 2025, masih belum ada titik terang. Sementara itu, kita sibuk membangun kereta yang bisa melaju 350 km/jam untuk jalur 142 kilometer.

Baca Juga  Penjara Saydnaya: 'Rumah Jagal Manusia' Bukti Kekejaman Rezim Assad

Sangat terlihat kesenjangannya: merelakan “hits” seperti “wah Indonesia punya kereta cepat, kayak Jepang!” daripada pelayanan masyarakat yang merata. Beda banget sama warga Jakarta–Bandung yang bisa santai update story, “Cuma 40 menit! Whoosh memang masa depan.” Sementara kami di sini, sinyal kadang hilang di tengah sawah, apalagi mau ikut masa depan.

Whoosh: Cepat Buat Siapa?

Whoosh memang keren. Sejak beroperasi Oktober 2023 hingga akhir 2024, Whoosh telah mengangkut 7,1 juta penumpang dengan rata-rata 19.000 penumpang per hari. Tapi dari jauh, rasanya agak janggal. Menurut survei KCIC pertengahan 2024, 44 persen penumpang menggunakan Whoosh untuk berlibur dan 34 persen untuk bisnis. Ini bukan transportasi komuter untuk pekerja, ini transportasi rekreasi untuk kelas menengah ke atas.

Dari awal, Whoosh disebut-sebut sebagai “loncatan peradaban”. Tapi buat saya, ini lebih mirip “loncatan jarak sosial”. Proyek yang menelan biaya Rp120,38 triliun ini katanya untuk rakyat, tapi lokasinya hanya melayani dua kota besar. Di negeri yang keretanya saja belum merata, kita malah bikin yang supercepat. Kayak punya sandal bolong-bolong, tapi pengin beli sepatu jet.

Lebih menyakitkan lagi, biaya proyek ini termasuk yang termahal kedua di dunia dengan biaya konstruksi sekitar Rp780 miliar per kilometer. Bandingkan dengan kereta cepat sejenis di China yang hanya menghabiskan US$17–18 juta per kilometer. Proyek Whoosh ini juga mengalami pembengkakan biaya sebesar Rp18,36 triliun dari target awal.

Sekitar 75 persen biaya proyek ini dibiayai utang dari China Development Bank dengan beban bunga tahunan sekitar Rp1,2 triliun. Proyek ini diproyeksikan baru balik modal dalam 40 tahun. Empat puluh tahun. Generasi yang lahir tahun ini baru akan melihat Whoosh untung saat mereka berusia 40 tahun.

Baca Juga  Madarij Al-Shu’ud, Syarah Maulid Nabi Karya Syekh Nawawi al-Bantani

Yang Melesat Cuma Gambarnya

Teknologi memang bikin kagum, tapi jangan lupa: kemajuan bukan cuma soal kecepatan, tapi juga pemerataan. Kita bisa punya kereta 350 km/jam, tapi kalau hanya segelintir orang yang bisa menikmatinya, ya sama saja: yang cepat cuma videonya, bukan hidupnya.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi, Deddy Herlambang, menilai Whoosh belum ideal karena belum mampu menarik para pekerja komuter. Dengan harga tiket Rp150.000–Rp250.000, Whoosh masih terlalu mahal untuk dijadikan transportasi sehari-hari. Padahal kalau tarifnya diturunkan, banyak orang akan beralih dan Stasiun Karawang bisa dioptimalkan menjadi hub komuter.

Kalau boleh memilih, saya lebih ingin kereta lokal yang pasti berangkat daripada Whoosh yang cuma bisa saya tonton.

Seharusnya Whoosh Diterapkan di Banyak Daerah

Mungkin Whoosh ini bukan kereta cepat, tapi cermin cepat. Ia memperlihatkan siapa yang sudah siap melaju dan siapa yang masih ditinggal di peron.

Tapi bukan berarti kita harus nyinyir selamanya. Kalau memang Whoosh mau disebut simbol kemajuan, semestinya kemajuan itu bisa menular ke daerah lain. Pemerintah bisa mulai dari hal sederhana: mempercepat reaktivasi jalur kereta api Semarang–Rembang yang sudah ditetapkan sebagai PSN sejak lama, mengoptimalkan Stasiun Karawang untuk menarik komuter dengan menurunkan tarif, dan memperbaiki konektivitas transportasi lokal.

Nggak perlu semua daerah punya Whoosh, tapi setidaknya punya akses transportasi yang layak. Karena kemajuan bukan soal seberapa cepat kita sampai di Jakarta, tapi seberapa banyak orang yang bisa ikut berangkat atau minimal pembangunan yang merata saja.

Dan semoga suatu hari nanti, kita semua benar-benar bisa melaju bersama, tanpa ada yang tertinggal di peron atau bahkan sulit merasakan naik kereta.

Baca Juga  Djazman: Kolektivitas adalah Kunci Kemajuan Organisasi

Editor: Assalimi

Avatar
1 posts

About author
Ketua PW IPM Jawa Tengah
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *