Jujur, saya akui bahwa judul tulisan ini memang menjiplak daripada lagu ciptaan salah satu jawara dangdut koplo bernama Abah Lala, “Wong Edan Kuwi Bebas”. Lagu ini belakangan sering saya dengarkan—begitu juga lagu dangdut koplo lainnya—untuk menghibur diri dari perasaan jenuh dan muak akibat overdosis serbarupa informasi soal tragedi yang tertuang di media massa yang sarat dengan infeksi dan kematian.
Wong Edan dan Covid-19
Terus terang, informasi-informasi itu cukup banyak menyedot faktor “fun” dalam hidup saya, sedangkan manusia tidak pernah, dan tak akan pernah ingin mengakrabi, apalagi bermesraan, dengan kematian. Barangkali, itulah mengapa Yang Maha Pemilik Hidup hanya memberi manusia jatah untuk mati sekali seumur hidup, itupun disertai rasa duka yang mendalam dan tangis jam-jaman, bahkan berhari-hari.
Garibnya, rupanya berita soal sangarnya ulah Covid-19 tak tertangkap oleh indra dan pikiran orang-orang edan (gila), sehingga barangkali mereka boleh dikatakan bebas. Hidup orang-orang edan ini tampak seperti di hari-hari lumrah lainnya, bebas berkelana dari tempat satu ke tempat lainnya, tanpa modal. Bebas tinggal di manapun mereka suka, dengan uang muka nol persen, tanpa cicilan.
Aturan-aturan yang disepakati oleh khalayak banyak dapat mereka terabas sesuka hati. Makan apa saja, berjalan semaunya, bebas dari tanggung jawab menjaga kebersihan tubuh, berpakaian manasuka, tak berpakaian pun tetap rancak. Bahkan, meski barangkali tak paham dan menggagas imbauan social ditancing di masa wabah Covid-19 ini, orang gila bisa tetap aman karena tak sedikit khalayak di sekitarnya yang beramai-ramai menjauhi mereka.
Tentu saja, di atas itu adalah segelintir gambaran tentang perilaku penderita penyakit gila dalam pengertian klinis (yakni mereka yang terganggu kesehatan mentalnya). Teori yang beredar di dunia kuno menghubungkan penyakit gila dalam pengertian klinis dengan anjloknya rasa humor dalam diri seseorang atau gangguan roh terhadap seseorang, sains modern menghubungkannya dengan faktor biologis, psikologis, dan lingkungan.
Sederhananya, sebagaimana diterangkan psikolog sosial Erich Fromm, orang menjadi gila karena kebutuhan dasar mereka tak terpenuhi (1991:66), selain juga ulah mereka tidak dimaksudkan untuk merugikan orang lain.
Gila Sosial
Sedikit berbeda dari penderita penyakit gila dalam pengertian klinis, kini di tengah masyarakat juga ramai berkeliaran para pengidap penyakit gila dalam pengertian sosial. Orang-orang yang gila dalam pengertian sosial ini tak lain adalah insan yang ngawur, pembuat onar, dan akrab dengan pelanggaran norma sosial, sehingga dapat merugikan orang lain. Mereka adalah orang-orang pengidap neurosis, tergila-gila pada suatu hal dan tak pernah merasa puas, sekalipun kebutuhan dasarnya telah tercukupi, kata Fromm.
Tak jarang, pengidap neurosis ini hidupnya malah serba khawatir, lantaran kedanan donya (tergila-gila pada dunia), kedanan duit (tergila-gila uang), kedanan pangkat lan jabatan (tergila-gila pada pangkat dan jabatan), kedanan hormat (tergila-gila pada rasa hormat), dan, yang tak kalah serunya, kedanan wedokan (tergila-gila pada perempuan), termasuk wedokane wong liya.
Panic buying sambil memenangkan diri sendiri dan menihilkan kebutuhan orang lain di kala Covid-19 merajalela barangkali juga merupakan gejala penderita neurosis, demikian pula dengan ulah para produsen atau distributor yang aji mumpung menaikkan harga barang di kala krisis seperti sekarang ini.
