Indonesia milik bersama. Banyak kelompok yang berinvestasi dalam kemerdekaan. Kemerdekaan Republik Indonesia, dengan demikian, tidak dapat dikuasai oleh satu kelompok semata. Salah satu kelompok yang sering dianggap tidak memiliki investasi apapun dalam pembangunan bangsa, sebaliknya, justru dianggap merusak ketenteraman republik, adalah kelompok minoritas, termasuk minoritas agama seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Misalnya, sebagai organisasi Islam yang cukup kuat di kawasan Eropa, Khalifatul Masih II, pemimpin tertinggi Ahmadiyah dalam konteks memperjuangkan kemerdekaan Indonesia menyerukan tiga hal. Pertama, agar anggota Ahmadiyah di seluruh dunia berpuasa Senin-Kamis dan berdoa bagi kekuatan pemimpin dan bangsa Indonesia.
Kedua, menyerukan kepada para pemimpin Negara Islam, agar mengakui Negara Republik Indonesia.
Ketiga, menyerukan pada seluruh mubaligh Ahmadiyah di seluruh dunia; Palestina, Mesir, Iran, Afrika, Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Amerika Selatan dan lain-lain untuk mendengungkan dan menulis di surat-surat kabar, majalah di negara masing-masing tentang perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Seruan itu direkam oleh Koran Kedaulatan Rakyat edisi 10 Desember 1946.
Sementara itu pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Soepratman adalah tokoh Ahmadiyah. Buku Kenang-Kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun yang terbit tahun 1955 mengkonfirmasi hal tersebut. Di buku tersebut, Soejono Tjiptomihardjo menulis:
“…Tahun 1932, Soepratman mendapat sakit urat sjaraf, disebabkan lelahnja bekerdja keras. Setelah beristirahat 2 bulan, di Tjimahi beliau kembali ke Djakarta untuk mengikuti alirah Achmadijah…”
“…Dalam upaya pencarian ketenangan batin dan mengisi jiwanya,” tulis Megawati Soekarnoputri dalam Sambutan Presiden RI ke-5 di buku Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, “Soepratman kemudian bergabung dengan aliran Ahmadiyah. Ia menekuni ajaran sekte Islam ini selama beberapa bulan…”.
Ada tokoh Ahmadiyah yang cukup dengan Presiden Soekarno. Ia adalah Maulana Sayyid Shah Muhammad. Mln Sayyid Shah Muhammad merupakan salah satu mubaligh Ahmadiyah yang tersohor di Indonesia. Pada tahun 1949, ia turut menemani Presiden Soekarno ketika ibukota kembali ke Jakarta dari Yogyakarta.
“Saya mendapat kehormatan terpilih dalam rombongan 12 orang pengantar beliau ke Jakarta dengan plane pertama “Garuda”, di mana saya satu-satunya orang yang bukan warganegara,” ujarnya.
Anggota rombongan yang lain di antaranya Ki Hajar Dewantara, Sri Paku Alam, Mr. Susanto Tirtoprojo, Kiai. H. Hajid, dan lain-lain.
Kini, melalui Humanity First, Ahmadiyah di Indonesia terus mengabdi pada kemanusiaan. Humanity First adalah organisasi non-profit internasional yang didirikan pada tahun 1994 oleh Hz. Mirza Tahir Ahmad, Khalifah Ahmadiyah keempat. Maksud dan tujuan Humanity First adalah untuk memberikan bantuan kemanusiaan tanpa memandang ras, agama, dan pilihan politik. Kini, lembaga tersebut telah terdaftar di 53 negara di enam benua.
Pada tahun 2019, Humanity First Indonesia membantu korban banjir di Jayapura dengan mengirimkan bantuan logistik. Lembaga tersebut juga membantu korban gempat dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah dengan mendistribusikan daging kurban ketika perayaan Iduladha. Di tahun sebelumnya, kurban dilaksanakan di Lombok, disalurkan kepada penyintas gempat di daerah tersebut.
Di sisi lain, Lajnah Imaillah, organisasi sayap perempuan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan organisasi pendonor mata terbesar di Indonesia. Karena prestasi tersebut, Museum Rekor Muri Indonesia memberikan piagam penghargaan kepada JAI sebagai Komunitas Pendonor Mata Terbanyak di Indonesia secara berkesinambungan pada tahun 2017.
Organisasi tersebut mendonasikan dana sebesar 3,5 miliar rupiah dan mengirimkan 100 dokter ke lokasi tsunami Aceh. Sejatinya, jika setiap kelompok agama fokus pada kerja-kerja kebangsaan dan kemanusiaan, maka sangat mungkin kita hidup dengan penuh harmoni.