Berbeda dari orang gila dalam pengertian klinis, pikiran para pengidap neurosis itu jauh dari bebas, lantaran penuh rasa khawatir dan siasat-muslihat. Terang sekali hayat kemanusiaannya terganggu, lagi bangkrut akhlaknya. Tak jarang pula dari mereka yang lantas kacau pikiran dan perilakunya, hingga akhirnya ada yang malah berdevolusi menjadi orang gila dalam pengertian klinis.
Fromm menyebutkan bahwa kegilaan dalam pengertian sosial berkaitan erat dengan alienasi manusia. Itu lantaran orang gila teralienasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki, berdevolusi menjadi makhluk satu dimensi yang terlampau mendewakan urusan diri sendiri dan duniawi, sehingga mereka mengerahkan segenap hawa nafsu dan usahanya hanya untuk mengejar memenangkan diri sendiri.
Tsunami Kecemasan dan Keserakahan
Orang-orang yang demikian itu memang maju dalam perkara intelek, namun akal dan nuraninya bangkrut. Orang-orang semacam itu hanya menerima realitas apa adanya, lantas memanipulasinya sekehendak hati, tanpa sudi mempertanyakaan apa yang ada di belakang realitas itu, mengapa realitas itu ada, dan akan menjadi apa realitas itu kelak, terang Fromm (1955:166).
Layaknya penderita neurosis pada umumnya, mereka dapat dibuat gila oleh tsunami kecemasan dan keserakahan, yang menurut sosiolog Michael Mazaar akan kian semarak mengemuka di tengah manusia sedunia, dan pada gilirannya memunculkan depresi yang, menurutnya, kini banyak menghantam banyak peradaban (terkhusus Barat), juga jauh lebih berbahaya dari penyakit jantung (1999:251, 254).
Terkait penyakit tergila-gila (kedanan) yang menimpa masyarakat modern, seabad yang lalu Kiai Dahlan pernah berpesan, “Kita manusia dilarang menghambakan diri kepada siapapun atau benda apapun juga, kecuali hanya kepada Allah semata. Barangsiapa yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, artinya mengerjakan apa saja yang diinginkan dengan didorong oleh hawa nafsu, itu musyrik namanya” (dalam Hadjid, 2018:46).
Pesan pamungkas Kiai Dahlan itu menjadi harta yang berguna bagi masyarakat modern, sehingga harus senantiasa diresapi dan diamalkan, agar kita tak menjadi calon orang gila. Untuk mengobati kegandrungan akan dunia, Kiai Dahlan berpesan agar umat “memperhatikan batas-batas atas segala sesuatu,” dalam artian, mendongkrak kesederhanaan (moderasi) (dalam Mulkhan, 2015).
Pesan itu niscaya tentu mengajak kita pada kesederhanaan. Pula dapat menuntun kita menjadi makhluk yang well-being dalam pengertian Fromm, yakni manusia yang dapat melihat secara realistis, rasional, dan objektif, terhadap kehidupan. Manusia well-being hanya ingin memiliki yang terutama baginya saja dan dengan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan (existensial having) (2008:70). Sehingga manusia menjadi lebih welas asih, rasional, dan dapat membedakan mana yang keinginan dan mana yang kebutuhan. Menjadi lebih jelas, lebih dekat dengan realitas, jauh dari bermegah-megahan, juga jauh dari kerumitan.
***
Dengan mengamalkan ajaran agama secara sebenar-benarnya melalui sikap sederhana, welas asih, objektif, dan rasional di kala krisis dan juga di situasi biasa, sebetulnya manusia sedang—dalam bahasa Buya Ahmad Syafii Maarif—mengundang intervensi Tuhan untuk menyelesaikan urusan dan problema manusia. Sebab, dengan membumikan perintah Tuhan, maka turun pula kebaikan surgawi ke dunia ini.
Akhirnya, karena situasi dunia belakangan ini menguji kewarasan banyak orang, untuk kita semua saya memohon lindungan Allah dari penyakit edan (gila), kedanan (tergila-gila), lepra, kusta, dan, tentu saja, virus Covid-19 dan virus-virus lainnya. Sebab, siapa tahu di situasi seperti ini hayat kemanusiaan dan kewarasan kita tengah diuji oleh-Nya.
Dan, tentu saja, jangan sampai kita menjadi bebas karena gila. Wallahu a’lam bishawab.
Editor: Nabhan